Aksi Koalisi Masyarakat Sipil, Minta Presiden Bertindak Masalah PLTU

Rabu 05-02-2020,22:07 WIB
Reporter : radar
Editor : radar

RBO, BENGKULU- Koalisi Langit Biru yang merupakan gabungan organisasi masyarakat sipil mengadakan aksi kemarin. Mereka warga pejuang dan nelayan yang menolak PLTU batu bara Bengkulu. Mereka membentangkan spanduk raksasa bertuliskan "Jokowi, PLTU membunuh laut kami." Sapanduk itu tepat di perairan dekat PLTU batu bara Teluk Sepang, Kota Bengkulu.

Aksi tolak proyek energi ini, bertepatan dengan peresmian monumen Ibu Negara Pertama, Fatmawati oleh Presiden Joko Widodo. Kedatangan Jokowi, semula juga dijadwalkan akan meresmikan PLTU batu bara Teluk Sepang.

"Ibu Fatmawati adalah ibu yang menjahit bendera Indonesia, sehingga bisa meraih kemerdekaan. Sayangnya, Indonesia telah dicabik-cabik dengan kebijakan pembangunan energi seperti proyek PLTU batu bara Teluk Sepang ini. Ini telah merusak harapan masyarakat Bumi Rafflesia untuk bisa menghirup udara bersih," kata Ketua Kanopi Bengkulu, Ali Akbar.

Para aktivis sudah sejak awal menyatakan bahwa PLTU bukan pilihan bijak untuk pemenuhan kebutuhan listrik di Bengkulu dan Sumatera serta Indonesia.

Proyek PLTU batu bara Bengkulu penuh dengan masalah, seperti yang sudah diproses Ombudsman RI, klaim persetujuan warga, melanggar tata ruang, menghancurkan sumber nafkah petani, menghilangkan kawasan hutan mangrove serta memunculkan konflik sosial di tengah masyarakat Teluk Sepang.

Ditambah lagi, kematian 28 ekor penyu yang diduga kuat disebabkan oleh proses uji coba PLTU ini, seharusnya menjadikan semua pihak meletakannya sebagai pondasi kesadaran untuk mengevaluasi ulang secara keseluruhan. PLTU batu bara yang didanai bank BUMN Tiongkok ini. Namun, pemerintahan Jokowi sejak periode pertama sangat candu dengan energi fosil, dan mempercepat pelaksanaan program 35 ribu MW yang sebagian besar baurannya bersumber pada batu bara.

"Pemerintah sendiri menyebutnya, bahwa rasio elektrifikasi di Bengkulu telah mencapai 100% pada awal 2019. Jadi, investasi pembangunan PLTU Teluk Sepang ini untuk siapa? Ini jelas bukan untuk masyarakat, tapi untuk kepentingan industri yang risikonya ditanggung oleh keragaman hayati laut dan ratusan ribu warga di Kota Bengkulu," jelasnya.

Sementara itu, Ahmad Ashov Bisry, dari gerakan #BersihkanIndonesia, mengatakan, permasalahan tersebut disinyalir adalah tipikal kebijakan pemerintah yang didukung oleh oligarki batu bara, dan ditambah dengan investasi Tiongkok yang memang tidak menganggap penting pada aspek lingkungan dan masyarakat. Apalagi, masyarakat akan menanggung biaya yang melekat dari investasi PLTU ini dengan nilai yang begitu mahal seperti kesehatan dan lingkungan.

"Protes dan penolakan masyarakat atas pembangunan PLTU Batu Bara seperti di Teluk Sepang, juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Dari Nagan Raya di Aceh, hingga Celukan Bawang, Bali serta Panau, Sulawesi Tengah, hampir di semua proyek pembangunan PLTU ditolak karena sejarah dampak kerusakannya terhadap kesehatan dan lingkungan yang tidak terbantahkan lagi," katanya.

Menurutnya, apa yang kini tengah dibangun Presiden Jokowi, tidak lain adalah bangunan sistem yang hanya menopang kepentingan segelintir pengusaha dan politisi di dunia ekstraktif. Padahal, keinginan masyarakat untuk Indonesia beralih ke energi bersih terbarukan terus tumbuh dan menguat. Omnibus Law dengan undang-undang cipta lapangan kerja atau Cilaka adalah proyek besar kelompok ini.

"Gerakan penolakan energi kotor ini, menuntut presiden untuk menghentikan proyek-proyek PLTU batu bara di Indonesia, dan segera menyusun peta jalan transisi ke energi terbarukan," tuturnya.

Disisi lain, koordinator aksi pembentangan spanduk di Pantai Teluk Sepang, M. Frengki Wijaya mengatakan, aksi mereka tersebut ingin menyambut kedatangan Presiden RI, Joko Widodo. Sebab, sejauh ini, pemerintah terkait tidak sanggung menyelesaikan konflik yang ada di Bengkulu. "Sepertinya juga, pemerintah terkait ini tidak bisa berkaca dari Provinsi lain, mengenai dampak PLTU batu bara tersebut. Makanya kami melakukan aksi di pinggir pantai," ujar Frengki pada radarbengkuluonline.com, kemarin.

Walaupun aksi mereka sempat didatangi Polisi Air (Poliar), namun dalam aksi tersebut tetap aman dan kondusif. Maka dari itu, pihaknya berharap, penolakan ini bisa langsung sampai ke Presiden RI, bahwa PLTU akan membunuh fungsi ekologi laut, sebab, di Provinsi lain PLTU sudah menghancurkan pendapatan para nelayan.

"Kami menilai, bahwa pemerintah terkait yang mengklaim PLTU tidak meracuni kematian penyu, mungkin fikiran mereka kurang jauh. Tapi, kami Presiden tau, PLTU dapat merusak lingkungan, mulai dari penggerukan batu bara sampai ke pembakaran batu bara. Ditempat Provinsi lain sudah membuktikan itu, seharusnya di Bengkulu juga menolak kehadiran PLTU yang merusak lingkungan, apalagi itu perusahaan China," tegasnya. (ach)

Tags :
Kategori :

Terkait