Catatan Dahlan Iskan: Bensin Sawit

Catatan Dahlan Iskan: Bensin Sawit

radarbengkuluonline.com - NAMA Melia kembali menghiasi langit ilmu pengetahuan Indonesia: dia berhasil membuat bensin dari kelapa sawit. Anda sudah tahu nama bensin baru itu: bensa –bensin sawit. Tahun lalu nama Melia juga melejit. Dia berhasil menemukan katalis merah putih –sehingga Pertamina tidak perlu impor katalis lagi untuk proses pengolahan minyak mentahnya. Nama lengkapnya: Melia Laniwati Gunawan.

Melia pun kini menjadi satu dari tiga wanita paling menonjol di ITB. Yang dua lagi Anda sudah tahu: Dr Betty Alisyahbana dan Dr Nyoman Anjani. Betty pernah menjabat Presdir PT IBM Indonesia dan komisaris Garuda Indonesia. Juga, menjadi ketua Wali Amanat ITB. Nyoman menjadi eksekutif puncak di Unilever Indonesia. Betty aslinya arsitek ITB, lalu ke bisnis konsultasi. Nyoman aslinya teknik mesin ITB –lulus cum laude– lalu ke Unilever.

Ia masuk ke teknik kimia. ”Saya ingin jadi guru kimia,” ujar Melia kemarin sore. Akhirnya Melia jadi ilmuwan, peneliti, dan dosen yang sangat berprestasi. ”Semua itu berkat pembimbing saya, Prof Dr Subagjo,” ujar Melia. ”Beliau yang membimbing saya sejak S-1, S-2, sampai S-3,” ujar Melia. ”Tanpa beliau, saya bukan apa-apa,” tambahnya. BACA DULU: Gubernur Rohidin Tolak Hapus Tenaga Honorer

Melia dari keluarga miskin. Ayahnya, Gunawan, sopir angkutan umum. Kadang jurusan Bandung–Cimahi. Kadang jurusan Bandung–Cirebon. Kendaraan umumnya bukan bus, tapi suburban –tidak ada lagi jenis kendaraan seperti itu sekarang. Waktu Melia kelas II SMP di Bandung, ayahnya meninggal. Mendadak. ”Kami tidak tahu karena apa. Kami masih kecil. Tidak mengerti,” ujar Melia.

Sejak itu sang ibu harus menghidupi lima anak –Melia anak pertama. Sang ibu menerima upah jahitan. Melia membantu sang ibu. Tamat SMP, Melia bisa masuk SMA –meski swasta. Ada SMA yang baru dibuka tiga tahun sebelumnya: SMA Kristen Bina Bakti. Dia angkatan ketiga di SMA itu. ”Saya alumni pertama yang berhasil masuk ITB,” ujar Melia.

Itu karena nilai Melia sangat baik. Matematikanya selalu dapat angka 10. Untuk kimia kadang 8, kadang 9. Untuk biaya kuliah, Melia merangkap menjadi guru kimia di almamaternya: Bina Bakti. Setelah lulus S-1, Melia diperlukan ITB. Dia diberi beasiswa untuk ke S-2 teknik kimia: agar bisa jadi dosen di ITB. Lalu, dapat beasiswa lagi untuk S-3. Juga di ITB. Disertasi doktor Melia berjudul: Konversi Normal Butanol Menjadi Isobutilen –kita perlu kuliah 7 tahun di ITB untuk mengerti maksudnya.

Dia berdarah campuran. Ayahnya sopir suburban tadi, Tionghoa bermarga Go –dalam bahasa Mandarin disebut marga Wu. Ibunya Sunda asgar –asli Garut. Mereka bertemu di Bandung. Melia kini punya dua anak –perempuan semua. Yang satu lulusan desain ITB, satunya lagi lulusan bisnis Universitas Parahyangan. ”Anak-anak tidak ada yang suka kimia,” ujar Melia. BACA JUGA: Insentif untuk Tenaga Kesehatan Kepahiang Tidak Dianggarkan

Perusahaan sawit hanya mau memproduksi CPO karena tujuan akhir mereka sama: agar bisa diubah menjadi minyak goreng. Padahal, kalau tujuannya untuk dibuat D100 atau bensa, tidak perlu sampai diproses menjadi CPO. Berarti, diperlukan pabrik lain: namanya, pabrik IVO. Bukan pabrik CPO. Maukah perusahaan perkebunan sawit membangun pabrik IVO untuk bahan baku D100 dan bensa? Tidak mau. Mereka pilih membangun pabrik pengolah sawit untuk memproduksi CPO. Pabrik itu disebut PKS –pabrik kelapa sawit.

CPO bisa dijual ke pabrik minyak goreng. Di dalam maupun ke luar negeri. Harga CPO sangat baik saat ini –termahal dalam sejarah sawit: 1.400 dolar AS/ton. Saking mahalnya, sampai ada yang justru menjual perusahaan sawitnya. Salah satunya adalah pengusaha besar yang sangat terkenal. Aneh? ”Justru ketika mahal, harus dijual. Kalau kelak murah, baru beli lagi.” Ganjil, tapi masuk akal. Para pengusaha sawit tentu bertanya: kalau kami membangun pabrik IVO, siapa yang membeli? Dengan harga berapa? Tidak akan ada yang bisa menjawab.

Karena itu, para pengusaha sawit akan tetap pilih masuk ke PKS. Itulah sebabnya, ITB akan membangun sendiri pabrik IVO. Dari IVO diolah lagi menjadi bensa. Kelebihan bensa dari bensin adalah RON-nya. RON bensin yang kita kenal adalah 93 –atau di bawah itu. Sedangkan RON bensa dari IVO bisa sampai 112. Maka, saya kira, bensa itu, kelak, akan dicampur dengan bensin RON 83. Untuk menjadi bensin RON 93. Atau variasi sejenis.

Pemerintah mendukung penuh langkah ITB tersebut. Toh, ada dana besar yang bisa dipakai untuk melanjutkan penelitian itu: dana khusus sawit. Yang dikumpulkan pemerintah dari para pengusaha sawit –di luar APBN. Dana tersebut sekarang terkumpul di BLU (Badan Layanan Umum) Sawit di bawah Kementerian Keuangan. Tujuannya, membantu pengembangan green energy dari sawit.

Tahap pertama akan dibangun pabrik IVO berkapasitas 50.000 ton di Sumsel. Saya perkirakan perlu biaya sekitar Rp 120 miliar –saya samakan dengan pabrik CPO/PKS. Setelah bensa dibuat dari IVO –bukan lagi dari CPO– tentu harga bensa bisa lebih rendah. Tapi, serendah-rendahnya harga bensa –perkiraan saya– masih akan di sekitar Rp 20.000/liter. Memang harga sawit luar biasa mahal. Pesaing bensa adalah mulut manusia. Kian banyak mulut di muka bumi, kian mahal minyak goreng.

Itu mirip dengan proyek etanol dari jagung: harus bersaing dengan mulut ternak. Jumlah ternak terus dikembangkan: lebih baik jagung untuk makanan ternak. Tapi, dengan ditemukannya bensa, kita sudah lebih punya banyak pilihan untuk green energy. Bahkan, kalaupun kelak harga sawit jatuh, masih bisa untuk bensa. Sawit untuk mulut manusia. Jagung untuk mulut ternak. Mulut menjadi pesaing abadi untuk green energy. (Sumeks.co)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: