radarbengkuluonline.com - KEPALA SMA itu akhirnya digugat. Bersama beberapa guru di situ. Gugatannya USD 100 juta. Sekitar Rp 1,4 triliun. Mereka dianggap lalai: membiarkan siswa lain membawa senjata ke sekolah. Lalu melakukan penembakan membabi buta. Empat siswa meninggal. Enam siswa lainnya luka-luka. Seorang guru ikut terluka. Yang menggugat: orang tua murid. Yakni pasangan Jeffrey dan Brandi Franz. Mereka adalah ayah bunda Riley, 17 tahun, dan Bella, 15 tahun. Riley tertembak di bagian leher. Bella selamat, tapi mengalami ketakutan yang luar biasa. Menurut penggugat, kejadian 30 November lalu itu seharusnya bisa dicegah. Sejak dua hari sebelumnya, Ethan Crumbley, 15 tahun, si pelaku penembakan, sudah menunjukkan gejala aneh. Kenapa tetap diizinkan masuk kelas. Kenapa tidak dilakukan penggeledahan tasnya. SILAHKAN BACA: Pemprov Bengkulu Tidak Melarang Rayakan Nataru Riley, si luka leher, siang itu ke toilet bersama Ethan. Bella keluar toilet lebih dulu. Saat itulah Ethan mengambil senjata –yang ia taruh di toilet sejak pagi. Riley ditembak di depan toilet itu. Terkapar. Hanya kena lehernya. Bella yang juga di dekat toilet lari. Selamat. Ethan mencari sasaran lain. Tapi kebanyakan siswa sudah masuk kelas. Begitu mendengar letusan senjata mereka menutup pintu. Menguncinya. Mengganjalkan meja di balik pintu. Semua siswa lantas bersembunyi di bawah meja –mempraktikkan apa yang telah dilatihkan. Ethan masih bisa menemukan 10 siswa lain. Yang masih di koridor. Juga seorang guru. Mereka itulah yang jadi sasaran tembak berikutnya. Alasan penggugat: Ethan sudah ditemukan berbuat begitu aneh. Sehari sebelumnya. Yakni mempraktikkan mengisi peluru sebuah senjata lewat HP-nya. Pihak sekolah memang memanggil Ethan, namun ia boleh kembali ke kelas. Pihak sekolah juga mengirim email ke James dan Jennifer, orang tua Ethan. Tapi tidak direspons. Dan pihak sekolah tidak mengambil langkah lebih lanjut. BACA JUGA: Bank Bengkulu Berbenah, Direktur-Komisaris Diganti
Jennifer sebenarnya membaca email yang dikirim pihak sekolah. Buktinya, setelah itu, Jennifer kirim teks ke anaknyi: Lol, I’m not mad at you. You have to learn not to get caught (Lol, saya tidak marah pada kamu. Kamu harus belajar untuk tidak ketahuan). Sang ibu begitu sayang pada Ethan. Dia justru mengajari agar anaknya jangan kepergok. Hanya itu. Tidak berusaha mencegah.
Itu, juga tecermin dari kata pertama di teks sang ibu: Lol. Yang artinya: lots of love. Itulah makna Lol yang asli. Meski belakangan Lol juga diartikan sebagai “laugh out loud”. Tawa yang keras. Melebihi sekadar aha, atau ha ha atau HA HA. Keesokan harinya, Ethan masih masuk sekolah seperti biasa. Membawa tas. Senjata semi otomatis ”9 mm Sig Sauer”, dimasukkan ke tas itu. Ethan langsung menuju toilet sekolah. Menaruh tas di situ.
Di kelas, Ethan corat-coret di mejanya. Menggambar: senjata, orang tergeletak, tumpahan darah dan beberapa kalimat. Termasuk “pikiran tidak berubah. Tolong”. Artinya: pikiran untuk menjadi penyebab kematian tidak berubah. Tapi kok masih ada kata ”tolong”. Apakah pada dasarnya ia ingin berubah pikiran? Yang jelas Ethan tidak belajar dari teks sang mama. Ia ketahuan lagi: menggambar semua tadi itu. Ethan dipanggil. Demikian juga orang tuanya. Jameslah yang datang ke sekolah.
BOLEH DIBACA DAHULU:
Ini Dia Orang Bengkulu Yang Tersangkut Namanya di Jalan (4)
Sambil menunggu kedatangan sang ayah Ethan minta izin menyelesaikan tugas sekolah. Inilah yang dianggap bahwa Ethan sebenarnya masih anak normal. Kesimpulan pemanggilan hari itu: Ethan harus dikonsultasikan ke ahli jiwa –dalam 48 jam ke depan. Selesai. Ethan boleh kembali ke kelas di situ. Di SMA Oxford, di distrik Oxford, Michigan, USA.
Tibalah waktu pergantian pelajaran siang. Ketika Ethan menggunakan waktu itu untuk ke toilet: mengambil senjata. Dan menembakkannya. Pihak sekolah beralasan: semua itu sudah sesuai dengan prosedur. Juga sudah sesuai dengan ilmu penanganan kasus serupa. Termasuk sudah sesuai dengan pelatihan yang didapat. Alasan itu tidak bisa diterima oleh penggugat. Harusnya, katanya, Ethan sudah dipulangkan. Sehingga kejadian berdarah itu bisa dihindarkan.
Memang pihak sekolah sudah minta James untuk membawa pulang sang anak. Tapi James tidak mau. Kok pihak sekolah tidak memaksa. Apalagi, sehari sebelum itu, ternyata Ethan sudah posting di medsos: “Saya adalah kematian, penghancur dunia. Sampai besok, Oxford”. Itu pula yang membuat orang tua Ethan ikut jadi tersangka. Senjata itu dibeli orang tua Ethan empat hari sebelumnya. Masih baru. Gres. Sebagai hadiah Natal bagi sang anak.
Sang ibu juga mengantar Ethan berlatih menembak. Di tempat pelatihan. Anak umur 15 tahun memang boleh memegang senjata api: hanya di lokasi latihan menembak. Mengapa nilai gugatan ini begitu tinggi? Bukankah si penggugat hanya luka di leher? Dan adiknya hanya kaget ketakutan?
Rupanya si penggugat jengkel: perjuangan membatasi kepemilikan senjata selalu gagal. Alasan keamanan selalu kalah. Gugatan ini diniatkan untuk menemukan alasan bisnis: dengan membayar sangat mahal mereka akan berhitung. Uang bisa jadi lebih penting dari nyawa: di negara kapitalis. (Sumeks.co)