Inilah 13 Orang Minang Kabau Yang Pernah Memimpin di Bengkulu Selatan

Inilah 13 Orang Minang Kabau Yang Pernah Memimpin di Bengkulu Selatan

Azmaliar Zaros, Wartawan RADARBENGKULUONLINE.COM-Yar-

 

Inilah 13 Orang Minang Kabau yang Pernah

Memimpin Bengkulu Selatan

 

 

RADARBENGKULUONLINE.COM - MARGA VII Putjukan (Pucukan-red) merupakan salah satu marga yang ada di Bengkulu Selatan. Marga ini terbentuk sejak zaman tempo dulu. Mengapa daerah ini dinamakan Marga VII Pucukan? Mau tau? Silahkan aja baca laporan wartawan radarbengkuluonline.com  berikut  ini ya.

 

AZMALIAR ZAROS - Manna, Bengkulu Selatan

 

WALAUPUN Marga VII Pucukan sudah ada sejak berabad-abad lalu, namun sayangnya warga Bengkulu Selatan tidak banyak yang tahu asal usulnya.

Mereka cuma tahu benar ada Marga VII Pucukan itu. Beruntung, setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya sejarah Marga VII Pucukan itu berhasil didapatkan radarbengkuluonline.com.

Sumbernya itu adalah tambo dari keturunan Marga VII Pucukan, Achmad Marzuki. Beliau tinggal di Simpang Tiga Rukis. Sejarah Marga VII Pucukan itu juga dilengkapi dengan silsilah dan nama-nama mereka yang memimpin Marga VII Pucukan beserta anak cucunya. 

Silsilah ini dibuat tanggal 1 April 1988 oleh H. Jubahar yang dikutipnya dari naskah asli orangtua dahulu. Yaitu dari M Safri dan telah disempurnakan berdasarkan besluit Angkatan Belanda dan riwayat Marga VII Pucukan naskah Pangeran Achmad Marzuki.

Namun dalam tambo yang dibuat dengan mesin ketik yang menggunakan ejaan tempo dulu dan juga menggunakan ejaan sekarang ini, itu tidak disebutkan tahun berdirinya Marga VII Pucukan itu secara jelas.

Namun dalam tulisan tambo itu diungkapkan, mereka ini sudah lama eksis. Bahkan keturunannya sampai saat ini sudah ada 13 keturunan. Achmad Marzuki dalam tambo tersebut merupakan generasi terakhir.

Berdasarkan sumber dari Tambo Marga VII Pucukan  ini, letak Marga ini adalah berhampiran dengan Kota Manna, ibukota Kabupaten Bengkulu Selatan sekarang ini. Mereka ini termasuk bagian dari marga yang tertua di Onder Afdeling di daerah Bengkulu Selatan ini.

Air Manna yang Dikungkung Hutan Lebat

Adapun penduduk dari marga ini, menurut tambo yang didapatkan tersebut, mereka terdiri dari tujuh keturunan. Yaitu, keturunan Minang Kabau dari Sumatera Barat, Anak Pendjalang, Anak Gumay, Anak Semidang, Anak Djarakan, Anak Lubuk Umbai, Anak Cirebon.

Sebelum daerah ini bernama Marga VII Pucukan, daerah ini merupakan daratan luas dan perbukitan yang masih memiliki hutan besar atau hutan lebat.

Disana masih banyak hewan liar berkeliaran. Warganya juga belum banyak. Tak perlu heran kalau dahulunya banyak sekali ditemukan harimau, ular, babi hutan.

Warganya pada saat itu tidak banyak yang tinggal di tengah hutan itu. Mereka lebih memilih tinggal dekat pantai. Sebab, di pesisir pantai lebih aman dibandingkan dengan tinggal ditengah hutan lebat tersebut.

Sehingga, tidak perlu heran kalau di pesisir pantai itu ada orang membuat jalan. Bahkan, zaman Inggris, Belanda, mereka membuat jalan itu di sepanjang pantai itulah. Barulah setelah zaman kemerdekaan, warga atau pemerintah membuat jalan dengan membelah hutan itu agar bisa dilalui oleh kendaraan.


Inilah naskah tambo Marga VII Pucukan, Bengkulu Selatan -Azmaliar Zaros-

 

Orang Pagaruyung Singgah di Air Manna

Pada zaman dahulu itu, ada orang dari Pagar Ruyung, Sumatera Barat datang ke Bengkulu, tepatnya Bengkulu Selatan. Ia datang ke daerah ini melalui jalan sepanjang pantai ini.

Mereka yang datang itu adalah Maharaja Lelo Panjang Rambut. Ia meninggalkan daerah Pagar Ruyung itu karena dia sedang bersedih. Ia berkelana menyusuri pantai untuk menghilangkan rasa sedih. Dan tidak tahunya, tiba-tiba ia sampai di Bengkulu Selatan. 

Maharaja Lelo Panjang Rambut berjalan menyusuri pantai sebelah barat Pulau Sumatera, menganankan riak nan mendebur. Mengirikan batang - batang dengan bertongkatkan kemeyan barus.

Rupanya, tongkat yang digunakannya itu amat sakti. Karena, tiap-tiap kuala yang beliau lewati, selalu dia pancangkan tongkat itu. Tiap ia pancangkan tongkat itu , tidak ada satu pun air yang bisa melewati atau melaluinya. Sehingga, sampailah dia di kuala Sungai Air Manna, ibukota Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.

Namun, saat dia memancangkan tongkatnya di Kuala Air Manna, disana terjadi keanehan. Tongkat yang dipancangkannya itu tidak mempan nampaknya. Ia hanyut saat memancangkan tongkatnya tadi.

Lalu ia berdiri. Ia melihat ke hulu Sungai Manna itu. Lalu, dia insyaf. Rupanya tidak semua batang air yang dapat ditaklukkan oleh kesaktian yang dia miliki selama ini.

Ia kemudian ke mudik menuruti air Manna tersebut. Kemudian dia mencari tempat yang baik dan aman untuk menetap di sana. Ia kemudian membuat dusun di dekat Air Manna tersebut.

Ia mencari daerah untuk menetap yang agak aman. Jaraknya sekitar 6 Km dari   Air Manna. Kalau sekarang daerah ini namanya Sebiris. Seputar dusun ini, ia bersihkan.

Hutan yang lebat tadi ia tebangi. Lalu dia buat tempat tinggal dari bahan-bahan yang ada di alam itu. Kemudian dia menanam lahan dan menanam padi di sana.

 


Inilah Silsilah lengkap keturunan Marga VII Pucukan Bengkulu Selatan-Azmaliar Zaros-

Sering Dapat Gangguan Musuh

Setelah rumah tempat tinggalnya selesai dibuat, dia kemudian menetap di daerah Sebiris ini. Untuk kebutuhan air minum, dia memanfaatkan air Manna.

Sedangkan untuk makan, dia memanfaatkan lahan tadi untuk bercocok tanam. Selama tinggal di daerah ini, dia juga peramah. Dia bergaul dengan warga lainnya. Dia juga suka menolong orang lain.

Pada awalnya, dia aman-aman saja menetap di daerah ini. Namun, lama kelamaan, dia ada musuh. Musuhnya itu adalah Tadjak Penjuru Batin Sambut. Ia datang dari sebelah barat tanah Pasmah. Dia sering  terganggu dengan Tadjak Penjuru Batin Sambut ini. Dan merasa tidak aman.

Kemudian, dia mencari dan mengumpulkan kawan untuk melawan musuh. Lalu, dia juga minta bantuan kepada bapaknya di Pagar Ruyung. Yaitu Puyang Bejebai. Puyang Bejebai ini adalah bapak Kandung Tjundur Mato atau Cindur Mato.

Tidak berapa lama sesudah itu, maka datanglah bantuan secara bertahap. Mereka siap menolong Maharajo Lelo Panjang Rambut tersebut dari ancaman yang datang itu.

Bantuan itu setelah dihitung-hitung, ada 7 rombongan.

Pertama,  dari Puyang Indra Sakti anak pendjalang dari Tanah Pilih.

Kedua, Puyang Kebal dan Singa Rugung anak Lubuk Umbai dari Lesung Batu.

Ketiga, Puyang Singo Alim Poro, Umak Singo Pati, dan Umak Bolo-Bolo anak Tjirebon Java dari Enim. 

Keempat, Puyang Warang, anak Djarakan dari Lintang Kanan.

Kelima, Idem Ambur Wani, anak Kmidang dari Muara Karang Ulu Musi.

Keenam, Puyang Raden Pekunu dan Raden Kuning, anak Gumay dari Lintang.

Ketujuh, Puyang Bedjebai. Kedatangan Puyang Bedjebai ini serentak dengan rombongan Puyang Raden Penuku.

Setelah semuanya terkumpul dan menyatakan siap untuk menghadapi musuh tersebut, mereka lalu berembuk mengatur langkah yang akan dilakukan. Segala peralatan pun disiapkan untuk menghadapi musuh itu secara bersama-sama.

 

 


Marga VII Pucukan ini masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan-Azmaliar Zaros-

 

Atur Langkah dan Strategi Hadapi Musuh

Ternyata, persiapan yang mereka lalukan ini betul-betul dilakukan secara cermat dan matang. Sebab, mereka tak ingin kalah dalam peperangan itu.

Masing-masing kelompok itu dilengkapi dengan senjata perang masing-masing. Mereka juga ada ketua setiap kelompok.

Pucukan atau pasukan pertama ini dipimpin oleh Puyang Sakti. Pasukan ini bersenjatakan keris dan gada. Pucuk senjata inilah yang dinamai pucukan. Jadi Marga VII Pucukan itu artinya adalah Marga yang dilengkapi tujuh persenjataan.

Pasukan kedua dikepalai oleh Puyang Idara Sakti. Ia juga bersenjata. Senjata yang dipersiapkannya adalah pedang dan membawa tameng untuk pelindung diri.

Pucukan (Pasukan) ketiga ini dikepalai oleh Puyang Kebal dan Singa Rugung. Ia membawa peralatan senjata tajam berupa kujur.

Pucukan (Pasukan) yang keempat dipimpin oleh Puyang Werwang. Ia juga dilengkapi dengan persenjataan. Senjata yang dipersiapkannya adalah berupa siwar.

Pucukan (Pasukan) kelima dikepalai oleh Puyang Alim Poro, Minak Singo Pati dan Minak Bolo-Bolo. Ia bersenjatakan djombia dan memegang perisai tiap-tiap tangan.

Pucukan keenam dikepalai oleh Raden Pekunu dan Raden Kuning. Ia dilengkapi dengan persenjataan berupa kujur, pedang, keris dan lain-lain sebagainya menjadi balatentara tambahan.

Sedangkan pucukan ketujuh dikepalai oleh Puyang Ambin Wani . Ia ini bertugas khusus dengan perbekalan makanan perang dan siap pula jika perlu untuk perang.

Berdasarkan dari pucukan (Pasukan) senjata yang mereka gunakan dari tujuh kelompok ini, maka sudah dapat disimpulkan bahwa asal usul dinamakan Marga VII Pucukan itu  adalah tujuh pasukan (Pucukan) yang melindungi dan mengamankan daerah ini dengan sejata perang.

 

 


Nama pemimpin Marga VII Pucukan ini diabadikan dalam nama Jalan di Bengkulu Selatan. Seperti Jalan Raja Muda di Kelurahan Kota Medan atau biasa disebut dengan Kutau-Azmaliar Zaros-

 

Banyak Jatuh Korban Jiwa

Setelah segala persiapan lengkap, mereka akhirnya terjun ke medan peperangan. Waktu yang mereka ambil untuk memulai peperangan untuk mengusir musuh yang selalu mengepung mereka selama ini adalah pagi dini hari.

Dini hari, saat mata bintang belum padam cahayanya, burung-burung belum berkicau, pajar pun baru menyingsing, angin bertiup sejuk dingin, pikiran pun masih tenang, badanpun masih segar bugar, maka isyarat perang mulai ditunjukkan Puyang Sakti.

Maka menderulah suara rakyat dan rombongan 7 pasukan tersebut. Gemerincing bunyi senjata panglima perang terdengar amat mengerikan menembus keheningan pagi yang cerah itu.

Yang berdiri paling depan dalam pasukan itu adalah Singo Rugung dengan segala laskarnya dan diiringi oleh panglima perang yang lainnya. Ia mendatangi tempat musuh yang sudah mengepung selama ini.

Pasukan Tadjak Penjuruh pun kebingungan dibuatnya. Sebab, ia tidak menyangka akan dikepung pagi itu. Akhirnya pasukan musuh tekepung. Ia tak bisa bergerak lagi. Senjatanya juga tak bisa digunakan karena sudah terdesak hebat.

Peperangan itu akhirnya banyak darah tertumpah di tanah. Pasukan Tadjak Penjuruh kocar kacir dibuatnya. Bagi yang memiliki kekuatan fisik, ada yang lari dari kepungan itu. Mereka berpencar kemana-mana untuk menyelamatkan diri.

Walaupun demikian, mereka yang selamat masih tetap melakukan perlawanan disana sini. Beberapa hari lamanya peperangan itu berlangsung.

Karena kekuatan semakin tidak berimbang, akhirnya pasukan Tadjak Penjuruh mundur dan meninggalkan kekalahan menghadapi pasukan Puyang Sakti yang kuat dan lengkap. Karena, hulu balang dan pasukannya banyak yang meninggal dunia dalam peperangan tersebut.

Sementara itu pasukan Puyang Sakti tidak banyak yang terluka karena mereka sudah mempersiapkan peperangan itu secara matang.

Mereka senang bukan main, sebab musuh yang selalu mengganggu selama ini sudah berhasil mereka usir dari tempat tinggal mereka.

Dengan berhasil mereka mengusir musuh, maka mereka akan bisa hidup tenang kembali. Mereka bisa berkebun dan melakukan aktivitas setiap hari dengan aman, damai dan nyaman. Tidak ada lagi yang mengganggu mereka.

 

Musyawarah Bersama Membuat  Marga

Sesudah perang berakhir, maka Puyang Sakti menjamu semua panglima dan pasukan tersebut. Mereka mengadakan jamuan besar sambil makan dan minum secara besar-besaran untuk ukuran waktu masa itu.

Setelah semuanya selesai makan jamuan itu, maka Puyang Sakti tampil ke depan untuk memberikan sambutan kepada semua yang hadir.

Dalam kesempatan itu dia meminta kepada semua untuk memperbaiki peralatan perang yang rusak. Kemudian, dia juga meminta kepada semuanya untuk menanam aur duri di sekitaran pinggir dusun atau Marga ini.

Dengan adanya pagar tersebut, setidaknya bisa sebagai benteng untuk melindungi diri untuk bertahan dari serangan musuh yang akan masuk ke dusun itu nanti.

Melihat kepintaran Puyang Sakti itu, maka dia diangkat sebagai ketua atau pemimpin di dusun atau Marga VII Pucukan itu. Yaitu dia diangkat menjadi Puyang Ketunggalan (Penghulu) segala puyang-puyang yang ada itu.

Mereka juga sepakat dan berjanji untuk tetap setia menuruti segala aturan yang dibuat itu. Bahkan, aturan itu pun dipatuhi secara turun-temurun oleh anak cucu mereka.

Karena melihat dusun itu sudah aman dari musuh dan mereka menduga tidak akan ada lagi marabahaya yang akan mengancam, para Puyang tadi menjadi betah di Dusun atau Marga VII Pucukan itu.

Lalu dia bermusyawarah dan mufakat dan meminta diberikan tanah untuk menetap di dusun itu bersama-anak cucu mereka kelak.

Karena puyang-puyang itu serius dan meminta penuh harapan, maka Puyang Ketunggalan merasa senang juga. Karena, dengan adanya Puyang-Puyang itu, dusun tersebut menjadi ramai.

Mereka bisa saling berinteraksi. Mereka bisa saling tolong menolong. Kalau ramai di daerah itu, musuh tidak akan berani masuk.

Karena adanya permintaan itu, maka Puyang Ketunggalan bersedia untuk memberikan tanah untuk tempat mereka menetap.

Tetapi dengan catatan, harus membuat perjanjian terlebih dahulu. Bagi puyang-puyang itu tentu mau menerimanya, asal tidak memberatkan. Lalu dia minta disampaikan apa janji yang harus mereka ikuti.

Adapun janji atau permintaan yang harus mereka patuhi, yaitu harus menolong Puyang Ketunggalan jika diperlukan dan diminta sewaktu-waktu. Tidak boleh menolaknya.

Karena janjinya itu tidak pula berat, keenam puyang itu  mau menerimanya dengan senang hati. Tetapi, dia juga ada permintaan tertentu.

Yaitu, dengan catatan, Puyang Ketunggalan juga harus mau menolong keenam Puyang itu bila dibutuhkan. Seperti bila ada perselisihan atau peperangan diantara salah satu dari mereka nanti. 

 

Sepakat untuk Bagi-Bagi Tanah

Permintaan  itu pun akhirnya diterima dan disetujui oleh kedua belah pihak dengan rasa kebersamaan. Karena, permintannya juga tidak memberatkan. Lagi pula, mereka memang butuh semua. Mereka merasa senang.

Setelah timbul kata sepakat, lalu mereka membagi tanah itu kepada keenam puyang yang hadir tersebut. Masing-masing puyang dapat jatah tanah untuk menetap di dusun itu.

Puyang Ambur Wani anak Semidang dapat tanah di Karang Lebak. Yaitu di seberang Padang Niur lokasinya sekarang ini.

Untuk Puyang Singo Rugung dan Puyang Kebal anak Lubuk Umbai dapat tanah di Tanjung Menang, dekat Duayu.

Sementara itu, anak cucu Puyang Idara Sakti, anak pencalang dapat tanah di dekat Batu Lambang, Batu Kuning, dan Pagar Bumi.

Puyang Warang (Djarakan) dapat pembagian tanah di Tambangan, dekat taman.

Untuk Puyang Alim Poro, dia dapat tanah di Talang Tengah, lalu di Panggar Bumi.

Kalau Puyang Minak Singo Pati, dia dapat jatah tanah di Melao.

Sedangkan Puyang Minak Bolo-Bolo, dia dapat jatah tanah di dekat Gunung Sakti. Ketiga Puyang ini semua,  adalah anak Tjirebon.

Adapun Puyang Raden Pakuan dan Raden Kuning, dia dapat jatah tanah di Jeranglah dan Kembang Ayun sekarang ini.

Sedangkan Puyang Ketunggalan (Sakti), dia bebas memilih dimana yang dia sukai, karena dia yang memiliki semua tanah itu selama ini.

Setelah tanah itu dibagi dan ditempati oleh mereka semua, mereka merawatnya dengan baik, maka Puyang Sakti itu lenyap (gaib). Ia pergi entah kemana. Tidak tau rimbanya lagi.

Kemuduain, dusun yang menjadi tempat tinggalnya itu jadi keramat. Sedangkan bapaknya Maharaja Lilo Panjang Rambut (Bejubai) lenyap pula dekat Rimbo Genting.

Kemudian tempat itu juga menjadi keramat Rimbo Genting. Akhirnya Kepala Marga, Puyang Ketunggalan digantikan anaknya dengan anak Puyang Sakti yang bernama Malikin.

 

Masa Pimpinan Malikin Sakti

Setelah kepergian Puyang Ketunggalan itu, Marga VII Pucukan ini dipimpin oleh Malikin Sakti. Pada masa kepeminpinannya ini, dusun ini aman dan tenteram. Tidak ada terjadi peperangan di dusun ini. Penduduknya pun senang.

Masa kepemimpinan Malikin Sakti ini, dia mengatur daerah ini dengan penuh musyawarah. Ia mengatur segala sesuatunya untuk ditanam. Ia lebih fokus untuk mengatur soal cocok tanam. Dia mengatur cara berladang.

Ia juga menganjurkan penduduknya bertanam kapas. Kemudian, dia juga mengatur cara menenun kain secara alami.

Karena kerjanya bagus memimpin daerah ini, maka tersebarlah kabar itu kemana-mana. Bahkan, kabar itu sampai ke daerah yang jauh sekalipun.

Setelah kabar itu tersebar kemana-mana, maka secara berangsur-angsur datanglah orang ke Marga VII Pucukan ini. Termasuk anak cucu ketujuh Puyang ini juga datang ke tempat ini. Termasuk keluarga dan familinya yang ada di Minang Kabau, Sumatera Barat.

Yang banyak datang familinya adalah dari IV Lanang dan tanah Pasemah. Akibat banyaknya orang yang datang, maka tanahnya menjadi sempit. Bahkan, tak bisa lagi menampung orang itu untuk menetap di dusun itu.

Lalu, mereka akhirnya menempatkan familinya itu ke daerah yang dekat dengan dusun atau Marga VII Pucukan itu. Seperti ke Ulu Air Manna. Seperti Dusun Merambung yang sekarang telah masuk ke dalam Marga Ulu Manna Ulu dan Dusun Ulak Lebar Pauh. Sedangkan Talang Gujun dimasukkan ke Ulu Manna Ilir.

Karena pengaturan dusun tersebut  yang begitu baik, maka timbullah rasa cemburu dari Puyang Gedung Agung yang waktu itu tinggal di Ganting Ulu Manna. Rasa cemburu itu berlanjut jadi perselisihan yang hebat.

Beruntung, perselisihan itu dapat dimusyawarahkan dengan bijaksana dan damai oleh kedua belah pihak Puyang tersebut. Mereka membuat perjanjian dengan baik.

Hasil dari perjanjian itu, disepakatilah bahwa Marga VII Pucukan diberikan tempat disebelah ilir. Sedangkan segala dusun-dusun yang ada di sebelah Ulu Manna jadi milik Puyang Gedung Agung.

Setelah itu, Puyang Malikin Sakti wafat, maka  diangkatlah penggantinya dari anaknya sendiri yang bernama Mas Tembelang Megang Bumi.

 

Kompeni Inggris Masuk ke Bengkulu Selatan

 

Ketika Mas Tembelang Migang Bumi diangkat jadi kepala Puyang-Puyang tadi, maka kompeni Inggris datang ke Bengkulu Selatan. Pada masa pemerintahan Inggris ini, dia diminta Inggris untuk pindah di Pinggir Air Manna, dekat Pasar Manna.

Ini dilakukannya untuk menolong Inggris. Kalau ada musuh yang datang, maka dia lekas memberi bantuan dalam segala hal.

Lalu lokasi itu dibersihkan. Ia menebang pohon-pohon yang ada di lokasi Air Manna itu. Pohon itu dia tebas dan tebang agar bisa digunakan untuk tempat tinggal.

Saat membersihkan lokasi itu, maka mereka melihat di pinggir Sungai itu ada ikan hiu yang sedang bermain-main. Lalu, mereka menamakan daerah itu dengan nama Duayu atau dua ikan Hiu.

Sewaktu lokasi itu sudah bersih, lalu dibuatlah pemukiman untuk menetap secara gotong royong. Kemudian, dia diberi gelar  Pangeran Raja Chalifah.

Masa pemerintahan Puyang Mas Tembilang Migang Bumi yang bergelar Raja Chalifah ini berjalan aman dan lancar. Sayangnya, setelah itu, dia meninggal dunia di daerah itu.

Untuk menjalankan roda pemerintahan tetap jalan, maka ia digantikan oleh anaknya yang perempuan. Namanya adalah Buntak. Ia digelari dengan Pangeran Radja Penghulu.

Semasa melaksanakan tugasnya, ia meneruskan apa yang sudah dilakukan Mas Tembelang Migang Bumi. Ia tidak banyak melakukan perobahan saat itu.

Terobosan pun boleh dikatakan tidak ada. Lalu, ia pun meninggal dunia. Kemudian dia digantikan oleh anaknya juga .  Yaitu, anaknya yang paling tua. Namanya Pangeran Mangku Lurah.

Anaknya ini juga melaksanakan pemerintahan seperti yang dilakukan orangtuanya. Dia juga tidak ada melakukan perubahan-perubahan dan terobosan.

Lalu, Pangeran Mangku Lurah ini pun meninggal dunia. Dia digantikan oleh cucunya Pangeran Raja Chalifah.

Pangeran Raja Chalifah juga tidak banyak membawa perubahan. Malahan, pada masa pemerintahannya ini terjadi perselisihan dengan orang Jeranglah lantaran saudaranya Raja Muda .

Lalu Pangeran Raja Chalifah ini pun meninggal dunia. Kemudian, dia digantikan oleh Merahmad, anaknya Raja Muda yang diberi gelar Pangeran Raja Chalifah juga.

Kemudian masa Compeni Belanda datang. Lalu gelar Pangeran Raja Penghulu diubah dengan gelar Pangeran Raja Penghulu.

 

Zaman Kekuasaan Inggris Berakhir

Semula Merahmad ini pada zaman Inggris diberi gelar Pangeran Raja Chalifah dan marganya  dan angkatan beliau ini ada yang luar biasa sedikit.

Karena, dia diangkat menjadi pangeran ini masih muda. Padahal saudaranya ada yang lebih tua dari dia tidak diangkat. Ini tidak lain adalah karena dia bagus perangainya. Dia orang baik.

Ia memerintah dari tanggal 22 Mei 1820 sampai 1844. Sesudah Kompeni Belanda datang, maka dia diberi gelar pangeran Raja Penghulu. Akan tetapi sayang sekali surat pengangkatannya tidak ada ditemukan lagi.

Karena sebagian besluitnya telah terbakar bersama besluit lainnya dari pangeran-pangeran terdahulu. Besluit itu terbakar sekitar tahun 1818.  Namun Achmad Marzuki memperkirakan bahwa Merahmad yang merupakan salah satu dari Marga VII Pucukan yang banyak pengalaman.

Karena, semasa dia memerintah, dia banyak melakukan pertukaran dengan kompeni Inggris dengan Belanda. Bahkan, dia juga pernah menjadi wakil kompeni.

Menurut Achmad Marzuki, satu dari Besluitnya tertulis di Fort Marlborough bertarikh 22 Mei 1820 menyatakan tanda kompeni Inggris mengembalikan kuasanya kepada Merahmad.

Dia juga diberikan penghargaan dengan sebuah pedang kehormatan yang sekarang masih ada disimpan.

Setelah kompeni Belanda datang, beliau menyerahkan kekuasaan tadi kepada kompeni Belanda dan beliau bekerja terus dalam jabatan sampai tahun 1844.

Ia berhenti itu dengan mendapat ondestant. Sedangkan yang menggantikannya ialah anaknya yang bernama Mohamad Arab dengan gelar Raja Chalifah.

Mohamad Arab ini diangkat dengan besluit 16 Januari 1845. Ia hanya melaksanakan tugas seperti yang telah dilakukan oleh Merahmad. Ia pun tidak banyak melakukan perubahan.

Semasa pemerintahannya, ia hanya mengusahakan tanah untuk dijadikan sawah. Ia mencari lahan untuk sawah itu di seberang Manna lama.

Tetapi, usaha itu pun belum berhasil dan dia  sudah berhenti. Ia kemudian digantikan oleh adiknya sendiri yang bernama Muhammad Alis.

Muhammad Alis ini diangkat sebagai Pangeran berdasarkan besluit Paduka Tuan Asisten Residen Bengkulu tertanggal 21 April 1862. Dia diangkat sebagai pangeran dengan gelar Pangeran Djaja Kesuma.

Dalam masa pemerintahannya itu, dia juga melaksanakan rutinitas saja sebagai pemimpin. Dia tidak banyak melakukan perubahan. Ia hanya meneruskan usaha yang sudah dirintis kakaknya, Pangeran Arab terdahulu.

Yaitu menuntaskan perluasan sawah di daerah seberang Manna lama. Usaha perluasan sawah ini bisa dituntaskannya dengan baik. Sehingga lahan sawah semakin banyak.

Ia memerintah ini juga tidak lama. Pada tahun 1870, dia sudah berhenti sebagai pangeran. Dalam tahun itu juga beliau menerima besluit dari Seri Paduka Tuan Besar Gubernur Jenderal bertarikh 13 April 1870 No 59. Beliau diberikan onderstant F 30, sebulan.

Kemudian, ia digantikan oleh saudara sepupunya yang bernama Raden Kerta Djaja. Ia pun melaksanakan tugas-tugas seperti biasa.

Di dalam Pasirah Raden Kerta Kerta Djaja ini, ia menjadi pasirah di Marga VII Pucukan selalu diawasi. Gouvernement mengatur dikenakan blasting kerja raja-raja (Herdienst) dan rakyat .

Tak lama kemudian dia pun berhenti tahun 1883. Lalu, pada tahun 1883 maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Abdul Haris. 

 

Kemajuan Negeri Sangat Lambat

Abdul Haris ini adalah  cucu kandung dari Muhamad Alis Pangeran Djaja Kesuma. Ia diangkat dengan besluit Seri Paduka Tuan Besar Resident Van Benculen, 25 April 1884 No 1441.

Dia diangkat sebagai wakil Pasirah Marga VII Pucukan dan dengan besluit 6 Januari 1885 No 26/6 benmud Pasirah dan bergelar Raja Penghulu.

Di dalam pemerintahan beliau masih banyak kedapatan cara yang masih kuno. Terutama dalam hal pergaulan. Yaitu pergaulan Indandsch hoofden dengan Inlalandsch abtenaren masih belum bagus. Karena, sering kejadian.

Ambtenaar merasa dirinya jauh lebih tinggi derajatnya dari inlandsch hoofden. Cara demikianlah yang sangat melambatkan kemajuan negeri.

Berhubung dengan anak negeri pun masih terlalu pula miskinnya. Apalagi saat itu daerah ini ditimpa penyakit hewan yang datang menyerang tahun 1887 dengan sangat hebatnya. Sehingga binatang-binatang banyak yang musnah.

Baik itu kerbau, maupun sapi. Yang tertinggal itu paling -paling hanya 4 persen saja lagi. Sedangkan anak-anak negeri itu banyak pula yang terlantar.

Tetapi untunglah mereka belum kehilangan akal. Mereka akhirnya melakukan mufakat dengan controleur O.B Helfrich . Lalu hasil dari kesepakatan itu mereka mengalihkan untuk bercocok tanam.

Mereka memesan bibit karet, cengkeh banyak-banyak untuk di tanam di lahan mereka. Anak negeri dikerahkan  dan disuruh untuk menanam tanaman karet, cengkeh dan tanaman keras lainnya.

Selain itu juga, mereka bersama kepala marga yang lainnya di onderafdeling ini menyururh anak negeri berkebun kopi Liberia. Pekerjaan ini mendapat dukungan dan tunjangan yang kuat dari pihak tuan Contrelleur Z.U Van Stennjnis dan menteri Raden Mohamad Idham.

Semenjak itu lah anak negeri baru senang membayar belasting rata-rata batin (orang tua yang bekeluarga) dan yang masih  bujangan Rp 2,.

Sebelumnya itu, sering terjadi anak-anak negeri dijemur diterik panas matahari karena belum membayar uang belasting atau disuruh kerja di rumah orang yang sanggup membayarkannya yang dihitung Rp 1, tiap-tiap bulan.

Artinya, jikalau seseorang dibayari oleh si A, belastingnya Rp 2, maka orang tadi tinggal bekerja pada si A selama 2 bulan.

Kira-kira dalam tahun 1900-1901, beliau atur pula melebarkan jalan-jalan marga sampai bisa dilalui pedati. Pekerjaan ini tida pula kurang tunjangan dari tuan Contreleur c Van De Velde.

Di dalam tahun 1908, beliau berhenti dan diangkatlah penggantinya Achmad Marzuki. Yaitu anak beliau yang tua.

 

Pangeran Achmad Marzuki Dirundung Duka

Achmad Marzuki adalah anak yang tertua dari Abdul Haris, Pasirah Marga VII Pucukan yang berhenti pada tahun 1908. Achmad Marzuki ini dilahirkan di Duayu pada bulan Desember 1883.

Ia termasuk kepala Marga yang ketiga belas, turun temurun menurut sejarah kepala Marga di Duayu Marga VII Pucukan ini.

Masa kecilnya, dia mengenyam pendidikan di sekolah kelas II di Manna. Setelah dewasa, dia magang di Kantor Manna mulai tahun 1904 - 1909.

Dengan besluit Seri Paduka Tuan Besar Residen Van Benkulen bertarich 8 Februari 1909 No. 65, dia dibenum sebagai Pasirah Marga VII Pucukan menggantikan bapaknya Abdul Haris yang bergelar Raja Penghulu.

Sejak awal dia menjabat sebagai Pasirah , dia mulai mengetahui seluk beluk pandangan Inlandch ambtenar kepada dia sebagai Indlanch Hoofden dan pandangan itu suatu pandangan yang merendahkan, bukan mustahil tiap sesuatu itu ada timbalannya.

Yang mengetahui hal itu rupanya bukan dia saja. Akan tetapi pemerintah yang di atas pun mengetahuinya dan memaklumi pula sedalam-dalamnya.

Ternyata semasa E.D Controleur J.H Juda dia diajarkan beramah tamah dan bercengkrama dengan Indlandsch ambtenar.

Hasilnya bagus sekali. Sejak saat itu pergaulannya mulai berangsur baik. Rupanya mereka insyaf akan kelakuannya selama ini.

Semasa Achmad Marzuki ini berkuasa, dia selalu dirundung duka oleh beberapa perubahan. Baik itu mengenai aturan maupun soal adat istiadat dalam memegang pakai negeri.

Dari tahun 1909, dengan perintah dari atas , segala kepala marga harus memperbaiki segala adat-adat yang ada di dalam marga itu. Terutama adat kawin. Tahun 1911 muncul pula aturan membuat batas-batas marga yang rupanya belum pula terpakai.

Pada tahun 1912, dia mengurus marga yang dipindah-pindahkan dalam urusan ini mengurbankan beberapa dusun Marga VII Pucukan yang dipindahkan ke lain marga.

Seperti Dusun Merambang dimasukan ke Marga Hulu Manna Hulu dan Dusun Padang Ulak Lebar , Pauh dan Talang Gujun dimasukan ke dalam Marga Hulu Manna Hilir. Sedangkan penggantinya cuma Dusun Gelumbang saja.

Terlebih lagi di tahun 1913. Ia waktu itu dilamun oleh urusan yang sulit. Ini lantaran munculnya Serikat Islam.

Kekuasaan ini bukan pula karena Marga VII Pucukan saja. Tetapi dia bersama Datuk Muhamad Nazir Pasar Manna menjadi sebagai kaki tangan dari F.D Controleur J.H Yuda hinga dia banyak berurusan pada malam hari.

Beruntungnya, dia masih muda dan masih kuat, umurnya masih 29 tahun, sehingga dia merasa enjoy saja dan tidak keberatan melaksanakan pekerjaan itu.

 

Pimpinannya Semua dari Keturunan Minang Kabau

Pada saat itu juga ada tambahan pekerjaan untuk anak negeri dalam memajukan negeri. Yaitu dengan menganjurkan menanam kelapa dan atur tanam kopi Robusta.

Mereka juga diberikan cara untuk menanamnya. Hasilnya lumayan jugalah. Sejak saat itu, warga senang sekali. Warga mulai berani kopi. Sebelumnya orang punya kelapa belum ada yang mencapai 50 batang.

Demikian juga halnya dengan kopi Robusta. Sesudah itu banyak yang berani menanam diatas jumlah itu. Bahkan saat itu banyak yang menanam kelapa dan kopi, dan itu berlangsung sampai sekarang.

Pada tahun 1916, ada kepala marga yang lain mulai mengerjakan jalan barisan Lubuk Tapi-Tanjung Sakti yang dipimpin Tuan Controleur H.C. J Gunning. Dan dalam tahun ini juga Achmad Marzuki menolong membuat Pasar Manna baru.

Dengan besluit Seri Paduka Tuan Besar Resident Van Bengkulen bertarich 31 Agustus 1922 No 245, dia diganjar dengan nama Pangeran dan diberi gelar Pangeran Wijaya Kesuma.

Di dalam tahun 1923, dia bersama kepala-kepala marga  dizinkan memegang kuasa Gemente Ordi. Sedangkan pada tahun 1929, dia dapat perintah membuat rimbo larangan. Yaitu Rimbo Pematang Panjang yang ditentukan sebagai rimbo larangan.

Serentak dengan itu pula, dia bersama kepala kepala yang lainnya diberi kekuasaan menjadi lieder rapat kecil (voorzitten rapat).

Seiring dengan perkembangan zaman waktu itu, pada tahun 1930 keadaan berubah. pungutan , belasting semakin parah. Ekonomi sangat susah. Kekacauan terjadi dimana-mana.

Menurut Achmad Marzuki, Marga VII Pucukan itu sejak berdiri sampai dengan terakhir atau 13 keturunan, semuanya dikepalai oleh satu keturunan saja. Yaitu keturunan dari Minang Kabau, Sumatera Barat.

Pemerintahan dihapuskan sejak diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah. (*) 

 

Catatan Penulis:

Nama penulis adalah Azmaliar Zaros. Nama panggilannnya adalah Yar atau biasa juga disebut Yagh (bahasa Manna) . Ia adalah alumni SDN 9 Belakang Gedung. Lalu, alumni  SMPN 3 Pekan Baru, Manna. Terus, Alumni SMAN 2 di Jalan Kolonel Berlian, Manna. Alamat di Manna, Jln Raja Muda, Kota Medan (Kutau). Kini menetap di Kota Bengkulu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: