Ricuh, Perjuangkan Hak Petani, 8 Orang Diamankan Polisi
Omnibus Law RUU Ciptaker, Dewan Provinsi Sepakat Tolak
RBO, BENGKULU - Ricuh! Puluhan massa dari gabungan mahasiswa dan petani, siang Kamis (24/9) demo depan gerbang sekretariat DPRD Provinsi Bengkulu. Aksi massa dilakukan dalam rangka memperingati hari tani. Namun massa terpaksa harus dibubarkan polisi dari jajaran Polres Bengkulu, mengingat saat ini masih dalam Pandemi Covid-19.
Massa yang menyampaikan aksi, sempat ditemui anggota DPRD Provinsi Bengkulu, Dempo Xler, Zulasmi Oktarina SE dan Drs Gunadi Yunir. Namun sayangnya kehadiran mereka tetap ditolak oleh massa.
Karena tidak menemui kesepakatan dengan mahasiswa, dan menimbang Pandemi, Polisi langsung meminta Massa untuk membubarkan diri. Namun massa menolak dibubarkan, terpaksa dibubarkan paksa oleh polisi dengan semprotan mobil water Canon dan juga tembakan gas air mata.
"Sekarang ini seperti kita ketahui sedang dalam kondisi Pandemi Covid. Bahkan kita Bengkulu peringkat 6 kematian tertinggi akibat Covid-19. Jangan sampai malah nanti aksi ini malah menimbulkan cluster baru," ungkap Kapolres Bengkulu, AKBP Pahala Simanjuntak saat diwawancarai radarbengkuluonline.com, Kamis (24/9).
Diterangkan oleh Kapolres, pembubaran massa tersebut juga dianggap melanggar aturan undang-undang dalam menyampaikan aspirasi dimuka umum. Dimana seharusnya massa memberikan pemberitahuan aksi minimal 3 hari sebelum hari H. "Sesuai Pasal 10 UU Nomor 9 tahun 1998 tentang penyampaian pendapat dimuka umum itu harusnya 3 hari sebelum hari H sudah disampaikan ke kita. Namun sayangnya mereka baru menyampaikan pemberitahuan 1 hari sebelum aksi ini dilakukan," tegas Kapolres.
Dalam aksi demo yang sampai dikeluarkannya gas air mata serta disemprot air dari mobil water canon untuk membubarkan aksi massa tersebut, polisi mengamankan 8 orang yang dianggap menjadi provokator dalam aksi kemarin. "Ada 8 orang yang tadi kita amankan untuk dimintai keterangan. Kita juga akan memanggil Korlap aksi ini untuk juga nanti dimintai keterangan," kata Kapolres.
Terpisah Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu, Dempo Xler S. Ip, M.AP yang sempat menemui massa mengatakan, sebenarnya pihaknya mendukung apa yang disampaikan massa terkait penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Apalagi Disnakertrans juga merupakan mitra Komisi IV DPRD Provinsi.
"Sebenarnya kita mendukung apa yang mereka sampaikan. Bahkan hal tersebut sudah sempat mereka sampaikan ke Senayan. Namun sayangnya mereka tadi tidak mau saat kita temui. Yang jelas kita sampaikan jangan sampai ini ada menimbulkan cluster baru," singkatnya.
Sementara itu, Korlap Aksi, Franki Wijaya mengatakan Aksi yang mereka lakukan diinisiasi oleh petani. Khususnya bagi para petani yang memiliki konflik yang tidak berkesudahan, termasuk dengan perusahaan.
"Aksi hari ini juga didukung oleh, Mahasiswa dari UNIB, Unived, Unihaz, UMB dan organisasi seperti KANOPI, Genesis, WALHI. Intinya pada aksi hari ini (kemarin, red) kita meminta untuk penyelesaian konflik yang terjadi di kalangan petani dan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan petani," tutupnya. 8 Orang Diamankan Polisi "Total 8 orang yang diamankan dan di mintai keterangan, mereka dari Mahasiswa, dan aktivis pegiat lingkungan lainnya," kata Kuasa Hukum peserta aksi, Saman Lating. Delapan orang diamankan itu, yakni Ali Akbar, Suarli, Kelvin Aldo, Sugihar, Abdul, Zulhamdi, Yusup dan Febi Riansyah. Saman Lating menegaskan, hingga berita ini ditulis, 8 orang itu masih diminta keterangan. Ricuh ini bermula ratusan demonstrasi yang tergabung dalam Gerakan Bengkulu Berdaulat, yang berisi anggota dari Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Bengkulu, Petani, Walhi Bengkulu, Kanopi, dan Genesis melakukan aksi di depan Gedung DPRD Provinsi Bengkulu. Mereka menuntut agar DPRD Provinsi Bengkulu menyuarakan penolakan omnibus law RUU Ciptaker. Juga meminta wakil rakyat itu ikut menghentikan konflik agraria dan kriminalisasi terhadap petani, meminta pemerintah tidak memperpanjang HGU yang akan habis, dan memberikan HGU dan IUP terlantar kepada rakyat. Dalam aksi itu, Andy Wijaya, petani dari Desa Rawa Indah, Kabupaten Seluma mengatakan supaya pemerintah bisa menjamin stabilitas harga hasil pertanian rakyat. "Kami meminta pemerintah berpihak kepada rakyat," tutur dia. Di tempat sama, Olan Sahaya, Direktur Kampaye Kanopi menyoroti RUU Cipta Kerja, dia mengatakan kehadiran RUU ini mengancam hilangnya matapencaharian 1,1 juta jiwa petani di Bengkulu. Selain karena massifnya penerbitan izin konsesi, krisis ekologis dan ketergantungan pemerintah dengan komoditi global dan tidakadanya jaminan harga hasil pertanian. "RUU ini juga akan semakin memperdalam derita para petani," kata dia. Dia juga menegaskan omnibuslaw adalah bahaya paling nyata para petani dimana pun. RUU ini tak ubahnya sebagai wujud lain dari liberalisasi tanah. Kedepan, tanah-tanah produktif petani terus dirampas, petani terlempar dari ruang produksinya dan masuk lebih dalam pada situasi krisis yang multidimensional. "Hari ini saja, praktik liberalisasi tanah telah berlangsung dan melahirkan beberapa konflik di berbagai wilayah provinsi Bengkulu," tutur Olan. Data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2020 menyebutkan di Bengkulu ada 8 letusan konflik dengan jumlah luasan 6484 hektare. Beberapa konflik agraria yang meletus adalah konflik antara rakyat di Seluma dengan PT. Sandhabi Indah Lestari, konflik antara rakyat di Kulik Sialang, Kaur dengan PT. Ciptamas Bumi Selaras, konflik antara rakyat di Malin Deman, Mukomuko dengan PT. Daria Dharma Pratama (DDP). Uli Siagian, Direktur Genesis menambahkan sejatinya, potensi konflik agraria di Bengkulu lebih besar dari itu. Data Genesis Bengkulu menyebutkan ada 312 desa yang menjadi titik rawan konflik sebab bertumpang tindih dengan 28 izin usaha pertambangan dan 41 hak guna usaha perkebunan. Tersebar di kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Tengah, Seluma dan Kaur. "Karena itu, ditetapkannya RUU Cipta Kerja adalah bom waktu yang siap meledak," kata dia. Dia juga menjelaskan tentang masa izin HGU 90 tahun dalam RUU Cipta Kerja juga akan terus menerus mengancam kehidupan petani. "Dua generasi keluarga petani kedepan akan terus hidup terjajah oleh perusahaan," jelasnya. Di Bengkulu terdapat lima perusahaan dengan total luas konsesi 20.103 hektar yang akan habis masa berlaku HGU nya dalam rentan waktu 2020-2022. Artinya, ketika omnibuslaw disahkan dan negara mengakomodasi perpanjangan HGU perusahaan tersebut kelima perusahaan tersebut akan memperoleh izin untuk beroperasi hingga 90 tahun kedepan. Uli menilai RUU ini juga menjadi cermin praktik ketidakadilan. Impunitas terhadap perusahaan dengan menghapus kewajiban perkebunan untuk mengusahakan lahan perkebunannya dan menghapus sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya juga akan memberikan peluang bagi perusahaan untuk melakukan praktik agunan konsesi izin di bank. "Hal ini tentunya juga akan semakin menghambat pelaksanaan reforma agraria," kata Uli. Aksi demo itu kemudian berujung kericuhan. Berawal himbauan polisi meminta para demonstran bubar. Namun para demonstran itu tetap melakukan orasi. Akhirnya polisi mulai represif dengan menyemprotkan air watercanon, dan gas air mata. (idn/rls)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: