Catatan Dahlan Iskan: Perang Hati-Hati

Catatan Dahlan Iskan: Perang Hati-Hati

radarbengkuluonline.com - PERANG di Ukraina ini memang harus hati-hati: ada enam pembangkit listrik tenaga nuklir di sana. Umumnya itu buatan tahun 1980-an. Peninggalan era Uni Soviet. Tentu konstruksinya sangat kuat, tapi belum sekuat bikinan tahun 2000-an. Apalagi yang di Chernobyl, konstruksinya masih belum seperti kubah. Masih seperti kolam. Kalau kena sasaran rudal masih sangat rawan.

Untuk yang lima lokasi lainnya sudah berbentuk kubah. Itu kuat sekali. Tahan rudal sekali pun. Di dalam kubah itu ada pengaman berlapis. Lapisan paling dalam adalah ”kubah baja”. Tebal bajanya 5 cm. Yang lebih baru –seperti yang saya masuki di Korea Selatan– ketebalan itu menjadi 7 cm.

Dari luar baja tersebut dilapisi beton khusus. Tebalnya 1 meter. Dibantu pula dengan bentuknya yang seperti telur: lebih kukuh. Dari mengunjungi empat lokasi pembangkit listrik nuklir saya bisa membayangkan rawannya perang di Ukraina ini. Justru yang senjata nuklirnya tidak bahaya: di bawah kontrol banyak negara. Tapi pembangkit listrik nuklir ini bisa jadi titik sensitif. Apalagi ada masalah limbah nuklir di situ. Limbah nuklirnya tidak di dalam kubah yang aman itu. Tempat menyimpan limbah nuklir tidak seaman bangunan telur itu.

Nah, itulah yang lebih dikhawatirkan. Apalagi pembangkit tersebut sudah beroperasi lebih dari 30 tahun. Sebagian bahkan sudah direnovasi untuk memperpanjang izin pemakaiannya. Berarti limbah nuklirnya sudah sangat banyak. Prasangka baik saya: Rusia pertama-tama justru menguasai Chernobyl untuk mengamankan instalasi itu. Di luar yang sudah meledak dulu, masih ada pembangkit nuklir di situ yang masih aktif.

Ada enam pembangkit listrik nuklir di Ukraina masing-masing berkapasitas 900-an MW. Cukup untuk seperlima kebutuhan listrik Ukraina secara nasional. Yang terbesar adalah yang di Ukraina tengah, di pinggir sungai Dnieper –yang saking lebarnya sudah seperti danau panjang. Pembangkit listrik nuklir memang memerlukan air yang sangat besar sebagai pendingin dan sumber uap.

Ada kemungkinan besar, Rusia baru masuk ibukota Ukraina, Kiev, setelah enam lokasi tersebut dikuasai. Kalau sampai terjadi bencana dari nuklir tersebut nama Rusia akan habis jadi bulan-bulanan dunia. Tentu Rusia juga harus menguasai dulu dua kota pelabuhan terbesar di bagian selatan Ukraina: Odesa dan Mariupol. Dua-duanya di pantai Laut Hitam.

Negara besar seperti Rusia, menguasai Mariupol tidak sulit. Posisi pelabuhan itu terjepit antara daratan Rusia dan semenanjung Crimea –yang sudah dikuasai Rusia. Apalagi Rusia sudah membangun jembatan baru di atas laut yang menghubungkan Crimea dengan daratan Rusia. Praktis Mariupol sudah terkunci. Rusia cukup pasang lima kapal perang melintang di bawah jembatan baru itu. Jembatan ini sangat panjang: 19 Km. Tahun lalu selesai dibangun. Ini menjadi jembatan di atas laut terpanjang kedua di Eropa. Yang membuat orang Crimea tidak menyesal gabung dengan Rusia. Tinggal bagaimana menguasai pelabuhan Odesa. Juga tidak akan sulit. Odesa juga tidak jauh dari Krimea.

Semua pelabuhan di Laut Hitam itu ujung-ujungnya tergantung pada Turki. Tidak ada jalan lain untuk keluar dari Laut Hitam kecuali lewat Selat Bospurus yang di Istanbul itu. Maka di hari kelima perang Ukraina ini terlihat jelas bahwa Kiev dikepung dari tiga arah: timur, selatan, dan utara.

Daerah Kiev sendiri terlalu dekat ke perbatasan dengan Belarusia: hanya sekitar 150 Km. Serangan dari arah Belarusia inilah yang kian mendekati Kiev. Satu per satu kota-kota kecil Ukraina dikuasai Rusia –lalu mendirikan pos untuk mengontrol keluar masuk manusia dan barang dari kota itu. Mungkin Rusia sudah berhitung: tidak harus menguasai Kiev dalam perang lima hari. Ini berbeda dengan skenario Tiongkok yang harus menguasai Taiwan dalam satu malam –kalau akan merebut Taiwan. Itu agar bantuan dari Amerika tidak keburu datang.

Sedang bantuan untuk Ukraina tidak bisa datang secepat itu. Bantuan senjata hanya bisa lewat Polandia. Atau Moldova. Negara-negara Eropa adalah negara demokrasi: tidak mudah mendapat persetujuan parlemen untuk mengirim persenjataan. Apalagi yang untuk menyerang. Kalau toh ada bantuan senjata, maksimal adalah senjata untuk mempertahankan diri. Bukan untuk menyerang.

Kelihatannya Rusia sudah berhitung: tidak harus kesusu. Satu minggu pun tak apa. Maka hari ini dan besok adalah hari-hari yang krusial bagi Ukraina. Terutama bagi Presiden Zelenskyy. Sejauh ini Zelenskyy masih punya senjata ampuh di tangannya: handphone. Ia masih terus hubungi siapa saja yang bisa membantunya. Lewat handphone itu pula para sekutu masih bisa memberikan penghiburan padanya. Amerika memberikan hiburan istimewa: menyediakan diri menampung pengungsi dari Ukraina.

Sejauh ini perhatian Barat lebih fokus pada memberikan sanksi terberat bagi Rusia. Termasuk mengeluarkan Rusia dari sistem perbankan dunia. Dua hari lalu Bank Sentral Rusia memberi tanggapan enteng: itu justru akan memperkuat ruble sebagai mata uang internasional. Tentu itu terlalu omong besar. Kenyataannya nilai rubel terus jatuh atas dolar dan euro. Begitu beratnya sanksi itu. Saya bayangkan, kalau Indonesia menerima sanksi seberat itu, sudah langsung pingsan. Begitu beratnya sampai-sampai Tiongkok bereaksi: sanksi seperti itu tidak menyelesaikan masalah. Dunia di luar Rusia ikut menderita.

Tentu Tiongkok berada di belakang Rusia. Apalagi, sekarang ini, sudah terpasang empat pipa gas di empat lokasi di perbatasan Tiongkok-Rusia. Barat sangat optimistis sanksi ekonomi itu akan berhasil mengisolasi Rusia. Mereka hanya pesimistis di satu saja. Yakni tidak akan berhasil memboikot produk Rusia yang satu ini: minuman keras vodka.(Sumeks.co)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: