Semangat Kalangan Tua, “Jaran Kepang’ Tak Kan Pernah Hilang

Semangat Kalangan Tua, “Jaran Kepang’ Tak Kan Pernah Hilang

BUNYI Gamelan, Gong, Bonang (Kenong), Saron dan Kendang terdengar seirama menggema bak bunyi musik kerajaan. Sesekali terlihat gelak canda tawa dalam bahasa jawa. Nampak beberapa orang menghisap cerutu dan didominasi kalangan uzur alias orang tua. Mereka kompak memainkan sejumlah alat musik dengan irama asik dan tembang jawa. Ya, mereka adalah kelompok pecinta dan penggiat seni tradisional leluhur tanah jawa,  "Kuda Kepang "  yang bertahan dan melestarikannya di tanah Sumatera.

BAGI sebagian orang, pada jaman serba modern saat ini, seni  tradisional kuda lumping sudah ketinggalan. Bahkan, ancaman kemajuan zaman membuat seni peninggalan leluhur dari tanah jawa ini terancam hilang ditelan zaman. Untuk melestarikannya, sejumlah penggiat dan pecinta seni kuda lumping masih "telaten" menggelutinya".

Sebut saja komunitas kuda lumping," Condro Warso Aliy,"  pimpinan " Mbah Kasno yang berada di Petai Keriting, Kelurahan Sido Mulyo, Kecamatan Seluma Selatan. "Saat ini Kuda Lumping atau jaranan hampir tersisihkan. Bahkan, anak muda juga sudah mulai langka untuk mau belajar dan mempertahankan seni ini. Tidak hanya itu, para pengambil kebijakan juga terkesan kurang peduli, hal ini dapat dilihat dengan minimnya bantuan atau setidaknya "nanggap" di setiap moment penting, hari besar, HUT RI atau kegiatan pemerintahan lainnya," ujar Mbah Kasno, sembari sesekali mengayunkan tangannya ke alat musik jenis Saron, Minggu (1/2) malam.

Menurutnya, bagi mereka bermain kuda kepang, bukanlah ajang untuk mencari keuntungan atau penghasilan. Melainkan untuk menjaga,melestarikan dan mengenalkan tradisi turun menurun bagi kalangan anak muda. "Main kuda kepang bukan untuk cari uang, tapi hobby," kata dia.

Meski kelompok jaranan yang mereka tekuni didomniasi kalangan orang tua, menurutnya semangat jaran kepang tak pernah hilang. Meski jaman terus berkembang, merekapun tetap pada pendiriannya memajukan dan mengenalkan jaran kepang khususnya di Kabupaten Seluma. "Latihan kami rutin setiap malam minggu. Itupun yang datang, sudah tua-tua," ujarnya.

Dibagian lain, tokoh pemuda jawa yang juga menggeluti seni kuda lumping Ridwan B. Sutrisno menyampaikan kebanggannya atas pelestarian budaya jawa di tanah sumatera. "Meskipun butuh waktu, target tetap membina dan mengajak kalangan anak muda untuk tetap peduli dan menjaga warisan budaya. Dengan cara swadaya, dan mengkombinasikan seni tanpa menghilangkan aslinya, akan menarik simpati kalangan anak muda," sampai Ridwan.

Menurutnya, melalui seni , juga merupakan salah satu upaya pembinaan generasi muda yang saat ini telah terjangkiti dengan sejumlah bahaya pergaulan negatif. "Dengan seni bisa menghilangkan atau lebih kepada nilai positif," sampainya.

Diapun berharap, Paguyuban yang digelutinya bersama masyarakat jawa di Seluma tetap eksis tak lekang dimakan jaman. Sejarah singkat, kuda lumping atau sering disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lainnya dengan dihiasi rambut tiruan. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagian sejarah menceritakan, tari kuda lumping adalah tari kesurupan. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah seorang pasukan pemuda cantik bergelar jhatil penunggang kuda putih berambut emas, berekor emas, serta memiliki sayap emas yang membantu pertempuran kerajaan Bantarangin melawan pasukan penunggang babi hutan dari kerajaan Lodaya pada serial legenda reog abad ke 8.

Terlepas dari itu semua, asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping atau jaran kepang merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau Kavaleri. Hal ini terlihat dengan gerakan-gerakan ritmi, dinamis, dan agresif melalui gerakan dan hentakan tarian kuda lumping ditengah peperangan. Seringkali dalam pertunjukannya, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magic, seperti atraksi mengunyah kaca, mengupas kelapa dengan gigi, memakan ayam mentah dan lain-lainnya.

Atraksi semacam ini merefleksikan kekuatan supranatural yang zaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan Jawa. Dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan penjajah. (Wawan Ahmad Ridwan, Seluma)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: