DUA kabar baik datang dari dunia Barat untuk Afghanistan. Para pejabat AS mulai bertemu dengan para pejabat Afghanistan. Memang benar bahwa belum ada keputusan penting tetapi itu berarti tidak ada pembekuan.
Di sisi lain, Uni Eropa memutuskan alokasi bantuan kemanusiaan dalam jumlah besar: 1 miliar Euro. Sekitar Rp 15 triliun. Memang itu tidak akan diberikan langsung kepada Taliban. Itu hanya akan disalurkan melalui lembaga internasional di Afghanistan. Yaitu lembaga yang menangani kemiskinan, pendidikan dan kesehatan. Setidaknya Barat mulai percaya pada pemerintah Taliban 2.0 – meskipun masih tidak mau mengakuinya. Orang Amerika tampaknya “puas” dengan sikap Taliban 2.0: tidak ada satu pun tentara Amerika yang tersisa di sana. Semua orang bisa pulang. Mereka yang meninggal tidak diketahui di mana mereka dibunuh dan di mana tubuh mereka berada. Semua diidentifikasi. Tidak ada yang datang, misalnya, masih sandera. Bahkan Amerika Serikat mengakui bahwa tidak ada MIA yang hilang dalam aksi perang Afghanistan. Bagi Eropa, Afghanistan yang gagal, itu memang hanya akan membebani negara-negara itu: masuknya pengungsi. Pelajaran dari perang Suriah cukup pahit di bidang pengungsi.
Ursula von der Leyen, kepala Uni Eropa, adalah bagian dari elit penguasa di Jerman. Dia merasakan bagaimana masalah pengungsi bisa mengguncang politik dalam negeri Jerman. Bahkan partai penguasa yang sukses kalah tipis dalam pemilihan terakhir.
Ursula adalah wanita yang selalu menjadi menteri di masa pemerintahan Angela Merkel. Yang pemerintahannyi begitu panjang: 16 tahun.
Perdana Menteri Merkel begitu hebat. Jerman menjadi raksasa Eropa –sampai Inggris dan Prancis begitu cemburu. Merkel sendiri menjadi sosok yang begitu dicintai. Salah satunya berkat kesederhanaannyi: bajunyi begitu-begitu saja. Itu-itu saja. Tempat tinggalnyi pun hanya di apartemen sederhana.
Dia begitu sukses: pribadi, prestasi, dan reputasi.
Toh dalam pemilu bisa kalah –salah satunya akibat banjir pengungsi itu.
Sebenarnya Ursula punya kans untuk menggantikan Merkel. Nama Ursula sempat disebut-sebut ke arah sana. Tapi sebelum Merkel memutuskan mengakhiri pengabdian, dia mendorong Ursula ”naik” ke panggung Eropa.
Sebagai profesional, Ursula seorang dokter yang kemudian menjadi ekonom. Sebagai politikus, dia sudah menjabat lima jenis jabatan menteri –termasuk menteri pertahanan. Sebagai wanita dia juga sukses menjadi ibu rumah tangga: anaknya 7 orang. Hanya dari satu suami yang juga seorang dokter –pewaris keluarga bisnis besar sejak kakeknya.
Media Barat dan Timur sepakat: Afghanistan sedang kritis. Secara ekonomi. Bantuan seperti yang diputuskan Ursula sangat vital. Tapi pemerintahan Taliban 2.0 menginginkan Amerika yang harus lebih membantunya. Terutama dicairkannya akses keuangan di perbankan yang dibekukan.
Sejauh ini memang tidak terjadi kekejaman-kekejaman dari Taliban 2.0 seperti dikhawatirkan bisa terulang. Memang sesekali masih terjadi ledakan bom di sana. Tapi justru Taliban 2.0 yang jadi sasaran kekerasan itu. Pelakunya: ISIS-Khorasan. Giliran Taliban yang ekstrem kini jadi sasaran kekerasan kelompok yang lebih ekstrem.
Amerika-Eropa sejauh ini terlihat puas pada sikap keras Taliban 2.0 terhadap ISIS-Khorasan. Bahkan Afghanistan menyatakan sanggup mengatasi ISIS-Khorasan sendirian. Tidak usah dibantu Amerika.
Kekuatan ISIS-Khorasan memang tidak besar: sekitar 5.000 orang. Hanya Rusia yang menyebut angka 10.000. Eropa justru hanya memperkirakan 1.000 orang.
Mereka berpusat di salah satu provinsi paling kecil di Afghanistan: Nangarhar. Khususnya di distrik Achin.
Itu jauh sekali dari provinsi Khorasan di bagian timur Iran.
Semula saya kira ada dua provinsi yang bernama Khorasan. Satu, Khorasan yang di Afghanistan, satunya lagi Khorasan yang di Iran. Mereka berdekatan.
Ternyata tidak. Tidak ada provinsi Khorasan di Afghanistan. ISIS-Khorasan ternyata tidak ada hubungan sama sekali dengan Khorasannya Iran.
Bahwa di Afghanistan mereka menggunakan nama ISIS-Khorasan itu bagian dari mimpi masa lalu. Di kawasan itu pernah ada negara Khorasan yang jaya. Wilayahnya luas sekali. Mencakup Iran, Afghanistan, sebagian Pakistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan sekitarnya.
Maka ketika ISIS-Khorasan mendeklarasikan diri sebagai negara kekhalifahan Islam, klaim wilayahnya sampai India dan Sri Lanka. Karena itu setiap kali ada bom di Pakistan, India atau Sri Lanka selalu ISIS-Khorasanlah yang mengaku bertanggung jawab.
Termasuk ketika minggu lalu ada bom besar yang meledak di salah satu masjid di Kunduz, utara Kabul. Lebih 100 orang meninggal. ISIS-Khorasan mengaku sebagai pelakunya.
Masjid itu masjid syiah. Kota Kunduz memang terletak di negara bagian Kunduz yang mayoritas penduduknya suku Hazara yang Syiah.
Bom itu membuat Taliban 2.0 disorot dari dua arah: apakah Taliban bisa menumpas ISIS-Khorasan dan apakah Taliban punya komitmen untuk melindungi minoritas.
Sampai hari kemarin dua komitmen itu masih terjaga.
Berita buruknya: hasil pertanian penting di Afghanistan terancam membusuk. Khususnya setelah panen raya buah delima hari-hari belakangan ini.
Dulunya delima itu selalu bisa diekspor ke Pakistan. Lewat perbatasan darat. Kini perbatasan itu masih ditutup: takut jadi pintu besar bagi banjir pengungsi.
Saya suka delima. Di Spanyol, di Irak, maupun di Lebanon. Saya belum pernah merasakan delima Afghanistan. Tapi melihat gambarnya saja mulut saya terasa basah. Liur mengucur. (Sumeks.co)