Ini Makna Tradisi 27 Ramadan Nyilap Lunjuk di Bengkulu Selatan, Tujuh Likur
radarbengkuluonline.com, MANNA - Tradisi malam Tujuh Likur merupakan budaya yang berlaku di masyarakat Serawai di Kabupaten Bengkulu Selatan. Tujuh Likur dilaksanakan ketika memasuki malam ke 27 Ramadan, yang ditandai dengan pelaksanaan kegiatan membakar tempurung kelapa yang di susun rapi " Nyilap Lunjuk" didepan rumah.
Lunjuk yang merupakan tempurung kelapa (“sayak” dalam bahasa serawai) yang disusun secara vertikal di pancang kayu yang ditancapkan di tanah dan dibakar pada malam ke 27 Ramadan.
Sesda Bengkulu Selatan,Sukarni Dunip,M.Si mengatakan, tradisi turun temurun di masyarakat Bengkulu Selatan itu dimaknai sebagai wujud rasa syukur masyarakat muslim Bengkulu Selatan karena telah dapat melaksanakan ibadah pada bulan Ramadan, dan ungkapan rasa gembira menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri.
Makna simbol dari tradisi Malam Nujuh Likur yakni menggambarkan pada malam kedua puluh tujuh itu kemungkinan turunnya malam penuh rahmat yang didamba setiap orang yang beriman. Yaitu malam Lailatul Qadar. Masyarakat muslim Bengkulu Selatan pada malam tersebut juga akan menyediakan beragam makanan seperti lemang dan tapai.
Malam Nujuh Likur juga sebagai sarana untuk mempererat tali persaudaraan yang ditunjukkan dengan saling bertukar dan berbagi makanan kepada sanak saudara dan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.
"Malam Tujuh Likur Ramadan tahun ini jatuh pada malam Jumat (28/4) lalu yang dilaksakan di Lapangan Sekundang Kota Manna. Namun, khusus untuk pihak pemerintah kecamatan dihimbau dilaksanakan di wilayah kecamatan masing-masing,"ungkap sukarni diruangannya Selasa(26/04).
Pada masanya dulu, paparnya, tradisi nujuh likur di masyarakat Bengkulu Selatan dilakukan oleh anak anak yang akan mengumpulkan tempurung atau batok kelapa ataupun sayak yang biasanya dikumpulkan pada jauh-jauh hari sebelum malam nujuh likur. Jauh-jauh hari sayak harus dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur agar mudah terbakar dan dilubangi tengahnya untuk disusun di pancang kayu lanjaran.
Pada saat akan dibakar, di permukaan lanjaran yang paling atas akan disiram minyak tanah atau getah damar untuk mempermudah proses pembakaran. Lanjaran yang akan dibakar ini jumlahnya tak hanya satu. Jumlahnya bisa semakin banyak, tergantung dari sayak yang berhasil dikumpulkan.
"Kemeriahan malam tujuh likur akan sangat terasa dengan banyaknya lanjaran yang menerangi jalan jalan kampung di Bengkulu Selatan. Namun seiring perkembangan zaman tradisi dan kearifan local ini kian lama kian menghilang di Bumi Sekudang Setungguan serta kita lupakan. Anak anak pada zaman sekarang sudah jarang melakukan kegiatan mencari sayak untuk dibuatkan lanjaran. Kebanyakan dari mereka sekarang akan lebih disibukkan dengan gadget. Dan pada malam nujuh likur banyak dari anak anak akan lebih memilih bermain mercon yang akan sangat mudah didapat dan dijual di pasar,"pungkas Sukarni.(afa)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: