RBO, BENGKULU - Gugatan perkara lingkungan hidup yang dimenangkan rakyat di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Hal ini menurut Direktur Hukum organisasi non-pemerintah, Auriga Nusantara, Roni Saputra dikarenakan hakim masih melihat perkara lingkungan seperti perkara umum. Ini diungkapkan, saat diskusi daring dengan topik "Mengulas Cara Pandang Hakim Agung Memutus Perkara Lingkungan" yang diadakan Kanopi Hijau Indonesia kemarin.
Roni mengatakan, sengketa lingkungan yang sudah jelas teregistrasi lingkungan hidup atau berkode “LH” masih saja diputus seperti perkara biasa. Padahal, konsep peradilan lingkungan adalah prinsip pro-natura. Artinya, pengadilan yang berpihak kepada keselamatan lingkungan dan manusia di dalamnya. Selain itu, tidak pro-natura, alur berpikir dan proses hakim dalam mengambil pertimbangan tidak sedikit juga yang menggunakan argumentasi acontrario. "Dalam putusannya, majelis hakim memberikan pertimbangan hukum yang tidak konsisten dengan putusan," kata Roni. Hal tersebut, ternyata juga dikuatkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan. Menurut Arip, tekanan politik seperti proyek strategis nasional (PSN) ditenggarai menjadi hal yang mempengaruhi putusan hakim. Adanya perpres PSN, dan Instruksi Presiden tentang percepatan PSN memberikan berbagai kemudahan mulai dari pengadaan tanah dan perizinan. Sedangkan, dari hak veto rakyat untuk mempertahankan ruang hidupnya dipersulit, bahkan tidak ada. Dia mencontohkan, dalam salah satu perkara lingkungan, hakim dengan mudah memutuskan jika ada PSN, maka proyek dapat berjalan meski menabrak aturan tentang RTRW provinsi dan kabupaten. Ini terjadi di wilayah Cirebon, Bengkulu dan Yogyakarta. "Ketika kepentingan negara lebih besar, bisa saja hakim terpengaruh dan menutup mata dari ruh peradilan lingkungan yaitu pro-natura," ujarnya. Dia memprediksi, bahwa kasus-kasus sengketa lingkungan hidup akan semakin banyak bila pemerintah memberlakukan UU Mineral, dan batu bara. Karena itu, penting membentuk peradan khusus sengketa lingkungan hidup dan diisi oleh hakim yang bersertifikat lingkungan. Perkara lingkungan yang digugat Walhi Kalimantan Selatan, dalam menyelamatkan ekosistem hutan di Meratus menurut kedua praktisi hukum ini menjadi contoh putusan yang pro-natura dari hakim agung. Meskipun kalah di tingkat pertama dan kedua, atas gugatan Surat keputusan Menteri Sumber Daya Alam dan Mineral Nomor 441.K/30/DJB/2017 izin operasi produksi tambang batubara PT Mantimin Coal Mining (MCM) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Balangan dan Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan, keajaiban datang dalam putusan kasasi di Mahkamah Agung. "Kami sudah kalah di tingkat pertama, dan banding, tapi keajaiban datang saat hakim agung mengabulkan seluruh gugatan," kata Rizki Hidayat Manager Kampanye WALHI Kalimantan Selatan itu. Menurut Rizki, dalam persidangan, tim kuasa hukum memaparkan potensi kehancuran alam bila izin tambang batu bara dioperasikan. Kawasan hutan dan pengunungan karst Meratus serta areal pertanian dan wilayah masyarakat adat akan luluh lantak. Selain memberikan gambaran potensi daya rusak, para aktivis dan warga juga terus berkampanye tentang pentingnya menyelamatkan Meratus yang berarti menyelamatkan kehidupan. Bahkan, kelompok pelajar tuna netra juga bersurat ke Presiden Joko Widodo bahwa mereka dapat bernafas dengan sehat karena hutan Meratus. "Anak tuna netra mengatakan dalam suratnya, biarlah mereka tidak melihat Meratus, tapi dapat menghirup udara sejuk dan sehat karena hutan itu," ungkapnya. Sementara itu, perkara gugatan izin lingkungan PLTU batu bara Celukan Bawang di Bali kalah di tingkat pertama, banding serta kasasi bahkan hingga peninjauan kembali. Vani Primaliraning, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menilai, hakim dengan mudah membuat putusan bahwa gugatan para penggugat tidak dapat diterima atau NO (Niet Ontvankelijke Verklaard ) Dia menjelaskan alasan hakim adalah izin lingkungan yang digugat sudah melewati batas waktu 90 hari. Para penggugat dianggap sudah mengetahui izin lingkungan, karena sudah diumumkan melalui website Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. Padahal, para pengugat tidak mengetahui izin lingkungan tersebut serta tidak pernah dilibatkan dalam penerbitan izin lingkungan. "Tidak semua orang dapat mengakses izin lingkungan, yang hanya diumumkan melalui website BLH, bagaimana bisa dianggap, semua orang mengetahui dengan alasan sudah diumumkan," katanya. Gugatan warga di Bali tidak jauh berbeda dengan putusan hakim tingkat pertama dan kedua dalam gugatan warga atas izin lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang, Bengkulu. Dalam perkara ini, hakim menolak gugatan warga. Menarik menurut Roni, dalam putusan hakim dinyatakan legal standing tidak berhak mengajukan gugatan dan dampak belum terjadi tapi putusan ditolak. "Seharusnya, tidak diterima karena dampaknya belum ada, sehingga putusannya tidak ada," katanya. Dia menilai, bahwa dalam putusan hakim tingkat pertama tersebut, terjadi penyelundupan hukum karena pertimbangan dengan putusan berbeda. Dalam putusan, di satu sisi dijelaskan penanganan perkara lingkungan hidup perlu mengacu pada Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 36 tahun 2013 yang merujuk pada kalimat "potensi dan atau telah berdampak". Namun, pada bagian pertimbangan lainnya, potensinya dihilangkan dengan merujuk pada keterangan saksi yang menyatakan belum ada dampak. Padahal, potensi dimaknai dengan sesuatu yang dapat terjadi yang dikuatkan dengan bukti-bukti ilmiah. Dalam putusan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan, hakim juga menolak permohonan para penggugat. Fitriansyah, salah satu kuasa hukum warga menggugat izin lingkungan PLTU Teluk Sepang mengatakan, dalam putusan banding, pertimbangan hakim hanya dua paragraf yang intinya menguatkan putusan di tingkat pertama. "Dalam upaya hukum warga sampai pada tahap memori kasasi yang sudah disampaikan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta pada 2 Juli 2020. Jika putusan di tingkat pertama, dan banding mengandung kekeliruan atau indikasi penyelundupan hukum maka MA dalam putusan kasasi harus meluruskan prosesnya.Kami berharap, pada Mahkamah Agung, yaitu Majelis Hakim Agung yang akan memutus perkara membuat keputusan yang berpihak pada keselamatan lingkungan dan manusia didalamnya," tutupnya. (ach)Peradilan Lingkungan Hidup Belum Berpihak ke Lingkungan dan Masyarakat
Senin 20-07-2020,21:23 WIB
Editor : radar
Kategori :