Polusi Udara Sering Diabaikan

Minggu 28-06-2020,20:18 WIB
Reporter : radar
Editor : radar

RBO >> BENGKULU >>>   Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat merupakan hak asasi manusia. Namun sayangnya hak masyarakat untuk mendapatkan informasi apakah udara yang dihirup masih sehat atau berbahaya bagi kesehatan seringkali diabaikan.

Hal ini terungkap dalam diskusi daring yang digelar Kanopi Hijau Indonesia dengan tema Hak Rakyat atas Informasi Polusi Udara yang menghadirkan empat narasumber. Yakni peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Bella Natalia, Akademisi Universitas Bengkulu Djonet Santoso, Komisioner Komisi Informasi Publik, Mona Anggraini dan aparatur Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Bengkulu, Zainubi yang dipandu oleh moderator Ketua Kanopi Bengkulu, Ali Akbar.

Dalam pengantar diskusi, Ali mengatakan sesuai, riset Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyebutkan, PLTU Batu Bara berdaya 1000 MW PLTU batu bara dengan teknologi super ultra kritikal, setara dengan emisi yang dihasilkan dari 3 juta kendaraan bermotor roda empat.

Sedangkan emisi PLTU Batu Bara Teluk Sepang dengan daya 2 x 100 Megawatt melepaskan karbon setara dengan 570 ribu kendaraan roda empat per tahun. Sementara pada 2016, jumlah kendaraan roda dua dan empat di Provinsi Bengkulu mencapai 850 ribu unit.

"Artinya, masyarakat perlu mendapat informasi yang utuh karena emisi dari PLTU Teluk Sepang yang berdiri di tengah kota itu hampir setara dengan emisi buang seluruh kendaraan roda yang ada di Provinsi Bengkulu," ujar Ali. Ali menyampaikan, dalam berbagai riset yang sudah tersebar di masyarakat, emisi PLTU Batu Bara yang mengandung PM 2,5 dapat mengakibatkan berbagai penyakit mematikan. Seperti stroke, jantung, kanker dan penyakit pernafasan akut.

"Maka dari itu, hal seperti ini perlu diambil kebijakan yang lebih lanjut seperti apa nantinya," katanya.

Sementara itu, dari ICEL Bella Nathania mengatakan, informasi atas emisi seringkali diabaikan oleh pemerintah. Padahal berkaitan dengan HAM. Dia mencontohkan, saat PSBB di DKI Jakarta, banyak orang berasumsi kualitas udara membaik. Padahal berdasarkan hasil penelitian justru masih sama dengan tahun sebelumnya.

"Pada bulan Maret dan April 2020, PM 2,5 masih sama. Padahal kendaraan berkurang sangat jauh. Ternyata, Kota Jakarta dikelilingi 10 PLTU Batu Bara dalam radius 100 kilometer," ungkap Bela.

Dijelaskannya, PLTU ini mengeluarkan material berupa partikel berukuran 2,5 milimikron yang mencemari ke Kota Jakarta. Material tak kasat mata ini, memang berdampak signifikan terhadap lingkungan dan manusia karena mengandung SO 2, Nox debu yang tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan, tapi juga mencemari laut, air permukaan dan lahan pertanian. "Sesuai Peraturan Menteri LHK No 15 tahun 2019, PLTU wajib melakukan pemantaun emisi dengan Sistem Pemantauan Emisi secara terus-menerus atau (Continuous Emissions Monitoring System” (CEMS).

Dalam pasal 19 ayat 2 peraturan tersebut, laporan pemantauan emisi secara terus menerus disampaikan satu kali dalam tiga bulan kepada pemberi izn dan pemantauan terhadap SO2, NOx, PM, dan Hg. ''Kemudian dalam PP 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pada pasal 49 menyebutkan, hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu emisi wajib disebarluaskan kepada masyarakat," jelasnya.

Menurutnya, Indonesia bisa belajar dari China yang pada 2008 kabut asap tebal menyelimuti Beijing hingga mengganggu pelaksanaan olimpiade lalu, pemerintah China menerbitkan peraturan keterbukaan informasi. Kemudian 2014 pemerintah memerintahkan setiap PLTU untuk mempublikasikan emisi secara daring dan dapat diakses masyarakat.  Pemerintah Indonesia menurutnya dapat meniru hal ini. Karena di wilayah DKI Jakarta saja, informasi tentang emisi belum dapat diakses masyarakat dengan mudah dan berkala.

Disisi lain, Dosen pengampu mata kuliah Administrasi Publik Fakultas Isipol Universitas Bengkulu, DJonet Santoso mengatakan, keterbukaan informasi mengedepankan fokus kepentingan publik, maka fokusnya adalah bagaimana kepentingan publik diinformasikan." Ada delapan informasi publik yang harus digarisbawahi. Yaitu ketersediaan informasi, mudah dipahami, relevan dengan persoalan, memberikan manfaat untuk publik, tepat waktu, keandalan atau bisa digunakan dan diterapkan, dan akurat dan konsisten," kata Djonet Santoso.

Selain itu, terkait dengan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, komisioner KIP Provinsi Bengkulu, Mona Anggraini mengatakan, hak atas informasi publik dijamin dalam Undang-Undang. Ia juga menjelaskan tata cara mendapatkan informasi. Yaitu meminta kepada badan publik terlebih dahulu dengan mencantumkan tujuan informasi tersebut. Jika tidak direspon, kemudian menyatakan keberatan. Kemudian, baru mengajukan sengketa informasi kepada komisi.

Sedangkan Zainubi dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, pada 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memasang sejumlah alat pemantau kualitas udara di Kota Bengkulu, khususnya memantau emisi dari kendaraan bermotor.

" Sedangkan di PLTU batu bara Teluk Sepang, telah dipasang alat monitor CEMS dan jika sudah operasi, PT TLB menyampaikan laporan secara langsung ke ESDM, DLHK, Disnaker. Mereka akan beroperasi mulai Agustus tahun ini," tutupnya. (ach)

Tags :
Kategori :

Terkait