Catatan Dahlan Iskan: Kongres Lahan

Kamis 16-12-2021,08:45 WIB
Reporter : radar
Editor : radar

radarbengkuluonline.com - SEBENARNYA marah nggak sih Presiden Jokowi ke Buya Anwar Abbas? Medsos merilis video yang beredar luas. Temanya: Presiden men-skak Buya Abbas sampai lima kali. Pidato Presiden hari itu dipotong-potong. Diambil bagian-bagian tertentu. Sebagai bukti skak pertama sampai skak kelima. Sebelum potongan-potongan skak itu, ditampilkan potongan sambutan Buya Abbas di acara tersebut –Kongres Ekonomi Umat Islam ke-2 pekan lalu.

Dari potongan itu kesannya kuat: Buya Abbas mengkritik keras pemerintah langsung di depan Presiden. Yakni soal penguasaan 59 persen tanah oleh hanya 1 persen warga negara. Saya pun menghubungi Buya Abbas kemarin. “Kalau saya kok tidak merasa Bapak Presiden marah kepada saya,” ujarnya. “Apakah mungkin karena saya orang Padang? Sehingga perasaan saya beda dengan orang Jawa?” tambahnya.

SILAHKAN BACA:

Ini Dia Orang Bengkulu Tersangkut Namanya di Jalan (9)

Kongres Ekonomi Umat Islam itu merupakan acara Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kongres pertama berlangsung tahun 2017. Hari itu, mestinya Dr Anwar Abbas tidak tampil memberi sambutan. Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar –yang juga Rais Aam PB-NU– yang akan berpidato. “Menjelang berangkat ke sana saya mendapat telepon dari sekjen MUI. Ia bilang ketua umum berhalangan hadir,” ujar Buya Abbas. “Saya, sebagai wakil ketua umum, harus menggantikan beliau,” tambahnya.

Buya sebenarnya lebih senang kalau berpidato tanpa teks. Karena di acara itu ada presiden ia harus membatasi diri. “Saya putuskan membuat teks pidato,” katanya. Tapi waktu untuk membuat teks tidak cukup. Tidak bisa juga dibuat di perjalanan. Sopirnya lagi sakit. Buya harus setir sendiri mobil Kijang Innova-nya.

MARI DIBACA:

Bupati BS Instruksikan Seluruh OPD Bantu Korban Semeru

Maka, setiba di tempat acara, Buya berhenti dulu di tempat parkir –di basemant Hotel Sultan dekat Semanggi, Jakarta. Ia membuat teks pidato di situ. Di HP-nya. Mesin mobil dibiarkan terus hidup agar AC tetap menyala.

Ia pun tidak perlu buka-buka data. Ia putuskan untuk mengemukakan soal keadilan ekonomi. Mumpung di depan pengambil kebijakan tertinggi. Ia ingat pertemuannya dengan Menteri Agraria Dr Sofyan Jalil. Ia pernah bertanya: berapa indeks tanah kita. Sang menteri, menurut Buya, menjawab jelas: 0,59. Itu berarti 1 persen warga negara menguasai tanah 59 persennya.

Menurut Buya, itu simbol ketidakadilan ekonomi yang sangat nyata. Sebagai doktor ekonomi Buya banyak membaca buku ekonomi. Termasuk yang ditulis ahli-ahli ekonomi dari Barat. Ia setuju dengan teori bahwa ekonomi itu tidak dikendalikan oleh politisi atau cendekiawan atau lainnya. Ekonomi itu dikendalikan oleh yang menguasai ekonomi.

Buya lahir di Guguak 8 Koto, tidak jauh di timur Bukittinggi. Sampai SMA masih di sana. Lalu kuliah di IAIN Ciputat, Jakarta –kini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Lalu ambil S-2 manajemen. Ambil lagi S-2 ekonomi Syariah di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Buya balik ke UIN untuk mengambil S-3 bidang pemikiran Islam.

Pas giliran Presiden Jokowi memberi sambutan terjadilah yang tidak biasa –meski pernah juga seperti itu. Presiden mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah dibuatkan teks pidato. “Ini…”, katanya sambil mengacungkan kertas teks itu. Tapi ia memutuskan untuk berbicara tanpa teks.

BACA JUGA:

Optimis, Capaian Vaksinasi di Benteng Lebihi Target

Presiden langsung merespons apa yang dikemukakan Buya Abbas. Bahwa terjadinya penguasaan tanah seperti itu bukan ia yang tanda tangan. Maksudnya, itu terjadi sejak sebelum masa jabatannya sebagai presiden pengganti Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden menegaskan justru ia akan menertibkannya. Ia akan mencabut izin-izin penguasaan lahan besar yang tidak sesuai dengan aturan. Tanah yang diambil kembali oleh negara itu akan dibagikan kepada siapa pun. Yang mengajukan proposal yang baik. Termasuk kepada Anwar Abbas kalau ia mau mengajukan proposal dimaksud.

Gaya dan mimik Presiden –saat berpidato itu– memang serius. Tidak salah kalau ada yang menafsirkan Presiden lagi marah. Tapi memang belum tentu marahnya pada Anwar Abbas. Bisa kepada siapa saja.

Yang jelas presiden hari itu mendapat panggung yang tepat untuk menjelaskan semua itu. Harusnya presiden berterima kasih mendapat umpan yang cantik. Bukankah apa yang dikemukakan Buya itu sudah jadi isu nasional? Yang memang harus diklarifikasi? Kapan lagi presiden dapat waktu menjelaskannya secara tepat dan luas selain di situ? “Saya sama sekali tidak merasa presiden marah kepada saya,” ujar Buya.

PERLU DIBACA:

Walikota Helmi Hasan Penuhi Undangan Tim Juri dan Ikuti Rangkaian di PWI Pusat

Ia menunjukkan dua kejadian setelah pidato itu. Yakni ketika ia minta presiden mau berfoto bersama pimpinan MUI. “Suasananya enak sekali,” katanya. Demikian juga ketika acara selesai. Presiden sudah meninggalkan tempat. Sudah menuju mobil. Waktu itu Buya tidak ikut mengantar. “Sudah terlalu banyak yang ingin mengantar,” katanya. Buya pilih duduk lagi di ruang acara.

Sesaat kemudian seorang ajudan presiden mendatanginya. Presiden ingin bertemu Buya Abbas. Maka, setengah berlari, Buya mendatangi presiden yang sudah berdiri di samping mobil kepresidenan. Di situ presiden mengulangi lagi apa yang disampaikan di podium. Agar umat Islam mengajukan proposal untuk mendapat lahan 40.000 sampai 50.000 hektare. Buya mengiyakan permintaan Presiden. Lalu mereka siap-siap berfoto bersama. Bertiga. Posisi Buya di tengah. Presiden di kanan. Menteri agama di kiri.

Saat itulah Menteri Agama minta agar posisi untuk foto diubah: Presiden yang harus di tengah. Tokoh sentral ya adalah presiden. Tapi Presiden tidak mau berubah posisi. Saya yang tetap di tengah. “Presiden sendiri yang menghendaki agar posisi saya tetap di tengah,” ujar Buya. Buya pun kagum dengan sikap Presiden seperti itu. “Peristiwa itu benar-benar menunjukkan kerendahan hati Bapak Presiden,” kata Buya.

Buya mengharapkan agar pengusaha dari kalangan Islam menyambut baik tawaran presiden itu. “Sudah ditawari presiden sampai seperti itu. Jangan sampai tidak ada yang mengajukan,” pintanya.

Buya, 65 tahun, adalah pensiunan pegawai negeri. Ia dosen di UIN Jakarta. Awalnya saya memanggilnya profesor. Beliau menolak. “Saya bukan profesor. Tahun 1999 pangkat saya memang sudah 4A. Tapi ketika pensiun di tahun 2020 pangkat saya tetap 4A,” katanya.

Waktu remaja Buya pernah menanam singkong. Di tanah orang tua di atas bukit. Luasnya sekitar 1.000 meter. Gagal. Menjelang panen singkong itu dicuri orang. Letak kebun itu memang jauh dari rumah: sekitar 1 Km. Setelah ditelusuri yang mencuri adalah orang yang dikenal baik oleh Buya-kecil. Ia ternyata masih punya utang ke ibunya. Berarti orangnya miskin sekali. Akhirnya dibiarkan saja dicuri.

Buya sudah menulis dua buku: yang satu, hasil disertasi doktornya tentang pemikiran ekonomi Wapres Bung Hatta. Yang kedua, tentang pemikiran Wapres Ma’ruf Amin. Menjelang pencalonan menjadi wapres. Judulnya: Ma’ruf Amin Way. Isinya: sorotan terhadap kegagalan teori menetes ke bawah (teori Trickle-Down Effect).

Meski tokoh Muhammadiyah ternyata Buya menulis buku tentang tokoh NU. Begitu dekat hubungan keduanya. “Lho waktu Kiai Ma’ruf jadi Ketua Umum MUI, kan saya yang jadi sekjen,” katanya.

“Tapi sejak beliau jadi wapres saya belum pernah bertemu,” katanya. Itu sudah watak Anwar. Tidak mau dekat dengan orang yang lagi punya kedudukan tinggi. Pun ketika orang itu teman dekatnya. “Waktu Pak Amien Rais jadi ketua MPR saya tidak pernah ke rumahnya,” katanya. Tidak mau masuk politik? “Orang seperti saya tidak cocok di politik. Yang kalau sedekah pun tidak bisa ikhlas,” katanya.

Seminggu sebelum Kongres, beredar kabar di medsos. Akan ada tokoh Islam yang ditangkap terkait terorisme. Inisial tokoh itu AA. “Pasti akan banyak yang terkejut nanti,” tulis medsos itu.

“Pernah mendengar kabar akan ditangkap?” tanya saya.

“Pernah, lucu sekali,” katanya.

Apakah Buya akan mengajukan proposal untuk mendapat lahan itu? Seperti yang secara serius disampaikan Presiden?

“Saya tidak mungkin. Saya ini tidak punya uang,” katanya. (Sumeks.co)

Tags :
Kategori :

Terkait