Era Mikroplastik Nano: Ancaman Tak Kasat Mata yang Berubah Menjadi Polutan Biologis
Bentuk beberapa jenis mikroplastik (berukuran kurang dari 5mm) yang ditemukan pada tubuh ikan (Dok. pribadi)-Dok pribadi-
**Oleh: Dian Fita Lestari**
Mahasiswa Program Doktoral Biologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
Dosen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Bengkulu
Di tengah gencarnya pembahasan mengenai perubahan iklim, deforestasi, dan polusi udara, terdapat satu isu lingkungan yang belakangan semakin mengemuka dan menjadi perhatian publik, yakni **mikroplastik**. Polutan ini telah mencemari berbagai lini kehidupan manusia. Udara dan air hujan di sejumlah kota besar di Indonesia dilaporkan mengandung mikroplastik, bahkan air minum yang kita konsumsi sehari-hari pun tidak luput dari kontaminasi tersebut.
Saat ini, hampir seluruh organisme—dari tingkat rendah hingga tinggi—sulit hidup dalam ekosistem yang benar-benar bebas plastik. Pada manusia, mikroplastik telah ditemukan di berbagai bagian tubuh, seperti ketuban, plasenta, darah, dan urin. Sementara itu, pada hewan, khususnya ikan, mikroplastik banyak ditemukan pada jaringan dan organ, termasuk otot yang kerap kita konsumsi sebagai sumber protein bergizi.
Plastik merupakan material polimer sintetis yang sangat sulit terurai dan membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terdegradasi secara alami. Produksi plastik terus meningkat seiring dengan kebutuhan manusia karena sifatnya yang praktis, murah, dan mudah digunakan. Namun, produksi besar-besaran yang tidak diimbangi dengan pengelolaan dan kesadaran lingkungan inilah yang menjadikan plastik sebagai masalah serius.
Selama ini, plastik kerap dipandang sebagai sampah makro yang mencemari perairan, terutama lautan. Padahal, permasalahan plastik jauh lebih kompleks. Tanpa disadari, plastik akan terurai menjadi **mikroplastik** berukuran kurang dari 5 milimeter, bahkan menjadi **nanoplastik** berukuran kurang dari 1 mikrometer. Pada tahap ini, plastik tidak lagi sekadar polutan fisik, melainkan telah berubah menjadi **polutan biologis** yang tak kasat mata namun berpotensi sangat berbahaya.
Berbagai penelitian telah melaporkan keberadaan mikroplastik dalam tubuh manusia. Ironisnya, isu ini kerap kurang mendapat perhatian serius dari pihak berwenang karena tidak terlihat oleh mata telanjang dan dianggap belum menunjukkan dampak kesehatan yang nyata. Padahal, ancaman yang lebih besar justru datang dari skala yang lebih kecil, yakni nanoplastik, yang mulai memasuki ranah biologi paling fundamental: sel.
Ukuran nanoplastik yang sangat kecil memungkinkan partikel ini menembus membran sel, terakumulasi dalam sitoplasma, mengganggu fungsi organel seperti mitokondria, bahkan memicu perubahan ekspresi gen melalui mekanisme stres oksidatif. Sejumlah penelitian pada organisme akuatik menunjukkan bahwa paparan nanoplastik dapat menyebabkan kerusakan otak, gangguan sistem imun, kegagalan reproduksi—seperti penurunan kesuburan dan keturunan abnormal—serta perubahan perilaku dan metabolisme. Akumulasi nanoplastik dalam jaringan dan organ ini pada akhirnya mengancam kelangsungan hidup organisme secara keseluruhan.
Dampak serupa sangat mungkin terjadi pada makhluk hidup lainnya, termasuk tumbuhan, hewan darat, dan manusia. Dengan kata lain, kita tengah menghadapi polutan yang berasal dari material yang kita ciptakan sendiri. Nanoplastik tidak lagi sekadar benda asing, melainkan agen biologis yang mampu memodifikasi fisiologi organisme.
Pada akhirnya, persoalan utama bukan hanya seberapa banyak plastik yang kita hasilkan, melainkan seberapa jauh plastik berukuran nano ini menyusup ke dalam inti kehidupan—struktur sel dan mekanisme biologis makhluk hidup. Tantangan biologi di masa depan bukan semata memulihkan lingkungan yang tercemar, tetapi juga menghadapi realitas kehidupan yang telah “terplastifikasi” hingga ke tingkat mikroskopis.
Jika kita tidak bertindak hari ini, generasi mendatang tidak hanya akan mewarisi bumi yang rusak, tetapi juga warisan biologis yang tercemar oleh pilihan dan tindakan kita. Masa depan kehidupan tidak semata-mata ditentukan oleh alam, melainkan oleh keberanian kita untuk menjaga dan melindungi apa yang masih tersisa.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
