Catatan Dahlan Iskan: Truk 110 Tahun
radarbengkuluonline.com - “Saya bukan pembunuh…” ujar terdakwa lirih. Ia berharap agar tidak dihukum berat. Di persidangan itu ia terus menyesali diri, merasa bersalah dan kenapa tidak dirinya saja yang mati. Senin pekan lalu ia dijatuhi hukuman 110 tahun penjara. Itulah hukuman terberat untuk kecelakaan terbesar –setidaknya salah satunya.
Mengikuti cerita ini, saya teringat jalan tol pegunungan antara Boyolali-Semarang. Di kanan kiri jalan terlihat dibangun jalan darurat. Di beberapa tempat. Terutama di jalan tol yang lagi menurun tajam. Jalan darurat itu berupa jalan pendek yang menanjak tajam. Yang di ujung jalan itu ada barikade. Setiap kendaraan yang masuk ke jalan menanjak itu pasti akan melambat dan akhirnya berhenti menabrak barikade tersebut.
Suatu kali, ketika mengemudi di jalur itu, teman di samping saya bertanya: jalan apa itu? Ia anak muda. Lulusan Boston, Amerika. Ia lebih banyak hidup di kota. Ia tidak pernah berkendara di daerah-daerah pegunungan di Amerika. Saya pun menjelaskan padanya: itulah jalan penyelamat. Kalau rem Anda blong, Anda harus mengarahkan kendaraan masuk ke jalan darurat itu. Agar tidak menabrak kendaraan lain. Dalam posisi jalan tol menurun kendaraan yang remnya blong akan melaju kian kencang. Apalagi kalau kendaraannya berat. SILAHKAN DIBACA: Ini Dia Orang Bengkulu Yang Tersangkut Namanya di Jalan (16)
Saya pernah mengalami yang seperti itu. Yakni saat mengendarai Tucuxi –mobil listrik pertama saya itu– menuruni lereng Gunung Lawu sebelah timur. Remnya blong. Tucuxi kian laju. Tidak ada jalan darurat seperti di jalur Boyolali-Semarang. Saya pun melihat banyak orang di depan sana. Maka saya putuskan mendadak: membanting setir Tucuxi. Saya tabrakan mobil itu ke tebing berbatu. Biarlah saya sendiri yang celaka. Jangan orang banyak itu. Kisah selebihnya Anda sudah tahu.
Sanksi hukuman 110 tahun penjara pekan lalu itu dijatuhkan akibat sopirnya mengabaikan jalan darurat seperti itu. Saya akan meneruskan kisah ini. Bukan takut dianggap hanya bisa menulis pendek. Memang kisahnya sendiri belum selesai. Janganlah memperpendek tulisan kalau tidak bisa dipendekkan. Jangan pula memanjangkan tulisan kalau bisa ditulis pendek. Yang dihukum 110 tahun itu baru berumur 26 tahun. Punya anak satu, masih kecil. Bahkan saat kecelakaan itu terjadi ia masih berumur 23 tahun. Namanya: Rogel Aguilera-Mederos.
Orang ini berimigrasi ke Amerika dari Kuba. Ia ingin memperbaiki hidupnya yang susah di negara gagal itu. Ia memperoleh SIM komersial di Texas. Ia berhak mengemudikan truk cukup besar –18 ban. Semi-trailer. Hari itu, Kamis sore tiga tahun lalu, Rogel mengangkut kayu 2×4 (5,8 cm x 10,16 cm). Rogel harus melewati jalan bebas hambatan Interstate 70. Itulah salah satu jalan utama yang membelah Amerika –dari pantai barat sampai pantai timur. Izinkan saya sedikit emosional menuliskan I-70–saking seringnya mengemudikan mobil di jalur ini. Terutama di jalur Colorado-Kansas City. BACA JUGA: Pemerintahan Yang Baik Itu Seperti Ini
Kecelakaan yang mengakibatkan hukuman 110 tahun itu terjadi di jalur tersebut. Truk yang dikemudikan Rogel melaju dari ketinggian Rocky Mountain ke arah timur -ke arah Kansas. Sampai di dekat Denver -kota terbesar di Colorado- truk itu tidak terkendali. Hari itu jalan bebas hambatan lagi macet –di dekat interchange Colorado Mill Parkway. Itu Kamis sore. Padat-padanya lalu-lintas. Truk yang dikemudikan Rogel menyasar mereka: 28 mobil tergilas. Termasuk truk yang lebih kecil. Empat orang tewas –salah satunya terbakar. Tujuh orang luka-luka. Rogel sendiri baik-baik saja.
Ada seorang ibu, juga lagi di kemacetan itu. Sambil menelepon anak putrinya sang ibu melirik spion mobilnyi. “Itu kok ada truk melaju kencang dari belakang,” ujarnya mengenang kejadian sore itu. “Saya langsung meloncat keluar mobil,” ujarnya pada harian Denver Post. Dia selamat. Kejadian itu di depan matanya. Bahkan, setelah keluar dari Truknya Rogel menghampirinya. Pinjam teleponnya –untuk menelepon seseorang.
Menurut sang ibu, Rogel terus menerus mengatakan bahwa ia harus segera keluar dari lokasi itu. “Saya tidak mau masuk penjara,” katanya seperti dikutip dalam kesaksian sang ibu. Lokasi kecelakaan itu menjadi ibarat medan perang: teriakan histeris, bunyi ledakan, bubungan api, asap hitam, raung ambulans dan gotongan mayat terasa dominan. Yuri menilai Roger bersalah: melakukan pembunuhan dengan mobil yang ia kendarai. Ia melanggar 27 pasal pidana. BOLEH DIBACA DULU: Jembatan Talang Buai, Mukomuko Nyaris Putus
“Adapun menurut pasal-pasal yang dilanggar itu hukuman minimalnya 110 tahun,” ujar hakim di distrik Jefferson, bagian utara kota Denver. “Kalau saja saya punya wewenang untuk memperingan hukuman itu akan saya turunkan,” kata hakim Bruce Jones. “Tapi saya tidak punya wewenang itu,” tambahnya. Nilai hukuman yang begitu berat ternyata justru melahirkan simpati pada Rogel. Sejak Senin pekan lalu muncul gerakan di medsos: petisi untuk meringankan hukumannya. Sampai kemarin sudah lebih 2,5 juta yang menandatangani petisi tersebut.
Gubernur Colorado mulai mengambil perhatian. Ia mengharapkan Rogel naik banding. Agar gubernur bisa menggunakan wewenangnya untuk meringankan hukuman itu. Opini publik menyebut hukuman yang wajar adalah 20 tahun. Bahkan beberapa keluarga korban juga menyebut itu. “Ayah tercinta saya memang diambil dari saya. Ia (Rogel) telah menjauhkan sosok terbesar bagi saya. Tapi hukuman 110 itu berlebihan,” ujar Megan Harrison kepada Denver Post. “Apa pun, tabrakan itu adalah kriminal. Bukan kecelakaan,” ujar Duane Bailey, saudara kandung korban, William Bailey. “Tapi saya juga tidak ingin ia dihukum seumur hidup,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: