Catatan Dahlan Iskan: Peneliti Omicron
radarbengkuluonline.com - SAMPAI kemarin ”baru” 8 orang Indonesia yang terpapar Omicron –varian ke 15 Covid-19. Di balik bumi sana, di Amerika, sehari kemarin saja kasus barunya mencapai 250.000 orang. Di Inggris 120.000 orang. Di Rusia tidak jauh dari itu. Di sana, gelombang ketiga Covid-19 sudah melebihi tingginya gelombang ke-2. Angka tertinggi gelombang ketiga itu terjadi tepat di saat matahari dalam posisi paling Selatan. Mulai hari ini –dan seterusnya sampai akhir Juli– matahari akan kembali bergeser pelan-pelan ke utara.
Maafkan istilah matahari bergeser itu sebenarnya salah total. Anda sudah tahu: matahari itu tidak bergerak. Tidak pernah bergeser ke mana pun. Bumilah yang berputar dan memutari matahari. Pun matahari sebenarnya tidak pernah terbit dan tenggelam –hanya penyair dan pencipta nyair lagu yang mengada-adakannya. Juga kitab suci? SILAHKAN DIBACA: Warga Jenggalu, Seluma Ngadu ke Presiden
Mereka 8 orang yang terpapar Omicron itu tidak satu pun yang bergejala berat. Semuanya dikarantina di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Semuanya kasus impor. Kini semuanya sudah kembali negatif. Di Singapura juga belum ada angka-angka yang berbahaya. Tapi negara tetangga itu sudah antisipasi maksimal: mulai kemarin tidak ada lagi penjualan tiket apa pun dengan tujuan Singapura. Hanya yang sudah telanjur membeli tetap diizinkan masuk. Negara di belahan selatan seperti Brasil kasus barunya tidak meledak. Stabil di kisaran 3.000 sehari. Di Afrika Selatan, tempat lahirnya Omicron, juga terus melandai.
Seluruh angka itu di mata ahli virus seperti drh Indro Cahyono adalah angka paparan. Bukan angka terinfeksi. Itu karena didasarkan pemeriksaan di dalam hidung. Ia membedakan antara terpapar dan terinfeksi. “Terpapar itu kan sama dengan ketempelan virus. Nempelnya di dalam hidung,” katanya. “Maka mengatasinya juga sederhana. Lepaskan tempelan virus itu. Dengan cara cuci hidung dengan air garam. Juga cuci tenggorokan. Mudah. Murah,” katanya. BACA JUGA: Tim Kepahiang Sejahtera Duduki Puncak Klasemen Sementara
Indro ini rupanya penganut prinsip “orang hidup itu harus pernah membuat sejarah –sekecil apa pun”. Selama masa Covid ini ia sudah bikin dua sejarah penelitian: protokol rakyat dan paparan sinar UV terhadap virus. “Kelihatannya sepele. Protokol Rakyat itu bentuknya cuci hidung. Tapi penelitiannya tidak sederhana. Penelitiannya lama lho,” katanya. Terutama bagaimana virus itu sampai menempel, seberapa kuat tempelannya dan apa yang akhirnya bisa membuat tempelan itu lepas. (Disway 19 Juli 2021: Protokol Rakyat).
Ia mengajak buka-bukaan: agar semua peneliti virus Covid di Indonesia mengungkapkan penelitian apa saja yang pernah dilakukan selama pandemi ini. Dengan buka-bukaan itu, katanya, kita jadi tahu apakah para ahli virus kita telah melakukan penelitian yang sesungguhnya. “Atau hanya cuplik data primer dan sekunder yang sudah ada,” katanya. Indro tidak rela kalau rakyat diombang-ambingkan oleh angka-angka yang diolah berdasar kepentingan masing-masing. BACA DULU INI: Ini Dia Orang Bengkulu Yang Tersangkut Namanya di Jalan (17)
Saya termasuk senang mendengar prinsip drh Indro ini: apa pun variannya tetap saja Covid-19. Artinya, tingkat kematiannya hanya 2 sampai 3 persen. Waspada dan hati-hati perlu. Tidak harus terteror oleh ketakutan. Bahwa sampai hari ini paparan Omicron di Indonesia tetap rendah faktornya memang banyak. Vaksinasi sudah meluas. Herd immunity sudah tercapai. Masyarakat kian hati-hati. Dan paparan sinar UV di kawasan Indonesia sangat tinggi. Antara 8 sampai 10 –bahkan mencapai level 12 di Papua.
“Saya setuju salah satunya berkat sinar UV itu,” ujar Prof Nidom, ahli virus dari Unair. Tapi Nidom juga menganjurkan untuk tetap waspada. “Jangan-jangan ini seperti gejala tsunami. Surut jauh dulu. Lalu terjadi tsunami,” katanya. PERLU DIBACA: ESD: Saya Tidak Pernah Merekomendasikan Penundaan Musorprov KONI
Nidom juga menyebut rendahnya tingkat PCR. Jadinya angka kasus baru terlihat rendah. Melihat ledakan Omicron di negara-negara dingin memang mengerikan. Kita pun tidak bisa percaya penuh soal UV. Pada dasarnya kita masih tetap menebak-nebak kenapa begitu rendahnya angka Omicron di Indonesia. Rakyat sungguh berharap pada para peneliti. Khususnya yang relevan dengan negara tropis seperti kita. Sementara ini kita hanya bisa berpegang ”Omicron itu hanya Covid juga.” (Sumeks.co)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: