Pilkada 2020 Mundur, Sudah saatnya Gubernur Dipilih oleh DPRD

Jumat 01-05-2020,20:52 WIB
Reporter : radar
Editor : radar

Oleh : Sudi Sumberta Simarmata (Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu)

 (Esensi negara Demokrasi bukanlah tentang suara rakyat yang  mutlak sepenuhnya harus diikutsertakan melalui pemilihan langsung, namun makna demokrasi harus dilihat dari berbagai sudut pandang, selama pelaksanaannya dilakukan untuk kesejahteraan rakyat, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan bukan kah itu adalah cita-cita demokrasi konstitusional sesungguhnya).

Mengutip perkataan Prof Mahfud MD  dalam bukunya “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, eksperimen belum selesai dan karena itu perubahan-perubahan masih bisa dilakukan sampai sistem yang risikonya paling kecil ditemukan.

Tak ada yang bisa memastikan  kapan penyebaran  Covid-19 akan berkahir, membuat pelaksanaan giat demokrasi Pilkada tertunda di Indonesia, ketetapan awal tanggal 23 September 2020 harus diundur sampai situasi dan kondisi normal kembali.

Sampai saat ini Pemerintah dan DPR sepakat untuk melaksanakan pesta demokrasi tersebut pada tanggal 9 Desember 2020, sekalipun hal ini tetap masih rawan terjadi perubahan apabila penyebaran wabah Pandemi Covid-19 masih belum stabil.

Pertimbangan mundur nya pelaksanaan Pilkada tersebut adalah mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar, ancaman krisis ekonomi, ancaman pertambahan penduduk miskin,   dan kebijakan realokasi anggaran Pilkada serentak terhadap penanganan Covid-19. Terkait hal itu DPR dan KPU sepakat untuk merealokasikan dana Pilkada Serentak 2020 yang ditunda untuk menangani  wabah virus corona.

Total akumulasi anggaran Pilkada serentak tersebut lebih kurang senilai Rp 15 Triliun  yang tertuang dalam APBD 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020. Namun perlu dipahami, melalui pemilihan langsung oleh rakyat nyatanya tidak menajmin kualitas para kepala daerah, hal ini terbukti dari begitu banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan lain sebagainya, kita tidak boleh menutup mata bahwa kualitas pemimpin yang kita pilih langsung nyatanya justru menghianati amanat rakyat tersebut dan justru tidak sesuai dengan cita-cita demokrasi konstitusioal sesungguhnya.

Disinilah kemudian nampaknya para pemangku kekuasaan negeri harus merenung sejenak dan memperhatikan lebih dalam bagaimana sebenarnya membaca amanat norma dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam membagi tugas dan kewenangan dari masing-masing kepala daerah baik itu gubernur, bupati/walikota. Apalagi ketika negara ini diperhadapkan dengan situasi yang sungguh menyita perhatian warga  dunia  salah satunya Pandemi Covid-19

Melalui hukum manusia berharap dapat menyelesaikan segala permasalahan yang ada demi menjaga ketentraman. Hal itu ada dalam semangat hukum Pancasila yang kita bangun, selalu dinamis dalam perkembangannya karena berangkat dari realitas empiris bekerjanya hukum di masyarakat, dengan itulah kemudian keadilan substantif dalam gagasan (walfare state) itu tercapai.

Maka ketika negara diperhadapkan dengan situasi yang membutuhkan anggaran lebih untuk penyelesaian dan bahkan pemulihan keuangan negara dalam melaksanakan tujuan -tujuan negara (Pembukaan UUD NRI 1945), opsi pencalonan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat melalui Presiden sebagai Kepala Pemerintah Pusat (Kepala Eksekutif Negara) yang kemudian akan dipilih oleh DPRD adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan menggunakan sambungan hati nurani dalam pemaknaannya terhadap amanat konstitusi.

Tak hanya berbicara tentang keuangan negara dan realokasi anggaran namun ada beberapa alasan penting mengapa pencalonan Gubernur oleh Presiden dan dipilih melalui DPRD menjadi penting untuk dipertimbangkan : Pertama bahwa Gubernur adalah Wakil Pemerintah Pusat

Negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, konsekuensi daripada bentuk negara kesatuan adalah adanya otonomi daerah. Tujuan daripada diadakannya otonomi daerah disebabkan adanya ciri khas dan budaya yang berbeda di tiap daerahnya yang menimbulkan ke khawatiran terjadi perpecah-belahan antar bangsa serta menjamin pembangunan wilayah yang merata

Oleh karena itu diberikanlah wewenang melalui asas desentralisasi kepada gubernur dan kepala daerah lainnya untuk mengatur sendiri rumah tangga daerahnya sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Namun, berdasarkan Teori Bandul yang dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie, apabila otonomi daerah tersebut terlalu jauh diartikan maka berpotensi timbulnya kemerdekaan suatu daerah yang tentu saja berbanding terbalik dengan apa yang menjadi tujuan awal.

C.F. Strong menyatakan dalam bukunya “Konstitusi-Konstitusi Politik Modern”, bahwa  negara kesatuan adalah negara yang kekuasaannya dibagi ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau dekonsentrasi.

Dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 23 Tahun 2014  “Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal diwilayah tertentu, dan/atau kepada Gubernur dan Bupati/Walikota tertentu sebagai penanggung jawab urusan Pemerintahan umum”

Dari pengertian diatas kaitannya asas dekonsentrasi di Indonesia dengan sifat negara kesatuan yang kita miliki memberikan konsekuensi bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh Gubernur adalah kekuasaan yang diperoleh melalui pembagian kekuasaan eksekutif secara vertikal dari Presiden sebagai chief executive (kepala eksekutif negara) yang juga kepala pemerintah pusat kepada Gubernur dengan kapasitas se  bagai Wakil Pemerintah Pusat yang dibebani urusan pemerintahan pusat yang di distribusikan kepada daerah untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Sementrara itu untuk menjalankan ketentuan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pmerintahan Daerah, PP No.33 Tahun 2018 menjelaskan bahwa gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas, (a).mengoordinasikanpembinaan dan pengawasan penyelenggaraantugas pembantuan di daerah kabupaten/kota; (b).melakukan monitoring, evaluasi, dan supervise terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; (c).memberdayakan dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di wilayahnya; (d).melakukan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang RPJP Daerah, APBD, APBD-P, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah; (e).melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota; dan (f).melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tak jauh berbeda dengan Menteri yang ditunjuk oleh Presiden sebagai pembantu Presiden (Pemerintah Pusat) , berdasarkan distribution of power yang ada gubernur pun diberikan kewenangan  untuk menjalankan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh daerah-daerah berharap agar terjadi kesinambungan  (urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah umum, dan urusan pemerintah konkuren). Mulai dari pusat sampai pada daerah daerah.

Kembali pada Pasal 1 UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Rumusan norma dasar ini kemudian di jelaskan dalam  Penjelasan Umum UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa, konsekuensi logis sebagai negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebut yang kemudian membentuk daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dengan menerapkan prinsip otonomi seluas-luasnya.

Selanjutnya Berdasarkan Penjelasan Umum UU No. 23 Tahun 2014 juga mengatakan bahwa, dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan kepada daerah

Disinilah kemudian kita dapat menyimpulkan bahwa prinsip lahirnya otonomi daerah merupakan alat pemerintah pusat untuk mempertahankan dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mempermudah pemerintah pusat menjangkau urusan pemerintah yang ada di daerah-daerah melalui gubernur. Sehingga sangat beralasan ketika gubernur dipilih oleh Presiden

Kedua, kedudukan Gubernur dalam Daerah Otonom harus diperkuat dalam bingkai NKRI

Secara formil selain posisinya sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Gubernur juga diberikan kekuasaan sebagai kepala daerah yang harus mengkoordinasikan daerah yang dikuasainya melalui asas otonomi. Namun secara materil, gubernur dalam menyelenggarakan pemerintahan tidak memiliki wilayah administrasi khusus dan dianggap sejajar dengan kepala daerah kabupaten dan kota  sehingga kekuatannya sebagai kepala daerah serta Wakil Pemerintah Pusat terkesan hanya keindahan belaka, banyak walikota dan bupati yang berdasarkan garis pertanggungjawaban berada dibawah gubernur tapi sering mengabaikan perintah dan panggilan gubernur akibat posisinya yang dianggap sejajar dengan gubernur, yakni sama-sama kepala daerah

Namun seharusnya tidak demikian, bahwa bupati dan/atau walikota harus memahami adalah bagian tingkatan kedudukan yang ada dibawah gubernur. Karena apabila kita melihat secara mendalam konstitusi telah menegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”

Dari rumusan norma dasar ini kita harus memahami bahwa kabupaten dan kota adalah merupakan bagian daripada provinsi, yang berarti posisi gubernur hakikatnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi di suatu daerah selain kedudukannya sebagai Wakil Pemerintahan Pusat. Disinilah kemudian kita harus jujur mengakui bahwa proses pemilihan yang sama antara gubernur, bupati dan walikota yang dipilih oleh rakyat membuat paradigma masyarakat menganggap bahwa mereka adalah sama-sama pilihan rakyat yang dibatasi oleh wilayah territorial administratif.

Padahal gubernur sama sekali tidak memiliki wilayah adminsitrasi, disinilah kemudian bahwa posisi gubernur sebagai kepala pemerintahan daerah perlu diperkuat baik secara formil maupun materil, dan opsi pemilihan gubernur melalui Presiden adalah langkah tepat untuk membuat posisi gubernur sebagai kepala pemerintahan daerah sekaligus wakil pemerintah pusat lebih kuat dan tidak dipandang sebelah mata.

Ketiga, hal ini sejalan dengan amanat Konstitusi  dalam mejamin pelaksanaan gagasan (Walfare State)

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tujuan negara (walfare state), dalam melaksanakan Pilkada tentu begitu banyak permasalahan yang akan kita hadapi, mulai dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), politik uang, sampai pada kerusuhan atas ketersinggungan para pendukung, bahkan tak jarang sikap anarkis ini diluapkan oleh para pendukung untuk menolak putusan pengadilan, disisi lain hal yang paling penting adalah biaya pelaksanaan Pilkada lansung yang sangat tinggi membuat negara ini harus merenung sejenak atas pelaksanaan Pilkada Langsung terhadap pemilihan gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

kita tidak boleh menutup mata atas pandemi Covid-19 yang menyerang belahan dunia termasuk  Indonesia pula membuat kita harus mengevaluasi sistem hukum yang kita bangun dalam mengelola keuangan negara ini, karena sejatinya kita bukan hanya menjalankan perundang-undangan, namun negara harus mampu menangkap kehendak hukum masyarakat sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat.

Sejatinya hukum adalah untuk manusia, bukan pula sebaliknya. Harus direnungkan menggunakan sambungan hati nurani bahwa hadirnya hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan hadir atas sesuatu yang lebih luas dan besar, nyatanya hasil pemilihan langsung oleh rakyat justru seringkali menciderai amanat rakyat mulai dari korupsi, kolusi bahkan nepotisme yang mungkin terjadi disebabkan oleh tinggi nya biaya pertarungan untuk merebut posisi kepala daerah, sementara khsusus untuk gubernur kewenangan yang condong adalah kewenangan yang bukan sebagai keputusan politik gubernur terpilih, namun adalah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Maka ketika terjadi kekeliruan akan hukum itu, hukumlah yang harus diperbaiki, bukan sampai memaksakan manusia untuk masuk dalam skema hukum yang keliru,  disinilah kemudian opsi pencalonan gubernur oleh Presiden dan dipilih melalui DPRD menjadi penting untuk dipertimbangkan bahkan dilaksanakan dengan tetap menjamin prinsip pegawasan dan keseimbangan (Check and balances) secara free and fair sebagai sebuah prasyarat negara demokrasi konstitusional. (**)

Tags :
Kategori :

Terkait