Kembali mundur kebelakang. Sewaktu masih mondok di Bogor, saya juga sering keliling ke Ponpes-Ponpes di Jawa Barat. Tak sedikit saya temukan, menu makan santri mengkhawatirkan.
Saya sedikit lebih beruntung. Pondok pesantren di Bogor tempat saya mondok, menu makannya terbilang mewah. Untuk ukuran santri kala itu.
Setiap sepekan, wajib 2 kali ada menu ayam, ikan atau daging. Kalau telur nyaris didapat setiap hari. Tahu, tempe juga sering.
Untuk sayuran, kami santri-santri menanam sendiri. Kebetulan Pondok Pesantren kami itu berbasis pertanian. Buah-buahan banyak terdapat di lahan pesantren yang luasnya mencapai 25 hektar.
Ditengah kemewahan makanan yang kami dapat di pesantren kami, saya juga kasihan melihat menu makan rekan-rekan santri di pondok yang saya jumpai waktu itu.
Sejak 10 tahun terakhir, Pondok Pesantren semakin menjadi primadona bagi orang tua untuk menitipkan pendidikan sang anak.
Saya juga berencana memasukan anak-anak ke Pondok Pesantren. Ponakan saya sudah lebih dulu mondok setamat SD setahun silam.
Bersamaan dengan itu, saya kembali terngiang dengan menu makan santri. Saya sudah lama sekali tidak melihat dapur santri.
Mungkinkah menu makan santri-santri sekarang masih ada yang hanya gulai terong dipotong setengah + ikan teri sebesar kelingking? Saya berharap tidak ada lagi.
Seharusnya negara turun campur tangan mengurusi makan para santri.
Jangan semuanya dibebankan kepada Pak Kiyai, pimpinan, pengasuh pondok, dan uang bulanan yang dibayar santri.
Program makan bergizi gratis yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran harus menyentuh pondok pesantren.
Toh santri juga rakyat Indonesia, santri juga calon generasi Emas bangsa. Dan satu lagi yang jangan dilupa.