Barangsiapa mendengar adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (shalatnya tidak sempurna-pent), kecuali karena ada udzur.[7]
Di antara udzur yang membolehkan kita untuk meninggalkan shalat berjama’ah adalah sakit, bepergian (safar), hujan lebat, cuaca sangat dingin, dan udzur lainnya yang dijelaskan oleh syari’at.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan untuk meninggalkan shalat berjama’ah bagi orang yang buta dan tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki yang buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sungguh, aku tidak memiliki orang yang mau mengantarkanku menuju masjid.’ Maka ia meminta keringanan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat di rumahnya, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan baginya. Namun, ketika ia telah beranjak, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata:
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ ؟ فَقَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَأَجِبْ.
Apakah engkau mendengar suara panggilan untuk shalat (adzan)?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka Beliau bersabda, ‘Kalau begitu penuhilah panggilan itu.’”[8]
Pada kesempatan lainnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berniat untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak melakukan shalat berjama’ah di masjid.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ هَـمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ لِيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَـهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَـىٰ رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَـهُمْ. وَالَّذِيْ نَـفْسِـيْ بِيَدِهِ ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَـجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَـاتَيْـنِ حَسَنَـتَيـْنِ ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.
Demi (Allâh) Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku berniat menyuruh mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh adzan untuk shalat. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami orang-orang. Setelah itu, kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi (Allâh) Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh daging gemuk atau (dua kaki hewan berkuku belah) yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat ‘Isya’.”[9]
Shalat berjama’ah wajib dilakukan di masjid, bukan di rumah karena tujuan dibangunnya masjid adalah untuk ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya.