Catatan Dahlan Iskan: Krisis Izin
radarbengkuluonline.com - SEANDAINYA rakyat boleh bertepuk tangan, rasanya Presiden Jokowi langsung mendapat standing ovation: berani mencabut secara massal izin tambang di seluruh Indonesia. Jumlahnya sampai 2.078 izin. Ada tambang batu bara, lebih banyak lagi tambang mineral lainnya. Rasanya belum pernah ada seorang pun presiden republik ini yang seberani itu. Sampai ada yang menilai presiden lagi marah –terlihat dari mimiknya.
Untuk encabut 2.078 izin bukanlah perkara mudah. Mencabut izin itu punya konsekuensi hukum. Juga, konsekuensi investasi: kepastian berusaha. Bahwa yang mencabut itu presiden sendiri –bukan tingkat menteri– pertanda kemarahan pemerintah sudah sampai pada puncaknya. Logikanya, presiden menerima usulan dulu: perlunya sanksi kepada pemegang izin yang menelantarkan izin. Lalu, diterbitkanlah peringatan oleh instansi yang terkait. Setelah yang diingatkan bandel, diusulkanlah izin dicabut. BACA DULU: BIMEX Optimis Meraih Laba 40 Persen
Adapun yang mencabut tentulah instansi yang mengeluarkan izin. Maka, bahwa kali ini presiden sendiri yang mengumumkan pencabutan pastilah amat gawat. Secara beruntun memang ada dua isu nasional yang dianggap peka belakangan ini.
Yang pertama soal ancaman krisis energi. Pembangkit-pembangkit listrik di dalam negeri terancam mati: kekurangan batu bara. Kalaupun bisa mendapatkan batu bara, harganya melebihi lonjakan harga minyak goreng. Itu karena harga ekspor batu bara sudah mencapai atap joglo. Pengusaha listrik dalam negeri harus membeli batu bara dengan harga yang sama dengan pengusaha listrik di Jepang: angkat tangan. Menyerah.
PLN sendiri lantas mulai menghemat batu bara –dengan cara yang mahal: membeli gas dari LNG. Yang harganya juga lagi mahal-mahalnya. Maka, pembangkit-pembangkit listrik ”mahal” dihidupkan dengan bahan bakar LNG yang sangat mahal. Padahal, kalau batu bara cukup, pembangkit jenis itu hanya dihidupkan pada jam-jam puncak: 17.00 sampai 22.00. Yakni, saat orang lebih banyak menggunakan listrik. Pembangkit yang dihidupkan dengan LNG itu, misalnya, yang di Muara Tawar, Muara Angke, dan Tanjung Priok. Perencanaan penggunaan batu bara untuk setahun ke depan harus disetujui kementerian itu. BACA JUGA: Dana BOS Sudah Disalurkan dengan Baik
Persoalannya hanya dua: usulan PLN ke menteri yang telat atau persetujuan menteri yang lambat. Kalaupun persetujuannya yang telat, kenapa PLN tidak mengejar, menagih, meng-opyak-opyak persetujuan itu. Karena bukan menteri ESDM-nya yang diganti, masyarakat berkesimpulan direksi PLN-nya yang telat: belum tentu benar begitu. Atau benar begitu.
Apakah pencabutan massal izin pertambangan pekan lalu juga sebagai reaksi cepat atas situasi peka belakangan? Yakni, soal segelintir orang menguasai lahan paling banyak? Presiden memang terlihat sensi untuk urusan itu. Pidato Wakil Ketua Umum MUI Dr Anwar Abbas soal itu langsung membuat Presiden Jokowi mengabaikan teks pidato. Lalu, merespons tanpa teks apa yang dikemukakan Abbas. Lantas, menyilakan siapa saja, termasuk orang seperti Anwar Abbas, untuk mengajukan izin. Presiden akan memberikan lahan luas.
Pun di depan Muktamar Ke-34 NU di Lampung. Presiden menawarkan lahan luas untuk NU. Agar lahan-lahan luas itu tidak lagi dikuasai segelintir orang. Dan total luasan lahan yang izinnya dicabut pekan lalu adalah: 2 juta hektare. Hayo… Wahai para pemburu pertamax: beranikah memburu tawaran presiden itu. BACA JUGA: Harga Sawit di Mukomuko Sudah di Atas Rp 3.000
Tentu lahan yang akan dibagi akan tersedia. Artinya: itu kalau pemilik lahan yang izinnya dicabut itu menerima pencabutan begitu saja. Ada yang memperkirakan tidak semudah itu. ”Jangan-jangan akan banjir gugatan di PTUN,” ujar seorang tokoh PDI Perjuangan yang saya hubungi kemarin.
Sayangnya, kita belum tahu siapa saja yang termasuk 2.078 itu. Demi keterbukaan informasi, seharusnya siapa pun akan langsung bisa mengakses: siapa dicabut, berapa luas, di kabupaten mana. Kita juga belum tahu: siapa pemegang daftar itu sekarang. ESDM? BPN? Kehutanan? PERLU DIBACA: Ini Dia Orang Bengkulu Yang Tersangkut Namanya di Jalan (26)
Yang jelas, sejak UU Omnibus Law, semua kewenangan kabupaten di bidang pertambangan itu dihilangkan: semua pindah menjadi urusan pusat. Itulah sebabnya, pusat yang mencabutnya. Maka, silakan memberikan standing ovation: boleh sekarang, boleh juga setelah membaca lengkap siapa saja yang dicabut izinnya.
Izin-izin sudah dicabut. Standing ovation sudah diberikan. Tetaplah bertepuk sambil berdiri –sampai jelas tidak ada yang menggugat pencabutan itu. (Sumeks.co)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: