Ini Dia Hakikat Mabrur Dalam Al-Quran
H. Syahidin, Lc., MA.Hum-Adam-radarbengkulu.disway.id
Oleh : H. Syahidin, Lc., MA.Hum
(Dosen UIN Fatmawati Soekarno Bengkulu)
Dari : Masjid Jami' Babussalam, Jalan P.Natadirja KM.8 Kelurahan Jalan Gedang Kecamatan Gading Cempaka
Hadirin Jemaah Jumat Rahimakumullah
RADARBENGKULU.DISWAY.ID - Bagi sebagian besar umat Islam, kata mabrur adalah kata yang tidak bisa lepas dari ibadah haji yang dikerjakan umat Islam pada bulan-bulan haji.
Hal ini desebabkan karena ibadah haji adalah ibadah yang menjadikan seorang muslim berada dalam puncak tertinggi dalam prestasi kebaikan yang akan mereka raih.
Makanya, setiap kita melepas saudara atau keluarga yang hendak berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji, kita lepas dengan doa semoga pulang nanti menjadi haji yang mabrur.
oleh karenanya, kata mabrur adalah kata yang menjadi idaman dan kata popular karena sangat sering kita dengar dan ucapkan. Namun tahukah kita apa sesungguhnya kata mabrur itu?
Kata mabrur berasal dari al-birr yang secara harfiyah berarti puncak kebaikan. Dalam kehidupan ini Allah menyediakan banyak jenis kebaikan yang bisa diperbuat manusia, namun puncak dari kebaikan tersebut adalah al-birr atau mabrur.
Oleh karena itu tidaklah mudah bagi manusia untuk mencapai al-birr atau menjadi mabrur, namun juga bukan merupakan sesuatu yang mustahil. Lihatlah firman Allah dalam surat Ali Imran: 92 yang artinya:
''Kamu sekali-kali tidak samapai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saya yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah mengetahuinya.''
Ayat ini bicara tentang syarat seseorang mendapatkan al-birr atau yang kita sebut dengan istilah al-mabrur. Al-birr adalah kemampuan manusia untuk memberikan yang terbaik dan paling dicintai dari apa yang dimiliknya.
Memberikan apa yang kurang kita sukai tentu saja perkara mudah dan gampang, namun bagaimana kiranya jika yang diberikan itu sesuatu yang sangat kita cintai? Tentu sangat sulit dan tidak banyak yang bisa melakukannya. Sehingga memang tidak banyak manusia yang akan bisa mencapai al-birr atau menjadi mabrur.
Adalah kenyataan dalam diri kita bahwa jangankan memberi yang terbaik dan paling dicintai, meminjamkan yang terbaik saja merupakan yang sangat sulit dilakukan.
Misalnya, jika kita memiliki 2 buah sepeda motor atau mobil, yang satu sudah lama dan usang, sementara yang lain masih sangat baru sekali.
Kemudian ada tetangga yang datang hendak meminjam salah satunya, maka pertanyaannya adalah yang manakah dari keduanya yang akan dipinjamkan? Apakah kendaraan yang sudah usang? Ataukah yang masih sangat baru? Tentu semua kita sudah memiliki jawabannya masing-masing. Namun yang pasti bahwa manusia mabrur akan memberikan yang terbaik dan yang paling dicintai dari apa yang dimiliki itu.
Hadirin Jemaah Jumat Rahimakumullah
Pembicaraan Allah tentang syarat manusia memperoleh al-birr atau mabrur pada ayat ini, kemudian disusul oleh ayat yang berisi perintah menunaikan ibadah haji. Ali Imran: 97
Kenapa Allah menyambung pembicaran tentang al-birr dengan perintah haji. Agaknya hal ini memberikan isyarat bahwa menunaikan ibadah haji adalah gerbang utama manusia bisa mencapai al-birr (puncak kebaikan).
Sehingga tidak lah salah kalau kemudian haji dikaitkan dengan istilah mabrur. Bukankah haji menuntut kesediaan seseorang membelanjakan hartanya dalam jumlah besar untuk jalan Allah yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta.
Seperti diketahui bahwa harta adalah bagian yang paling dicintai dalam hidup manusia. Semua manusia berlomba menghabiskan fikiran, waktu dan tenaga, peras keringat banting tulang, pergi pagi pulang malam untuk meraih dan mendapatkan harta atau uang.
Oleh karena itu, janganlah heran jika dalam kehidupan ini kita menemukan ada orang yang sudah sangat kaya, kekayaannya sudah mencapai miliaran atau bahkan triliunan rupih, ditambah lagi jabatan dan kedudukan yang sangat tinggi, namun masih saja korupsi, masih saja mau menerima suap dan sogok serta mengambil atau menerima sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Karena memang begitulah harta dalam pandangan manusia yang disebut oleh Allah dengan sebutan mal atau kecenderungan. Adalah kecenderungan terbesar setiap manusia untuk bisa menguasai dan memilikinya dalam jumlah yang tanpa batas.
Tentu saja sikap ini tidak berlaku bagi manusia yang disebut mabrur. Sebab bagi orang yang sudah mabrur, harta bukanlah tujuan hidupnya. Namun harta lebih kepada sarana dan fasilitas untuk mencapai dan memperoleh kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna di akhirat nanti.
Hadirin Jemaah Jumat Rahimakumullah
Seperti kita sebutkan bahwa al-birr atau mabrur adalah harapan terbesar setiap manusia yang menunaikan ibadah haji. Lalu apakah hakikat mabrur dalam al-Quran? Apakah mabrur hanya berhak dimiliki oleh orang yang sudah menunaikan ibadah haji saja? Apakah orang yang belum pergi atau tidak pergi haji karena memang belum mampu tidak boleh diesebut mabrur?
Mari kita lihat hakikat mabrur dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat Al-Maidah: 2 yang artinya: ''Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (permusuhan). Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Kata al-birr pada ayat di atas dilawankan dengan kata al-ism (dosa) dan ‘udwan (permusuhan). Al-Ism (dosa) adalah bentuk buruknya hubungan manusia dengan Allah. Karena dosa lahir dari pelanggaran terhadap aturan Allah dan ketidaksediaannya tunduk pada perintah Allah.
Sedangkan al-‘udwan (permusuhan) adalah bentuk buruknya hubungan seseorang dengan orang lain, karena permusuhan biasanya lahir dari kesalahan yang dilakukannya terhadap orang lain yang menjadikannya tersakiti.
Dengan demikian dapat difahami bahwa seseorang yang disebut mabrur adalah orang yang hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia semakin baik dan harmonis. Dirinya semakin tunduk pada perintah Allah, semakin takut melanggar aturan Allah serta semakin meninggkat penghambaannya pada Allah.
Dan pada saat bersamaan dia semakin dekat dan harmonis dengan sesama manusia, semakin tawadu dalam pergaulan, dan sangat takut menyakiti orang lain. Itulah hakikat al-birr atau mabrur yang terwujud dalam bentuk prilaku dan sikap hidup yang mulia.
Hadirin Jemaah Jumat Rahimakumullah
Dari apa yang sudah kita uraikan diatas dapat kita fahami bahwa kata mabrur bukanlah monopoli orang yang sudah berangkat haji saja. mabrur juga tidak mesti harus pergi haji dulu. mabrur sesungguhnya adalah sikap hidup yang tergambar dalam keseharian seseorang.
Seseorang yang sudah berkali-kali hajipun jika hubungannya dengan Allah dan sesama manusia tidak harmonis, maka dia tidak laik disebut mabrur. Sebaliknya, seseorang yang belum pergi haji, namun memiliki hubungan yang sangat baik dan harmonis dengan Allah dan sesama makhluk, maka sesungguhnya dialah yang laiak disebut sebagai orang yang mabrur.
Maka marilah kita menjadi mabrur dengan selalu memperbaiki hubungan kita dengan Allah melalui penghambaan diri kepada-Nya. Disaat bersamaan mari kita menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama, mulai dari keharmonisan dengan pasangan sendiri, keluarga terdekat, tetangga, kawan sejawat hingga manusia secara keseluruhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: https://radarbengkulu.disway.id / ini dia hakikat mabrur dalam al-qur’an