KPK Tuntut Dirwan 7 Tahun Penjara, Hak Politik Dicabut 3 Tahun

KPK Tuntut Dirwan 7 Tahun  Penjara, Hak Politik Dicabut 3 Tahun

RBO, BENGKULU - Jaksa Penuntut Umum KPK Asri Irwan menuntut Bupati Bengkulu Selatan (Nonaktif) Dirwan Mahmmud selama 7 Tahun Penjara. Selain itu dengan pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider penjara enam bulan kemudian hak politik Dirwan dicabut selama 3 tahun. Pembacaan tuntutan itu, Kamis (10/1) kemarin di Pengadilan Tipikor Jalan Sungai Rupat Kota Bengkulu.

Dirwan dikenakan pasal korupsi secara bersama sama dan berlanjut. Hal ini tertulis dalam surat tuntutan Jaksa. Dijerat dengan Pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentan tipikor junc to Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Menariknya usai persidangan, Terdakwa Dirwan Mahmud langsung merasa kesal atas tuntutan tersebut. Menurutnya tuntutan tersebut tidak sesuai dengan fakta apa yang terjadi oleh dirinya.

"Ini semua tidak seusai dengan fakta, saya tidak pernah menyuruh melakukan itu. Saya tidak mengerti sama sekali, orang yang salah kenapa saya yang menjadi korban. Bahkan Jauhari itu, dia minta maaf kepada saya. Ini ada yang menjatuhkan saya, akan disampaikan pada pledoi nanti. Saya bersumpah jika meminta uang tersebut, maka adzab saya masukkan neraka jahanam saya," kesalnya di hadapan pengunjung persidangan.

Sementara itu, dirinya menilai ada salah satu pihak yang memang sengaja menjatuhkan jabatannya. Ia pun mengutarakan, selama awal kasus ini berjalan Plt Bupati Bengkulu Selatan Gusnan Mulyadi selama ini tidak pernah menjenguk dirinya di hotel prodeo.

"Bahkan sebagai Wakil Bupati Gusnan tidak menjenguk saya hingga saat ini. Berarti kedudukan saya itu memang ada yang menginginkan," tambahnya.

Selaku Kuasa Hukum Terdakwa, Saiful Anwar SH, pihaknya akan melakukan upaya pembelaan pada minggu depan. Dirinya berpendapat, tuntutan ini membabi buta, terlalu dipaksakan oleh JPU. Tanpa memperhatikan pendapat ahli dan saksi yang dihadirkan oleh pihaknya.

"Ini diluar perkiraan kami, seharusnya memang terdakwa tidak bisa dipersalahkan. Dalam pembuktian saksi dihadirkan JPU tidak ada relevansinya dengan terdakwa, pentanggung jawab hukum harus dijatuhkan oleh orang yang bersalah. Namun kenapa ini dijatuhkan oleh orang tidak memiliki pidana hukum. Pencabutan hak politik ini, itu harus dilihat apakah ada hubungan dengan terdakwa selaku Bupati Bengkulu selatan dengan fee proyek ini. Fakta persidangan tidak ada terbukti dari pemberi Jauhari kami nilai. Ini sangat dzolim oleh klien kita, hanya berdasarkan kekesalan," ujarnya.

Dalam perjalanan kasus ini, Jukak alias Jauhari yang merupakan kontraktor memberikan uang melalui perantara. Uang tersebut diberikan oleh Nursilawati yang merupakan ASN di Pemkab Bengkulu Selatan.

Pada bulan Mei tahun 2018 lalu, dirinya hendak menemui istri muda di kediaman terdakwa yakni Hendrati. Disanalah awal permasalahan muncul. Uang pertama diberikan sebesar Rp 23 juta, selanjutnya diberikan sebesar Rp 75 juta dengan total uang sebesar Rp 98 juta.

Dengan syarat, Jauhari menerima 5 paket perkerjaan di Dinas PU Kabupaten Bengkulu Selatan. Sehingga membagikan uang fee proyek sebesar 15 persen. Tidak sampai disana, dalam fakta persidangan menurut Asri selaku JPU terdakwa kerap mengetahui uang fee proyek tersebut. Hal ini terbukti saat melakukan pemeriksaan saksi dalam keterangan persidangan mantan Kepala Dinas PU Kabupaten Bengkulu Selatan Suhadi beberapa waktu lalu.

Dalam pencabutan hak politik selama tiga tahun sudah berdasarkan pasal yang dijerat oleh terdakwa. "Jadi ini biasa saja, KPK sering melakukan pencabutan hak politik ini sudah diatur dalam Undang Undang. Dikarenakan rekan rekan sudah tahu fakta persidangan, bukan hanya Rp 98 juta yang diterima. Namun itu ada juga fakta menerima aliran dana yang diketahui oleh Suhadi, dengan jumlah miliaran. (Bro)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: