RADAR BENGKULU - May Day, yang diperingati pada 1 Mei 1886, bukan hanya momentum rutinan.
Hari buruh ini diperingati untuk mengingat perlawanan para pekerja di masa lalu saat menghadapi situasi buruk, termasuk bekerja 16 jam per hari dengan upah yang sangat rendah tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Apa yang menjadi semangat dari kelahiran Hari Buruh ini masih relevan dengan situasi yang dihadapi pekerja saat ini.
Buruh media di berbagai wilayah Indonesia masih dan rentan dieksploitasi perusahaan media.
Hasil riset AJl pada Februari-April 2023 menemukan hampir 50 persen upah jurnalis masih di bawah upah minimum.
Bahkan belasan persen lainnya menyatakan upah mereka tidak menentu atau mendapat upah dari komisi iklan.
Riset AJl yang melibatkan 428 jurnalis di berbagai daerah ini juga menemukan akal-akalan perusahaan dalam perjanjian kerja. Sebanyak 52,6 persen jurnalis memiliki hubungan kerja waktu tertentu atau kontrak dan 11,2 persen perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau tetap.
Riset AJl juga menunjukkan penghormatan dan perlindungan terhadap hak perempuan masih sangat rendah.
Hanya ada 11,2 persen perempuan yang mendapat hak cuti dengan upah dibayarkan ketika haid pada hari pertama dan kedua.
Ketika melahirkan, sebagian jurnalis perempuan menyebutkan tidak bekerja dan tidak mendapat upah.
Tapi ada pula perusahaan media yang meminta perempuan tidak bekerja saat melahirkan.
Belum lagi gelombang PHK yang dialami ribuan buruh media sejak pandemi Covid-19 hingga 2024 ini.
Ironisnya, media yang kerap mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang merugikan buruh media, justru menggunakan undang-undang tersebut untuk PHK buruh media. (**)
Karena itu, dengan pelbagai tantangan tersebut, bersatulah seluruh buruh media!