Menurut Helmi, publik berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia meminta Pertamina tidak menutup-nutupi persoalan dengan alasan teknis atau cuaca.
“Kendala apa pun harus dijelaskan secara terbuka. Pertamina juga harus minta maaf, karena tanggung jawab ini ada di mereka,” ujarnya.
Helmi mengingatkan bahwa krisis BBM bukan pertama kalinya melanda Bengkulu. Tahun-tahun sebelumnya, Pertamina berdalih kapal pengangkut tak bisa bersandar akibat pendangkalan di Pelabuhan Pulau Baai. Namun setelah jalur pelayaran dikeruk dan kapal bisa masuk, masalah baru justru muncul jumlah mobil tangki pengangkut BBM berkurang drastis dari 13 menjadi hanya 3 unit.
“Kalau ada masalah, sampaikan. Jangan tunggu rakyat ribut dulu baru bergerak!” seru Helmi.
Pantauan di lapangan menunjukkan, kelangkaan tidak hanya melanda solar nelayan, tapi juga Pertalite dan Pertamax. Antrean panjang terlihat di hampir seluruh SPBU di Kota Bengkulu dan kabupaten sekitarnya.
Kondisi itu memicu lonjakan harga di tingkat eceran hingga Rp25.000 per liter. Di beberapa daerah pesisir, nelayan terpaksa menghentikan aktivitas melaut karena tak mampu membeli solar dengan harga yang melambung.
“Kalau begini terus, kami mau makan apa?” ujar Heri, seorang nelayan di kawasan Pantai Panjang, dengan wajah kesal. “Sekali melaut butuh minimal 50 liter solar. Sekarang harga eceran sampai dua kali lipat. Pemerintah harus turun tangan.”
Kritik terhadap lambannya penanganan krisis BBM juga datang dari berbagai kalangan. Ketua Politik dan Keamanan DPP KAMSRI, Maulana Taslam, menilai alasan yang disampaikan Pertamina maupun pemerintah daerah sudah tak relevan.