radarbengkuluonline.com - JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional. MK juga menyatakan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sebagaimana diputuskan di Jakarta, Kamis (25/11).
Menanggapi hal tersebut Yusril menilai Pemerintahan Joko Widodo harus bekerja keras memperbaiki UU Cipta Kerja pascaputusan MK tersebut. "Jika dalam dua tahun undang-undang tersebut tidak diperbaiki, maka UU itu otomatis menjadi inkonstitusional secara permanen," ujar Yusril dalam keterangannya. Mantan Mensesneg ini juga mengingatkan, jika dalam dua tahun tidak diperbaiki, maka semua undang-undang yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja otomatis berlaku kembali. "Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum," ucapnya. Yusril juga memaparkan, MK dalam putusannya melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana terhadap UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. Kemudian, melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas, yang didasarkan atas UU Cipta Kerja selama undang-undang itu belum diperbaiki. Yusril menilai Putusan MK ini mempunyai dampak yang luas terhadap Pemerintahan Joko Widodo yang masa jabatannya lebih kurang tiga tahun lagi sampai 2024. "Kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan Pemerintah Presiden Joko Widodo sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu.Nah, tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," ucapnya. Yusril menilai pemerintah dapat menempuh dua cara mengatasi masalah yang ada. Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja. Kedua, pemerintah dapat segera membentuk kementerian legislasi nasional yang bertugas menata, melakukan sinkronisasi dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah. "Keberadaan kementerian baru ini sebenarnya sudah disepakati antara pemerintah dengan DPR pada akhir periode pertama Pemerintahan Joko Widodo." "Namun, hingga kini kesepakatan itu belum dilaksanakan, mungkin karena terbentur dengan pembatasan jumlah kementerian yang diatur dalam UU Kementerian Negara," tuturnya. Menurut Yusril, sesuai kesepakatan, sebelum kementerian tersebut terbentuk, maka tugas dan fungsinya dijalankan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Yusril mengaku sejak awal merasa UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru omnibus law di Amerika Serikat dan Kanada itu bermasalah. Pasalnya, Indonesia mempunyai UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya secara prosedur harus tunduk pada UU Nomor 12/2011. Selain itu, MK yang berwenang menguji material dan formal terhadap undang-undang, menggunakan UUD 45 sebagai batu uji ketika melakukan uji material. Sementara, jika melakukan uji formal, MK menggunakan UU Nomor 12/2011. "Sebab itu, ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya omnibus law diuji formal dengan UU No 12/2011, undang-undang tersebut bisa dirontokkan oleh MK." "MK akan memutus bahwa prosedur pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan undang-undang sebagaimana diatur oleh UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan," katanya. Yusril menyatakan dia tidak heran dan tidak kaget ketika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Dia bahkan menilai masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka Pemerintahan Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit. Karena itu, Yusril menyarankan Presiden Joko Widodo bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun. (gir/jpnn)Yusril: Masih Bagus MK Menyatakan UU Ciptaker Inkonstitusional
Jumat 26-11-2021,07:04 WIB
Editor : radar
Kategori :