“Coba kita lihat, swasembada pangan tercapai, pembangunan infrastruktur merata sampai ke pelosok, dan diplomasi luar negeri Indonesia disegani dunia. Semua itu bagian dari warisan nyata,” paparnya.
Meski begitu, ia juga mengajak publik untuk menilai kepemimpinan Soeharto secara objektif dan proporsional.
“Setiap pemimpin punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang sempurna. Tapi kita harus adil melihat kontribusi besar yang telah beliau berikan. Ini bukan glorifikasi, melainkan penempatan sejarah pada tempatnya,” tegasnya.
Syamsurachman menilai, keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan momen rekonsiliasi sejarah—sebuah upaya bangsa untuk berdamai dengan masa lalunya.
“Ini saatnya kita menyembuhkan luka sejarah dengan melihat perjalanan bangsa secara utuh. Penganugerahan ini menjadi pengingat bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghormati para pendirinya, bukan bangsa yang menafikan sejarahnya,” ujarnya.
Menurutnya, penganugerahan ini juga menjadi ruang bagi masyarakat untuk memahami bahwa kepemimpinan Soeharto tidak bisa dilepaskan dari semangat pembangunan dan kerja nyata.
“Pak Harto adalah simbol kerja keras, disiplin, dan dedikasi terhadap bangsa. Dari pembangunan pertanian hingga industri, beliau meletakkan dasar ekonomi yang kita nikmati sampai hari ini,” kata Syamsurachman.
Syamsurachman mengajak seluruh kader Golkar dan masyarakat Bengkulu untuk mengambil hikmah dari keteladanan Soeharto. Ia menekankan bahwa pengabdian terhadap bangsa tidak berhenti pada satu generasi.