Omnibus Law Ancam Kebebasan Pers, Lingkungan dan Rakyat

Omnibus Law Ancam Kebebasan Pers, Lingkungan dan Rakyat

RBO, BENGKULU – Sejak awal tahun 2020, Aliansi Jurnalis Independen telah menyuarakan penolakan atas Rancangan Undang Undang Omnibus Law yang digodok pemerintah dan DPR.

Bagi AJI, Omnibus Law berpotensi menjadi masalah penting bagi praktik jurnalisme di Indonesia. Ini dikarenakan masuknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam komponen yang direvisi, yakni pasal 11 dan 18.

Dalam kacamata AJI, RUU ini sangat berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis. Contohnya dalam Pasal 11 UU Pers. Jika sebelumnya berbunyi "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal."

Maka, dalam RUU Omnibus Law menjadi, "Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal."

Pengubahan pasal ini berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini.

Berikutnya, Pasal 18 UU Pers yang berisi;

  1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
  2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
  3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Maka, dalam perubahannya di Omnibus Law RUU Cipta Kerja berbunyi;

  1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
  2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
  3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perubahan poin-poin dalam pasal ini jelas melanggar semangat UU Pers sebelumnya, yang mengatur bahwa sengketa pers lebih didorong pada upaya korektif dan edukasi. Jika pun berkaitan dengan denda, maka itu dibuat seproporsional mungkin. Dengan kata lain tidak bermaksud untuk membangkrutkan perusahaan pers.

"Karena itu AJI konsisten menolak RUU Omnibus Law. Kami menduga keras ada upaya kembali memasukkan campur tangan pemerintah dalam dunia pers," ujar Ketua AJI Bengkulu Harry Siswoyo.

Dari itu, untuk kembali menyuarakan penolakan ini. AJI Bengkulu berkolaborasi bersama sejumlah elemen CSO, mahasiswa, dan aktivis, pada Selasa, 8 September 2020 akan menggelar aksi simpati di kawasan Bundaran Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu. Aksi yang digelar pada pukul 15,00 sampai dengan selesai ini, selain akan ada aksi teatrikal juga akan ada pembagian poster kepada masyarakat.

Sementara itu, salah seorang koordinator Aksi Uli Arta Siagian dari Yayasan Genesis mengatakan, melalui Omnibuslaw RUU Cipta Kerja Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja adalah produk hukum yang disusun menggunakan konsep omnibuslaw. RUU Cipta Kerja sejak awal hingga saat ini menuai protes besar dari hampir seluruh elemen masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Petani, buruh, mahasiswa, nelayan, masyarakat adat, penggiat isu lingkungan, HAM dan agraria, juga penggiat isu perempuan dan anak menolak RUU Cipta Kerja.

Omnibuslaw RUU Cipta Kerja adalah salah satu bentuk kekerasan terbuka yang dilakukan negara, sebab proses penyusunan RUU ini tidak melibatkan elemen masyarakat, bahkan diawal, akses informasi terhadap draf begitu tertutup.

Secara substansi, RUU Cipta Kerja juga tidak berangkat dari kepentingan dan kebutuhan rakyat. Roh RUU ini adalah investasi skala besar berbasis modal. Maka, keselamatan lingkungan, keselamatan rakyat, kesejahteraan buruh, kebebasan berekspresi, hak veto rakyat, kesejahteraan petani dan nelayan serta kedaulatan rakyat dan masyarakat adat atas ruang hidupnya menjadi tidak penting lagi.

Omnibuslaw RUU Cipta Kerja akan semakin mempercepat penurunan kualitas hidup rakyat, baik secara sosial, ekonomi maupun ekologi. Dalam kluster pertambangan misalnya, RUU ini akan mengakomodasi operasi izin seumur izin tambang jika satu perusahaan melakukan kegiatan operasi produksi yang terintegrasi.

Perusahaan juga akan mendapatan keistimewaan untuk mengeruk dan menjual, sebab Izin Usaha Pertambangan Khusus bisa mendapatkan konsesi tanpa ketentuan luasan maksimal. Perusahaan juga dapat menjual meski izin masih eksplorasi dan studi kelayakan.

Tentunya hal ini akan menyebabkan pertambangan di Bengkulu akan semakin massif. Potensi pertambangan mineral dan batu bara di Bengkulu berada di kawasan hulu, yang sebagaian besar adalah kawasan hutan. Maka, konsekuensi paling logis dari massifnya izin tambang adalah pembongkaran kawasan hutan. Bengkulu akan mengalami bencana ekologis, seperti banjir dan longsor tanpa henti.

Hal ini juga diperparah dengan aturan kluster kehutanan dalam RUU Cipta Kerja yang menghapus batas minimum 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan/atau pulau. Secara geografis wilayah, kawasan hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi Bengkulu. Maka sudah selayaknya, aturan hukum dapat memproteksi kawasan ini.

Kluster Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja juga akan semakin memiskinkan rakyat Bengkulu dan membuat petani terlempar dari wilayah pertaniannya. Sebab, RUU ini memberikan waktu 90 tahun bagi pemegang HGU untuk mengusai tanah. Ini sama saja, dua generasi rakyat Bengkulu akan menjadi penonton di tanah sendiri. RUU ini juga menghilangkan hak rakyat untuk dapat diberdayakan melalui perkebunan rakyat (Plasma). Perizinan yang semakin dipermudah untuk mendapatkan Hak Guna Usaha akan membuat perkebunan skala besar menjadi massif dan ini akan membuka lebar pintu perampasan tanah-tanah rakyat (land grabbing).

RUU Cipta Kerja akan meningkatkan eskalasi konflik agraria di Bengkulu dan meminggirkan masyarakat adat dari wilayah adatnya. Setidaknya Genesis Bengkulu mencatat ada 312 desa yang bertumpang tindih dengan izin usaha pertambangan dan hak guna usaha perkebunan. Ditetapkannya RUU Cipta Kerja sama dengan bom waktu yang siap untuk meledak.

Bukan hanya itu, korupsi di sektor perizinan pun terjadi hampir di seluruh daerah. Mulai dari desa hingga pusat. Bahkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi di sektor perizinan adalah korupsi terbesar kedua yang mereka tangani. Tidak berlebihan ruang-ruang korupsi perizinan di sektor sumber daya alam di provinsi Bengkulu akan semakin besar.

Dari seluruh cerita ancaman krisis dari RUU ini, kelompok rentan seperti perempuan dan anak akan memikul beban berlapis. Perempuan akan terlempar dari ruang-ruang produksi dan masuk semakin dalam pada ruang eksploitasi, baik di publik maupun di ruang privat. Jika krisis sosial dan ekologis semakin dalam, tidak akan ada harapan kehidupan yang lebih baik untuk generasi mendatang.

Kami percaya, tidak akan ada kualitas hidup dan pertumbuhan ekonomi di atas lingkungan hidup yang hancur.

Omnibuslaw RUU Cipta Kerja menghidupkan kembali sistem sentralisasi kekuasaan. Pemerintah daerah diamputasi kewenangannya. Bagi kami menghidupkan kembali sistem sentralisasi ini menciderai semangat reformasi dan kami dengan menolaknya.

Fakta-fakta itu cukup menjadi alasan bagi kami, dan kita semua untuk menyatakan sikap menolak omnibuslaw RUU Cipta Kerja. Omnibuslaw RUU Cipta Kerja adalah bentuk kekerasan terbuka bagi rakyat yang dilakukan oleh negara.

Kami medesak kepada para pengurus negara, baik Presiden dan jajarannya, DPR RI, DPD RI untuk berhenti membahas dan menetapkan omnibuslaw RUU Cipta Kerja, karena RUU ini sangat jauh dari semangat berbangsa yang jelas digambarkan dalam konstitusi dan pancasila.(rls)

Kami yang bertandatangan dibawah ini :

MASYARAKAT BENGKULU

  • Yayasan Genesis
  • AJI Bengkulu
  • BEM
  • Penggiat Seni,
  • Kanopi
  • Azam Comunity
  • FSBKU
  • Dan Lain-Lain

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: