"Kawasan ini adalah ruang hidup terakhir bagi Gajah dan Harimau Sumatera. Jika fungsi ekologisnya terus dihancurkan, populasi satwa ini akan semakin terancam," ujar Iswandi.
Sementara itu Direktur Genesis Bengkulu, Egi Saputra, menyoroti maraknya perkebunan sawit ilegal di area konsesi PT API. Berdasarkan temuan, sekitar 5.400 Ha dari konsesi sudah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, dan luasnya terus bertambah.
"Fakta ini menunjukkan lemahnya pengawasan PT API terhadap konsesinya. Perusahaan ini sudah layak dimasukkan ke daftar pemegang izin yang harus dicabut oleh KLHK," tegas Egi.
Menurut Egi, kawasan Bentang Seblat yang mencakup 323 ribu Ha bukan hanya habitat terakhir bagi satwa, tetapi juga penyedia layanan ekosistem vital bagi masyarakat, seperti sumber air untuk Kecamatan Putri Hijau dan Marga Sakti Seblat.
"Hancurnya kawasan ini akan berdampak luas, mulai dari krisis air hingga hilangnya potensi layanan ekosistem lainnya," jelasnya.
Ditempat yang sama, Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar, menambahkan bahwa bukti-bukti yang telah terungkap seharusnya cukup menjadi alasan kuat bagi Menteri Raja Juli Antoni untuk bertindak tegas.
“Kami mengapresiasi komitmen Menhut dalam mencabut izin perusahaan yang lalai menjaga hutan, tapi kami juga meragukan keberanian untuk mewujudkannya. Jika serius, maka mencabut izin PT API harus menjadi prioritas,” ujar Ali.
Ali menekankan pentingnya keberanian politik untuk melindungi kawasan Bentang Seblat yang menjadi benteng terakhir bagi ekosistem unik Sumatera. "Tidak ada alasan untuk menunda-nunda lagi. KLHK harus memprioritaskan tindakan ini demi masa depan hutan dan satwa," tutupnya.