RADARBENGKULU,DISWAY.ID - Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu mengelar training Digital and Physical Safety Training for Journalists di Provinsi Bengkulu, Sabtu - Minggu (10-11 Juni 2023), di salah satu hotel di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu.
BACA JUGA:Warga Serangai Selamatkan Ikan Paus Yang Terdampar Training yang didukung Canada Embassy, Netherland Embassy, U.S. Agency for Global Media (USAGM) dan AJI Indonesia ini diikuti sebanyak 25 peserta dari 5 kabupaten/kota di Bengkulu. Yaitu, jurnalis dari Kabupaten Rejang Lebong, Kepahiang, Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kota Bengkulu. Mereka berasal dari berbagai media. Mulai cetak, digital, televisi dan radio. BACA JUGA: Kesbangpol Seluma Bahas Perkembangan Politik Pelatihan ini, kata Ketua AJI Bengkulu, Yunike Karolina, merupakan rencana tindak lanjut dari pelatihan serupa yang telah dilaksanakan di Kamboja bersama Koalisi Jurnalis Regional, Asia Tenggara pada Selasa - Kamis, (13-15 Desember 2022).Peserta training mengikuti acara secara serius-Hcr-radarbengkulu.disway.id Kegiatan ini, lanjutnya, akan berlangsung secara serempak di 5 negara Asia Tenggara. Seperti, Malaysia, Kamboja, Filipina, Timor Leste, dan Indonesia. Training ini merupakan upaya menguatkan perlindungan serta advokasi isu kebebasan pers di level regional. ''Peserta Digital and Physical Safety Training for Journalists ini dari berbagai daerah di Provinsi Bengkulu. Mereka berasal dari berbagai media. Mulai dari media cetak, daring, televisi dan radio,'' kata Yunike, Sabtu (10/6/2023). Adapun materi yang diberikan ke jurnalis ini, lanjut Yunike, mulai dari materi Physical Safety : mengapa keselamatan meliput penting, assessment dan stategi perlindungan keamanan bagi jurnalis, menghadapi bahaya saat melakukan peliputan. Kemudian, materi Physical Safety : komunikasi dan negosiasi, kekerasan seksual pada jurnalis, literasi dan kekerasan digital, keamanan perangkat, mengelola identitas, kesehatan digital, dan materi Physical Safety : keamanan komunikasi. Materi yang disampaikan Trainer Digital and Physical Safety, Adi Marsiela, Koordinator Bidang Internet AJI Indonesia dan Nani Afrida, Koordinator Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia ini, sambung Yunike, peserta mendapatkan pengetahuan dasar terkait dengan perlindungan keamanan digital dan fisik dalam liputan. BACA JUGA:Gusnan Mulyadi: Tanam Enam Pondasi Pendidikan pada Anak ''Harapannya, peserta dapat mengimplementasikan pengetahuan yang didapatkan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik sehari-hari serta mengetahui langkah-langkah dalam melakukan liputan di wilayah berbahaya. Keselamatan saat liputan itu penting!'' jelas Yunike. BACA JUGA:Minum Air Kelapa Hijau Membuat Ginjal Tetap Sehat ''Upaya ini guna meningkatkan kesadaran jurnalis dalam melakukan upaya proteksi diri, baik sebelum melakukan kerja-kerja jurnalistik, terutama ketika berada di wilayah berisiko tinggi maupun setelah mendapatkan kekerasan dalam aspek apapun,'' sambung Yunike. Untuk diketahui, kebebasan pers di Indonesia hingga kini, masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tercermin dari masih banyaknya laporan kekerasan yang mengancam para jurnalis. Terutama mereka yang bersikap berani dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Catatan AJI Indonesia, sepanjang tahun 2022 terdapat 61 kasus dilaporkan. Dimana jumlah ini meningkat sebanyak 70% dari tahun 2021. Jika berdasarkan jenis kasus, kekerasan fisik, serangan digital, dan teror serta intimidasi merupakan laporan terbanyak yang sering dihadapi oleh para jurnalis. BACA JUGA:Kader Posyandu Menunggu Turunnya BLT Kasus Stunting di Teramang Jaya Bahkan, baru-baru ini, pada Januari 2023, jurnalis senior Papua, Victor Mambo melaporkan bahwa telah terjadi ledakan bom rakitan tepat di samping rumahnya. Kejadian ini diduga terkait sikap kritis Mambo melalui tulisan-tulisannya di situs online yang didirikannya. Selain intimidasi fisik, intimidasi digital terhadap organisasi media juga tidak main-main. Pada September 2022, sebanyak 37 akun media sosial (instagram, twitter, telegram, website) awak media Narasi mengalami peretasan. Kejadian ini merupakan peretasan terbesar yang pernah dialami oleh media di Indonesia. Kedua kasus tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menyebarkan rasa takut untuk kemudian membungkam kebebasan berekspresi itu sendiri. Mengenai pelaku dari tindak kekerasan tersebut, AJI Indonesia mencatat mayoritas merupakan pelaku tidak dikenal. Hal ini disebabkan oleh proses penyelidikan dan/atau penyidikan yang tidak selesai dalam jangka waktu yang lama. Selain itu Polisi juga tercatat sebagai pelaku terbanyak yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Bentuknya seperti intimidasi, penahanan paksa, hingga merusak telepon seluler dan data yang telah dikumpulkan oleh jurnalis. BACA JUGA:Warga Batik Nau Sampaikan Keluhan Ini ke Kapolres Bengkulu Utara Untuk itu perlu perlindungan yang holistik dari seluruh lapisan masyarakat: produk dan perangkat hukum yang mendukung kebebasan pers, kesadaran masyarakat terhadap isu-isu kebebasan berpendapat, hingga individu jurnalis yang berdaya secara pengetahuan terkait dengan perlindungan diri sendiri. BACA JUGA:Menyingkap Tambo Suku Rejang di Provinsi Bengkulu (10) - Rejang Sawah Bertekuk Lutut