Media dan Jurnalis Bisa Menjadi “Penawar” Badai Informasi Covid-19
RBO, BENGKULU - Bulan Agustus 2020, The American Society of Tropical Medicine and Hygiene merilis hasil riset mereka mengenai infodemik yang mencakup stigma, teori konspirasi, rumor, surat kabar online, facebook, twitter. Peneliti menemukan ada enam negara yang paling banyak bermasalah soal infodemik, yakni India, Amerika Serikat, China, Spanyol, Indonesia dan Brazil.
Khusus Indonesia, temuan peneliti, 82 persen informasi yang dikonsumsi dan beredar di tengah rakyat Indonesia, ternyata salah atau hanya 9 persen yang akurat, sisanya masih diragukan. Dari 2.311 laporan berkaitan dengan infodemik Covid-19, kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen Bengkulu, Harry Siswoyo, sebanyak 89 persen atau 2.048 laporan adalah rumor, 7,8 persen atau 182 laporan sebagai teori konspirasi, dan 3,5 persen atau 82 laporan adalah stigma.
Kondisi ini, terang Harry, lantaran adanya kepanikan dan ketidaktahuan masyarakat. Lalu, minimnya literasi penggunaan internet dan media sosial di masyarakat. Kemudian, kurangnya informasi terpercaya dari terkait wabah/pandemi. Sehingga menimbulkan kepanikan, membuat rasa takut berlebih, menimbulkan kebencian dan stigma, konflik. Bahkan, membuat kesalahan strategi memerangi pandemi serta gangguan kesehatan mental.
”Informasi mengenai virus Covid-19, baik itu yang akurat maupun tidak telah membanjiri kehidupan warga. Jauh lebih cepat dari virus itu. Akibatnya orang-orang dilanda kecemasan, ketakutan, dan kepanikan hingga tak tahu lagi mengambil keputusan yang tepat,” kata Harry, ketika webinar Peran Media dan Publik Menangkal Infodemi C0vid-19, AJI Bengkulu - Google News Intiative, Rabu (31/3/2021).
Idealnya, lanjut Harry, media dan jurnalis bisa menjadi penawar terhadap badai informasi soal Covid-19. Lewat kerja jurnalistik yang dianalisis, diverifikasi, dan ilmiah. Dengan itu, informasi yang membanjiri masyarakat tidak menjadi pandemi informasi ataupun digital. ”Banyak media dan jurnalis belum mengambil peran sebagai 'broker pengetahuan'. Kebanyakan media kita hari ini, cuma menjadi pengeras suara pejabat negara bukan ilmu pengetahuan atau pun ahli yang memang memiliki keahlian di bidang medis, biologi, epidemiologi dan ilmu pendukung lainnya,” jelas Harry.
Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bengkulu, Gushevinalti, dalam webinar tersebut mengatakan, saat ini setiap orang merupakan konsumen, produsen dan distribusi pesan.
Gadget, kata Gushevinalti, mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat. Gushevinalti menyebut, data per Januari 2021, dari 274,9 juta penduduk, 345,3 juta orang melakukan koneksi telepon seluler, 202,6 juta pengguna internet, dan 170 juta pengguna media sosial aktif.
Dilihat dari penggunaan waktu, kata Gushevinalti, 8 jam 52 menit menggunakan internet di semua perangkat, 2 jam 50 menit dihabiskan menonton TV, 3 jam 14 menit menggunakan media sosial dan 1 jam 38 menit membaca berita (daring maupun cetak). ”Youtube, WA, IG, FB, dan Twitter adalah lima besar platform media sosial yang paling banyak,” jelas Gushevinalti. Saat ini, kata Gushevinalti, muncul istilah infodemi dari WHO yang menggambarkan persebaran hoaks berkaitan dengan pandemi Covid-19. Situasi di mana terdapat informasi berlebihan yang memperburuk keadaan. Motif seseorang sebarkan hoaks, jelas Gushevinalti, adanya faktor uang, politik, ideologi, kebencian dan iseng.
Kondisi ini musti ada peran jurnalis, lanjut Gushevinalti, menyediakan informasi yang kredibel dan informasi yang memberdayakan, content moderation, menghapus dan menandai adanya disinfodemic, mengarahkan user langsung kepada sumber informasi resmi Covid-19 dan melarang iklan Covid-19 yang menyesatkan dan tidak menggunakan click-bait.
”Literasi sudah menjadi masalah klasik di Indonesia. Sulitnya memahami dasar-dasar informasi, misalnya 5W 1H. Adanya efek negatif media sosial seperti Post Truth, efek Gelembung (Bubble E ffect), matinya kepakaran (Death of E xpertise),” jelas Gushevinalti. Sedangkan Sekretaris Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Bengkulu, Sri Hartika Tholib, mengatakan pandemi covid-19 merupakan krisis global. Perlu kebijakan yang tepat dilevel makro dan prilaku yang benar dilevel mikro. ”Dalam menanganinya peran media sangat penting, karena bisa mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat,” jelas Sri.
Masa pandemi Covid-19, kata Sri, terjadi kepanikan dan opini masyarakat bermunculan, hoak dan benar. Narasi-narasi yang diusung oleh media berkontribusi dalam pembentukan opini publik. ”Peran penting jurnalisme yang bertanggungjawab dapat memberantas informasi yang salah,” tutup Sri. (rls)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: