Taslam menjelaskan, praktik tambang yang tidak terkendali memperdalam ketimpangan sosial di daerah. Sementara segelintir kelompok mendapatkan keuntungan besar, masyarakat sekitar tambang justru kehilangan tanah, pekerjaan, dan kualitas hidup yang layak.
Ia mengingatkan bahwa keadilan ekologis tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Bumi, air, dan kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir pemodal. Jika negara terus abai, rakyat bukan hanya kehilangan tanahnya, tetapi juga kehilangan masa depannya,” ujar Maulana.
PB HMI memandang persoalan tambang Seluma bukan sekadar kasus lokal, melainkan cermin dari persoalan struktural yang mengakar dalam sistem ekonomi dan politik Indonesia.
Pola perizinan yang longgar, lemahnya penegakan hukum lingkungan, serta kriminalisasi terhadap aktivis dan warga yang menolak tambang menunjukkan adanya relasi timpang antara kekuasaan politik dan kepentingan bisnis.
Atas situasi tersebut, PB HMI mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera meninjau ulang seluruh izin tambang emas di Kabupaten Seluma, termasuk melakukan audit lingkungan secara independen dan transparan.
Mereka juga menolak segala bentuk intimidasi maupun kriminalisasi terhadap warga, jurnalis, dan aktivis lingkungan yang selama ini bersuara menolak aktivitas tambang.