Habitat Gajah Sumatera di Bengkulu Harus Diselamatkan

Habitat Gajah Sumatera di Bengkulu Harus Diselamatkan

RBO  >>> BENGKULU >>>  Terbitnya Undang-Undang Mineral dan batu bara (Minerba) yang disahkan DPR pada 12 Mei 2020 lalu, menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Termasuk kelompok pegiat dan pemerhati keselamatan satwa langka endemik Sumatera. Yaitu gajah Sumatera (Elephas maximus Sumatranus).

Kekhawatiran itu, muncul dalam diskusi daring yang bertema "UU Minerba dan Masa Depan Gajah Sumatera" yang digagas Yayasan Kanopi Hijau Indonesia yang berbasis di Bengkulu, dengan menghadirkan empat pembicara. Yaitu Dosen Kehutanan Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Donald Hutasoit, Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Dony Gunaryadi dan Koordinator Koalisi Penyelamat Bentang Seblat, Sofian Ramadhan dan dipandu Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar.

Dalam pengantar diskusi, Ali Akbar mengatakan, dalam UU Minerba yang baru itu, seluruh wilayah daratan dan perairan Indonesia masuk dalam wilayah hukum pertambangan, dengan kata lain, dapat dikeruk untuk pertambangan mineral dan batu bara.

"Tentu habitat gajah Sumatera yang ada di Bengkulu, seperti di kawasan Seblat Bengkulu Utara yang potensi batu baranya cukup besar akan semakin terancam, karena dalam beberapa tahun terakhir juga terus diincar perusahaan tambang," kata Ali.

Dengan UU Minerba yang baru menurut dia, perizinan juga seluruhnya sudah ditarik ke pemerintah pusat. Sehingga kewenangan daerah semakin dihilangkan dalam pengelolaan sumber daya alam ini.

Gunggung Senoaji menyoroti tidak adanya sanksi hukum bagi yang mengeluarkan izin bermasalah dalam sektor minerba yang tertuang dalam UU Minerba yang baru itu.

Menurutnya, Bentang Alam Seblat yang ditargetkan menjadi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Gajah akan semakin terancam keberlangsungannya dengan UU Minerba yang baru ini. Sebab di kawasan itu, hanya TWA Seblat dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang merupakan wilayah konservasi dengan proteksi tinggi.

"Kalau penambang ingin membuka tambang di hutan produksi terbatas dan diberikan izin oleh pusat, sedangkan pusat tidak tahu kondisi di lapangan, kalau izin keluar, maka habislah," ungkap Gunggung.

Gunggung mencontohkan tambang batu bara PT Injatama. Walaupun tidak dalam kawasan, dulunya gunung sudah dikeruk menjadi danau sedalam 40 meter. Tidak ada reklamasi dan tidak memberikan manfaat sama sekali bagi lingkungan.

"Ada potensi bentang alam Seblat akan diserang. Apalagi semua perizinan sudah diambilalih pemerintah pusat," katanya.

Sementara itu, Kepala Balai KSDA Bengkulu Donald Hutasoit mengatakan, bahwa gajah sumatera yang tersisa harus diselamatkan. Khususnya habitat gajah yang ada di bentang alam Seblat.

Dia menilai, tambang terbuka pasti akan mengubah habitat gajah Sumatera. Apalagi di wilayah Seblat, koridor gajah masuk dalam kawasan koservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat.

"Jangankan hutan konservasi, hutan non-konservasi juga kalau itu lintasan gajah perlu diselamatkan. Faktanya gajah tidak selalu ada di dalam kawasan konservasi, tapi juga di luar kawasan. Untuk di luar kawasan konservasi inilah salah satu solusi penyelamatan dengan kawasan ekosistem esensial," ujar Donald.

Donald pun menegaskan, bila UU Minerba yang baru itu diterapkan dan bertentangan dengan UU Kehutanan, maka pihaknya siap mempertahankan kelestarian hutan yang diamanatkan dalam UU Kehutanan. Disisi lain, Koodinator Koalisi Penyelamat Bentang Seblat yang tiga tahun terakhir berkampanye menyelamatkan habitat gajah Sumatera terakhir di Bengkulu, Sofian Ramadhan mengatakan, penyelamatan gajah di Bengkulu menjadi tanggungjawab semua pihak.

Dengan tagar #savegajahseblat dari ancaman pertambangan batu bara, yaitu PT Inmas Abadi yang mengincar habitat gajah di Seblat.

"Kalau tambang masuk ke bentang Seblat, maka gajah Sumatera serta flora dan fauna yang ada akan hilang. Maka kami minta pada pemerintah membatalkan UU Minerba dan membuat regulasi yang lebih ramah lingkungan," kata Sofian.

Dony Gunaryadi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia mengatakan, ada empat penyebab utama kehilangan populasi gajah Sumatera mulai dari Aceh hingga Lampung, yaitu perburuan, konflik manusia dan gajah, ancaman jerat listrik dan racun.

Rencana tindakan mendesak yang dilakukan dalam upaya penyelamatan gajah Sumatera, antara lain perlindungan gajah di alam dan penguatan kapasitas aparat penegakan hukum dalam memerangi tindakan kejahatan terhadap satwa liar, khususnya pada gajah.

Berikutnya penanggulangan dan adaptasi konflik manusia dan gajah secara efektif melalui optimalisasi pengelolaan barrier, serta mendorong praktik hidup berdampingan (koeksistensi) antara manusia dengan gajah, menghilangkan potensi ancaman langsung pada lokasi-lokasi prioritas dan penyelamatan gajah dari populasi alami kritis dan pemindahan ke habitat yang aman dan layak.

Donny mengatakan, sedikitnya ada 1.700 Gajah Sumatera yang tersisa dan hidup di hutan Sumatera. Namun, data tersebut merupakan hasil perkiraan dari beberapa lembaga yang selama ini menjadi pemerhati gajah. Selama sepuluh tahun terakhir, kata Donny, ada sekitar 700 ekor gajah yang mati karena diburu. "Meski yang diketahui ada 150 ekor yang diburu, diracun, diambil gadingnya," katanya. Donny menyebutkan di tahun 1985 terdapat 44 daerah kantong habitat gajah yang berada di Pulau Sumatera. Namun, hingga tahun 2007 hanya tinggal 25 kantong, lalu dari 25 kantong tersebut hanya terdapat 12 kantong saja yangg memiliki populasi di atas 50 ekor. Saat ini hanya beberapa daerah habitat gajah seperti di Taman Nasional Leuser dan Ulu Masen, Aceh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Tesso Nilo, Jambi, Padang Sugihan, Sumatera Selatan, Bengkulu, Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan, Lampung. (ach)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: