“Perbaikan tata kelola kehutanan, restorasi lahan kritis, dan pengawasan ketat terhadap izin pengelolaan hutan harus segera diterapkan,” ujar Adi.
Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah program Hutan Desa di Desa Baru Raja R, Bengkulu Utara. Program ini menunjukkan hasil positif, dengan masyarakat setempat memulihkan hutan yang terdegradasi dengan menanam kopi, sekaligus mengembangkan produk kopi premium sebagai alternatif ekonomi.
“Ekonomi berbasis potensi lokal seperti ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mengurangi tekanan terhadap hutan,” tambah Adi.
Lebih jauh, Bengkulu juga meluncurkan Program Results-Based Payment (RBP) REDD+ Green Climate Fund (GCF) Output 2 pada 23 Desember 2024. Program ini bertujuan untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dan memastikan keberlanjutan hutan melalui kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga non-pemerintah, serta masyarakat lokal. Program ini menjadi momen penting, yang dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan, termasuk perwakilan Pemerintah Provinsi Bengkulu, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta KKI Warsi.
Dalam sambutannya secara daring, Direktur BPDLH, Tri Joko Haryanto, menjelaskan bahwa RBP GCF ini mencakup tiga output utama. Output 1 dan 3 dijalankan oleh KLHK, BPDLH, dan Pusat Pengelolaan Informasi (PPI), sementara Output 2 melibatkan provinsi.
“Bengkulu telah menetapkan KKI Warsi sebagai lembaga perantara dalam pelaksanaan kegiatan bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ungkap Tri.
Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Bengkulu, Rosjonsyah, yang membuka acara tersebut menegaskan bahwa dampak perubahan iklim sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat.
"Peluncuran program ini adalah langkah nyata untuk mendukung target Nationally Determined Contributions (NDC). Pemerintah Bengkulu berkomitmen beralih ke energi terbarukan dan memulihkan kawasan hutan demi generasi mendatang," ujarnya.