Oleh: Aura Puspita Ramadhani
A.PENDAHULUAN Hukum Pidana sebagai sarana terakhir atau sering disebut sebagai Ultimum Remedium. Dalam bahasa Inggris disebut juga sebagai The Last Resort merupakan suatu asas yang pada umumnya melekat pada hukum pidana. Ultimum Remedium adalah suatu obat terakhir yang digunakan apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi. Kalau masih ada jalan lain janganlah menggunakan hukum pidana. Sifat Ultimum remedium ini juga menjadi sebuah pembeda antara hukum pidana dengan bagian bidang hukum lain dikarenakan seperti, hukum tata negara dan hukum administrasi negara dalam penggunaannya tidaklah bersifat ultimum remedium seperti hukum pidana, namun Primum remedium, yang dijadikan sebagai sarana utama atau terdepan dalam penggunaannya . Selama masa pandemi COVID-19, ditetapkanlah protokol kesehatan, salah satunya adalah mewjibkan setiap orang yang melakukan aktivitas di luar rumah mengenakan masker dan menghindari kerumunan. Untuk memastikan bahwa protocol kesehatan tersebut dilaksanakan oleh masyarakat, maka Polri memutuskan mengunakan sanksi pidana sebagai upaya terakhir Ultimum Remedium secara tegas dan profesional terhadap pelanggar protokol kesehatan yang sudah berulang kali diberi peringatan. Upaya Polri mencegah penyebaran Covid-19 dimulai dengan tindaka penyekatan dan penegakan protokol kesehatan dengan memprioritaskan langkah-langkah pre-emtif dan preventif humanis, hingga masyarakat betul-betul mematuhi protokol kesehatan yang sesuai berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) . Pilihan untuk mewajibkan setiap orang untuk menggunakan masker dan tidak masuk dalam kerumunan yang merupakan bagian dari Protocol Kesehatan. Penggunaan masker yang menutup hidung sampai dengan dagu, jika harus berpergian keluar rumah atau berinteraksi dengan orang luar yang tidak di kenal dan tidak diketahui status kesehatannya ditujukan agar menutup kemungkinan terpapar penularan covid-19. Protokol kesehatan COVID-19 dalam Kepmenkes HK.01.07/2020 tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat baik dalam penetapan kebijakan, pembinaan aktivitas usaha, pelaksanaan usaha/kegiatan, aktivitas masyarakat, maupun dalam melakukan pengawasan kegiatan di tempat dan fasilitas umum, dalam rangka mencegah terjadinya ekluster baru selama masa pandemi COVID-19 . Penegakan Protokol kesehatan seolah olah mengenyampingkan cara perdamaian dan musyawarah. Penegakan hukum protocol kesehatan dalam hal tertentu mandahulukan sarana hukum pidana, seolah-olah hukum pidana adalah sarana terdepan dan yang utama. Penegakan protokol kesehatan Covid-19 didasarkan pada surat Kapolri yaitu Surat telegram bernomor ST/3220/XI/KES.7./2020 tertanggal 16 November 2020 itu ditandatangani oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, yang menjelaskan bahwa dalam salah satu perintah dalam surat itu adalah agar jajaran kepolisian menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelanggar protokol kesehatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Apabila dalam penegakan perda/peraturan kepala daerah tentang penerapan protokol kesehatan Covid-19 ditemukan adanya upaya penolakan, ketidakpatuhan atau upaya lain yang menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu stabilitas, maka lakukan upaya penegakan hukum secara tegas terhadap siapapun . B.PEMBAHASAN Indonesia sebagai negara hukum memiliki salah satu dari peraturan perundang-undangan tersebut dikenal dengan adanya suatu sistem pemidanaan (the sentencing system) yang merupakan aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan . Hukum pidana haruslah diakui sebagai suatu sanksi istimewa, hukum pidana dapat membatasi kemerdekaan manusia dengan menjatuhkan hukuman penjara atau hukuman badan, bahkan menghabiskan hidup manusia. Hukum pidana memuat sanksi-sanksi atas pelanggaran kaidah hukum yang jauh lebih keras dari sanksi-sanksi yang diatur dalam hukum lain . The last resort atau Ultimum Remedium merupakan istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum atau sebagai alat terakhir . Hukum pidana mempunyai perbedaan dari hukum lainnya, berkenaan soal sanksi. Sanksi pidana dapat berupa penjara dan kurungan. Sanksi pidana mengakibatkan terpidana harus tersaing dan terpisah dari keluarga dan masyarakat. Sanksi yang paling kejam adalah hukuman mati, membuat terpidana terpisah dari kehidupannya . Sanksi pidana khususnya penjara dapat menimbulkan stigma bagi terpidana walaupun telah selesai menjalankan pidana. Stigma tersebut selalu melekat dalam jangka waktu yang lama. Mayoritas sarjana hukum menyarankan agar hukum pidana bisa saja sesekali tidak bersifat Ultimum Remedium dalam penerapannya namun lebih condong kepada penggunaannya sebagai sarana yang utama atau Primum Remedium . Hal tersebut hanya dapat terjadi apabila telah memenuhi kriteria sehingga perubahan dari yang sebelumnya ultimum remedium menjadi primum remedium. Adapun sanksi pidana sebagai primum remedium dapat diterapkan, apabila pertama kejahatan tersebut digolongkan sebagai musuh seluruh umat manusia/Hostis Humanis generis, sehingga jangankan sebuah negara, bahkan seluruh dunia bersepakat untuk memberantas jenis kejahatan tersebut . Kedua, kejahatan tersebut termasuk ke dalam jenis kejahatan luar biasa (extraordinary Crime). Ketiga, kejahatan tersebut menimbukan kerugian yang sedemikain besarnya kepada benda hukum atau kepentingan hukum sehingga tidak dapat diperbaiki lagi . Berkenaan dengan penegakan protocol Kesehatan yang paling sering memerlukan penegakan dengan menggunakan hukum pidana adalah berkenaan “menjaga jarak”. Tujuannya, orang harus menghindari kerumunan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan untuk mencegah penularan Covid-19. Sepanjang satu tahun pandemi Covid-19 di Tanah Air, beragam peristiwa pelanggaran protokol kesehatan terjadi di hampir sebagian daerah 34 Provinsi di Indonesia. Beberapa dikenakan sanksi berdasarkan peraturan daerah masing-masing, tetapi ada juga sebagian yang dikenakan sanksi pidana dengan pasal yang dijelaskan dalam aturan yang ada Undang-Undang. Pembatasan Sosial yang berupa himbauan itu rupanya dianggap kurang efektif dalam mencegah penularan Covid-19. Oleh karena sebagian kantor dan industri tetap buka, dan didesak karena kebutuhan hidup, banyak kalangan yang tetap beraktivitas menggunakan kendaraan pribadi. Pemerintah Indonesia mulai menerapkan pembatasan dengan kebijakan social distancing (jaga jarak sosial, menghindari kerumunan), lalu physical distancing (jaga jarak antar orang minimal 1,8 meter) sejak awal Maret 2020 . Salah satu contohnya pelanggaran prokes terkait COVID-19, dengan menggunakan saksi pidana, menimbulkan kehebohan dalam masyarakat, yaitu kasus Kerumunan di acara Rizieq Shihab yang tak bisa dihindari karena orang-orang yang datang bukan hanya dari Jakarta tapi juga daerah lain. Penegakan kasus tersebut menggunakan saknsi pidana yaitu berdasarkan Pasal 93 UU 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan , Pasal ini menjelaskan ancaman penjara maksimal satu tahun serta denda paling banyak Rp100 juta. Status tersangka Rizieq Shihab ini diumumkan setelah Polda Metro Jaya melakukan gelar perkara kasus pengumpulan massa dalam pernikahan putri Rizieq Shihab yang melanggar protokol kesehatan. Sebelum menjadi tersangka dan masih berstatus sebagai saksi, Rizieq menolak pemanggilan pemeriksaan oleh tim penyidik Polda Metro Jaya, karena berbagai alasan. kepolisian dituding FPI “tebang pilih kasus” karena mempersoalkan acara peringatan Maulid Nabi dan pernikahan anak Rizieq, tapi membiarkan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pejabat dan figur publik lain. Surat telegram terkait penegakan Protocol Kesehatan Covid-19 surat telegram bernomor ST/3220/XI/KES.7/2020 tertanggal 16 November 2020 itu ditandatangani oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, adalah agar jajaran kepolisian menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelanggar protokol kesehatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. seperti dikutip dari surat telegram tersebut yang mana Apabila dalam penegakan perda/peraturan kepala daerah tentang penerapan protokol kesehatan Covid-19, ditemukan adanya upaya penolakan, ketidakpatuhan atau upaya lain yang menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu stabilitas KAMTIBMAS, maka lakukan upaya penegakan hukum secara tegas terhadap siapapun. Penegakan hukum pidana tidak digunakan pada pelanggaran kerumunan pada kasus lainnya. Menurut Titi Anggraini dari Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), langkah polisi tidak mengusut sejumlah warga dengan UU Kekarantinaan Kesehatan yang dilakuakn oleh calon kepala daerah yang menciptakan kerumunan massa saat kampanye Pilkada dipandang sebagian masyarakat sebagai diskriminasi. Terkait Pilkada, sampai pekan terakhir November lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah membubarkan 197 acara kampanye tatap muka, yang dianggap melanggar protokol kesehatan . Namun langkah sanksi administratif diperlukan dalam meningkatkan ke langkah penegakan hukum lain, tetapi ada yang beranggapan jika sudah dikenakan sanksi administrasi maka dianggap tidak bisa dilakukan penegakan hukum dalam konteks yang lain, hal Ini yang kemudian memicu ketidakpuasan masyarakat secara luas . Dalam surat tersebut tercantum pula pasal-pasal yang menjadi acuan, yakni Pasal 65 KUHP, Pasal 212 KUHP, Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP. Kemudian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 84 dan Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan . Adapun Pasal 212 KUHP mengatur perihal perlawanan terhadap pejabat yang sedang menjalankan tugasnya . Pasal tersebut mengatur, Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500. Pasal 216 ayat (1) KUHP menyebutkan, Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000. Sementara, Pasal 218 KUHP menyatakan, Barangsiapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000 . Adapula Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 mengatur, Setiap orang yang tidak mematuhi dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta. Seharusnya pemerintah mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan perilaku masyarakat di masa pandemi COVID-19 secara integratif dan sistematis, serta terus memantau perkembangan penerapan protokol kesehatan di lingkungan masyarakat dari berbagai kalangan dan tempat . Sementara dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan harus mempertimbangkan kondisi psikologis dan sosiologis bagi pelanggar, tujuannya agar masyarakat dapat memahami pentingnya menjaga kesehatan dengan mengimplementasikan protokol kesehatan 3M secara bersamaan dalam beraktivitas dan melakukan kegiatan seharihari, bukan hanya sekedar takut kepada pemberian sanksi semata dan perlu diketahui agar masyarakat lebih meningkatkan perhatian terhadap bahaya yang mengancam dari COVID19, baik bagi diri sendiri maupun dari dan bagi orang-orang di sekitar. Banyak alternatif dalam menyelesaikan konflik dan mengatasi konsekuensinya dalam memberikan sanksi yang adil dan konsisten kepada pelaku pelanggar kerumunan ini. Program keadilan restoratif didasarkan pada keyakinan bahwa pihak yang terlibat konflik harus secara aktif terlibat dalam menyelesaikan dan mengurangi konsekuensi negative, yang maksudnya dengan pendekatan ini dilihat sebagai sarana untuk mendorong ekspresi damai konflik, untuk mengembangkan toleransi dan menumbuhkan sikap empati terhadap orang lain, membangun penghargaan atas keragaman dan mempromosikan praktek masyarakat yang bertanggung jawab dalam masalah yang telah diperbuat . Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Penegakan hukum dapat dilakukan dengan berupa penindakan, dapat dilakukan dengan urutan yang di awali oleh teguran, peringatan, supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan); kedua berupa Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda); dan yang ketiga Penyisihan atau pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu); dan yang terakhir Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati). Urutan tersebut lebih menunjukkan pada suatu tuntutan moral yuridis yang berat terhadap aparat penegak hokum agar dalam menjalankan tugas, kewenangan, dan kewajibannya dilakukan secara maksimal. Kesuksesan law enforcement sangat ditentukan oleh peran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan sistem hukum. Kalau sistem hukum ini gagal dijalankan, maka hukum akan kehilangan dalam sakralitas sosialnya. Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 4 1. Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. 2. Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus tetapmempertimbangkan kebutuhan pendidikan,produktivitas kerja, dan ibadah penduduk. 3. Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikanpemenuhan kcbutuhan dasar penduduk . Adapun, tindakan pengumpulan massa terdiri atas lima hal. Pertama, pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya yang sejenis. Kedua, kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazar, pasar malam, pameran dan resepsi keluarga. Ketiga, kegiatan olahraga, kesenian, dan jasa hiburan. Keempat, unjuk rasa, pawai dan karnaval. Terakhir, kegiatan lain yang menjadikan berkumpulnya massa . Kapolri juga meminta masyarakat tak menimbun bahan pokok serta tidak menyebarkan berita bohong atau hoaks. Serta meminta agar Kaporli menindak dengan tegas bila ada yang melanggar maklumat tersebut. Jika tidak, Ancaman pidana menanti bagi mereka yang melanggar imbauan polisi untuk membubarkan diri. Yang berupa Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP. Ancaman hukumannya adalah satu tahun empat bulan penjara . Hukuman pidana juga berlaku bagi masyarakat maupun korporasi yang dengan sengaja menimbun bahan kebutuhan pokok masyarakat selama pandemi Covid-19. Hal itu tertuang pada telegram bernomor ST/1099/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo tertanggal 4 April 2020. Mereka yang memainkan harga atau menimbun bahan pokok disangkakan Pasal 29 dan Pasal 107 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 62 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta UU lain yang terkait. Sementara, oknum yang menghambat jalur distribusi pangan dikenakan Pasal 107 huruf f UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara . Hukum Pidana mengatur tentang perbuatan perbuatan yang dapat dipidana, yang secara teknis disebut dengan istilah “tindak pidana.” Protokol Covid-19 merupakan salah satu upaya penanggulangan wabah penyakit menular. Karena mencegah penularan penyakit bersifat wajib, maka menolak Protokol Covid19 merupakan tindakan melanggar hukum. Bila perspektif Hukum Pidana digunakan untuk menganalisis penolakan protokol Covid-19, maka pertanyaan yang muncul adalah, apakah menolak protokol Covid-19 termasuk perbuatan yang dapat dipidana. Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular: “Upaya penanggulangan wabah adalah segala upaya yang ditujukan untuk memperkecil angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain”. Serta dijelaskan pula pada Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular: Menteri (Kesehatan) bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis upaya penanggulangan wabah. Sehingga mentri melakukan pertanggung jawabannya melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 ini, di Instruksi kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota agar (antara lain) menyusun dan menetapkan peraturan gubernur/peraturan bupati/peraturan walikota yang memuat ketentuan tentang kewajiban mematuhi protokol kesehatan yang memuat sanksi berupa Teguran lisan atau teguran tertulis; Kerja Sosial; Denda Administratif; atau Penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha . Jika ada sekelompok manusia yang mempunyai tujuan yang sama melakukan kerumunan Dikala wabah covid ini dan tanpa mengikuti aturan KEPMENKES No. HK.01.07/MENKES/382/2020 Tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat, di Tempat dan Fasilitas Umum, seharusnya demi Perlindungan Individu, menggunakan masker; Membersihkan tangan; Menjaga jarak minimal 1 meter; merupakan bentuk pelanggaran hukum administrasi dari pada pelanggaran hukum pidana. Oleh karenanya, tindakan tersebut tidak sampai membawa akibat hukum berupa pemidanaan. Jika merujuk pada INPRES No. 6 Th. 2020, spiritnya lebih kearah pengenaan sanksi administratif, bukan pidana. perlu diketahui bahwa Suatu perbuatan bisa disebut “menghalangi upaya penanggulangan wabah‟ apabila perbuatan tersebut secara nyata menimbulkan akibat berupa terhalangnya upaya penanggulangan wabah tersebut. Upaya paksa dalam kontets pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas yang berwenang terhadap penolakan yang dilakukan pelanggar ditindaklanjuti dengan melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwenang (Gugus Tugas Penanggulangan Covid). Mereka inilah yang akan menindaklanjuti melakukan pemeriksaan. Upaya paksa tersebut tidak melanggar hukum karena dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan undang-undang. Dalam hukum pidana, melaksanakan ketentuan undang-undang diakui sebagai salah satu alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) . Sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggar hanya berupa sanksi administrasi. Dalam penegakan hukum, sanksi administrasi merupakan sanksi yang lebih lunak dibandingkan sanksi pidana hal ini sebabkan karena sifat dari sanksi administrasi adalah memulihkan (reparatoir). C.KESIMPULAN Penegakan hukum, termasuk penegakan Prokes dalam rangka penaggulangan CPVID 19 dilakukan berdasarkan kesadaran bahwa pelanggaran terhadap Prokes bukanlah kejahatan, tetapi berkenaan dengan manajemen penanggulangan penyebaran Covid 19. Oleh karena itu penanggulangan Covid 19 harus dilakukan secara bertahap, yaitu 1.Pengunaan sarana non penal terlebih dahulu, berupa kebijakan pemerintah yang mengimbau dan menanamkan kesadaran bagi masyarakat pentingnya mematuhi PROKES untuk melindungi diri sendiri, keluarga dan masyarakat pada umumnya. 2.Pengunaan sarana penal terhadap adanya sisa-sisa pelanggaran yang dilakukan masyarakat, dengan menggunakan hukum pidana dan sanksi pidana guna mencegah dan menindak pelaku pelanggaran. DAFTAR PUSTAKA Adityo Susilo, dkk., “Corona Virus Deases 2019: Tinjauan Literatur Terkini”, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7, 1 (2020), hlm. 45. Anggraeni, Anggita. “Penal Mediation As Alternative Dispute Resolution: A Criminal Law Reform in Indonesia.” Journal of Law and Legal Reform 1, no. 2 (2020). Awal mula kemunculannya, virus ini disebut sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV), namun WHO memberikan nama baru baru pada 11 Februari 2020 sebagai Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Lihat Susilo, dkk., “Corona Virus Deases 2019”, hlm. 45. Dikutip dari Kompas.com, yang Dipublikasikan 21.35, 19/11/2020 , Oleh Devina Halim Dikutip dari Situs https://nasional.kompas.com/read/2021/03/02/11231951/kerumunan-selama-pandemi- yangberujung-pidana?page=all, Pada tanggal 26 April 2021, Pukul 21.46 WIB. Dikutip dari Situs https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55131820, Pada tanggal 23 April 2021. https://nasional.kompas.com/read/2020/11/16/21151481/ini-ancaman-pidana-bagi-pelanggar-protokol-kesehatan-covid-19?page=all https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5f659efb97c18/dua-sanksi-sekaligus-untuk-pelanggar- protokol-pencegahan-covid-19/ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana M. Endriyo Susila, PENOLAKAN PROTOKOL COVID 19: PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (UNDIP), MCL (IIUM), PhD (IIUM). Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010 Ridhuan Syahrani, 1999, Rangkaian Intisari Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Hal 192 Situs https://nasional.kompas.com/read/2020/11/26/21210211/ini-alasan-polri-belumpanggilrizieq-shihab terkait-kerumunan-di-jakarta Pada tanggal 23 April 2021, Pukul 16.14 WIB So Woong Kim, “Kebijakan hukum pidana dalam upaya penegakan hukum lingkungan hidup”, Jurnal Dimanika Hukum, Vol 13, 2013. David Aprizone Putra, “Implikasi politik kebijakan hukum pidana dalam UUPLH”, Jurnal Legality, Vol. 25, 2017 Sudarmaji, Aji. “Penal Mediation as an Alternative Settlement of Criminal Cases Emphasizing Restorative Justice.” Jurnal Pembaharuan Hukum VI, no. 3 (2019). Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Hal 20 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar hal. 128 Susetyo, Heru, 2013, Pengkajian Hukum Tentang Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, UN New York, Vienna, 2006, hlm. 5 UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara“REALITAS THE LAST RESORT SANKSI HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM PROTOKOL KESEHATAN”
Senin 26-07-2021,20:16 WIB
Editor : radar
Kategori :