radarbengkuluonline.com - “Pendeta Reno, Met Natal ya…, Tuhan memberkati.” Itu saya kirim ke pendeta Kristen yang sudah lama saya kenal: Reno de Topeng. Tepat di Hari Natal minggu lalu. Ucapan seperti itu selalu saya tulis sendiri. Meski hanya beberapa kata. Saya tidak pernah mengucapkan Natal lewat copy-an. Demikian juga ucapan selamat Idul Fitri. Pun bila sampai ratusan jumlahnya.
Pendeta Reno membalas dengan ucapan terima kasih. Disertai foto bersama. Saya pikir itu foto keluarga. Setelah saya perhatikan ternyata foto bersama Anies Baswedan. “Foto di mana itu?” tanya saya. “Saya lagi berupaya mengabadikan joglo kuno Tegalsari. Ternyata ada di sini,” jawabnya. Reno memang penggemar benda budaya. Koleksi topengnya sangat kaya. Termasuk topeng kuno peninggalan 1.000 tahun sebelum Masehi. Reno punya lebih 1.500 topeng. Yang paling muda berumur 60 tahun. Setelah itu Reno mengirim puluhan WA susulan. Juga puluhan foto yang terkait dengan joglo di rumah Anies –yang berumur hampir 500 tahun itu. Tentu saja saya pernah ke Tegalsari, di selatan Ponorogo. Keluarga saya selalu bercerita tentang Tegalsari –terutama tentang kehebatan Kiai Kasan Besari. Di Jawa, kata Arab ”Hasan” –yang harus diucapkan sebagai huruf ”hak” yang berat– menjadi Kasan yang bisa diucapkan dengan ringan. Buyut saya, yang secara Arab harusnya dipanggil Hasan Ulama (sungguh sulit mengucapkan `u itu bagi lidah Jawa), menjadi Kasan Ngulomo. Belakangan baru ditulis Hasan Ulama. “Saya akan membuat film dokumenter tentang joglo itu,” ujar pendeta Reno. Ia bertemu Anies sebagai bagian dari risetnya. Joglo itu memang sudah NYARIS jadi meja atau kursi –harus ditulis dengan huruf besar. Rumah joglo itu sudah dibongkar –karena sudah mau roboh. Sudah lebih 30 tahun tidak dihuni. Setelah dibongkar, kayu-kayunya ditumpuk: lama jadi tumpukan kayu yang nyaris dilupakan. Semua kayu jati tua. Keturunan Kasan Besari di Tegalsari menunggu saja: siapa tahu ada yang membeli –tanpa dipasar-pasarkan. Pikiran pemiliknya: siapa tahu masih bisa dipotong-potong. Lalu bisa dijadikan bahan untuk meja atau kursi. Tentu bagian-bagian tertentu dari kayu itu sudah keropos. Atau hilang. Akhirnya datanglah orang bernama Danang. Anak muda dari Yogyakarta. Ia pemerhati joglo-joglo tua. Ia beli onggokan kayu itu. Itu tahun 2009. Danang pun memeriksa kayu-kayu itu. Matanya nanar ketika melihat ada kayu yang sangat panjang: 11 meter. Ia periksa: apakah itu kayu utuh atau panjang karena disambung. Tidak. Kayu itu utuh, tanpa sambungan. Kesimpulan sementara Danang: pohon yang ditebang dulu pastilah pohon yang sudah tua. Kecurigaan lain muncul: apakah ada banyak lubang di lonjoran kayu panjang itu. Danang meneliti lebih cermat: benar. Banyak sekali lubangnya. Lubang buatan manusia. Danang masih penasaran: ada berapa lonjor kayu panjang seperti itu. “Harusnya ada empat,” katanya dalam hati. Kalau jumlah itu benar, cocok sekali dengan ilmu yang ia pelajari selama ini: ada joglo biasa, ada joglo khusus, ada juga joglo yang sangat istimewa. Kalau kayu panjang berlubang banyak itu ada empat, berarti ini bekas rumah joglo yang istimewa. Maka mulailah tumpukan kayu itu diperiksa: benar, ada empat. Empat lonjor kayu itu disisihkan untuk diperiksa lebih mendalam. “Inilah kayu yang fungsinya untuk blandar gantung,” ujar Danang. Lubang-lubang tadi sengaja dibuat untuk mengaitkan kayu ini dengan bagian-bagian lain konstruksi joglo. Periksalah rumah Anda. Pun yang bukan joglo. Blandar, pada umumnya, harus ditopang oleh tiang. Pun seandainya blandar itu terbuat dari cor beton –seperti blandar zaman sekarang. Blandar itu harus kuat. Blandar berfungsi sebagai penyangga apa pun di atasnya: usuk, reng dan –terutama genteng, jemuran baju, dan mungkin juga solar cell. Bayangkan istemewanya joglo Tegalsari ini: blandarnya yang begitu panjang tidak ditopang oleh tiang satu pun. Padahal ada empat blandar yang membentuk segi empat. “Ini pasti joglo yang ada kaitannya dengan raja Solo,” ujar Danang dalam hati. Ini bukan joglo biasa. Ia pun semakin seru melakukan penelitian: apa hubungan Tegalsari yang begitu pelosok di Ponorogo dengan raja Solo. Misteri besar. Misteri panjang. Pun sampai seorang Gus Dur –keturunan Kasan Besari– menyimpulkan Tegalsari adalah cikal bakal lahirnya istilah pondok, mondok, yang kini jadi pondok pesantren. Gus Dur sering ke Tegalsari. Tentu. Pun selama menjabat presiden keempat Indonesia. Pangeran Diponegoro lulusan Tegalsari. Sastrawan besar pujangga Ronggowarsito alumnus Tegalsari. Kiai Kasan Besari adalah guru besar mereka. Aneh. Beliau bukan wali. Tidak pernah mendapat gelar wali. Tapi barangkali beliau adalah walinya para wali. Atau bukan. Beda konsep. Semua wali ada di pesisir pantai. Kasan Besari di pedalaman. Dari ”hasan” menjadi ”kasan” saja sudah terlihat jelas: Kasan Besari lebih Jawa. Bukan Habib. Aliran tarekatnya pun sangat dekat dengan kejawen: Syatariyah. Beliau adalah mursyid –dianggap sebagai wasilah nabi– di tarekat itu. Kasan Besari hidup di tahun 1700-an. Yakni pada masa kerajaan Solo diperintah oleh Pakubuwono II. Terjadilah pemberontakan di Keraton Solo. Pakubuwono II digulingkan dari takhta. Sang raja menyingkir ke Ponorogo. Untuk minta perlindungan ke kiai terkemuka di Tegalsari. Nama Kasan Besari telah besar –populer sangat sakti, pun sampai di telinga Solo. Kasan Besari menampung dan melindungi sang raja. Anda pun kini bisa menghubungkan sendiri mengapa ada joglo khusus nun di Tegalsari. Tapi tidak sesederhana itu. Lebih dari itu. Selama di Tegalsari itulah Pakubuwono menyusun kekuatan. Untuk kembali merebut kekuasaan di Solo. Berhasil. Pakubuwono kembali berkuasa di Solo. Para pengikut Kasan Besari-lah yang membantu Pakubuwono. Sang raja tahu balas budi. Pakubuwono menganugerahkan jabatan bupati ke kiai Kasan Besari: ditolak. Masih ada dua kehormatan lagi yang diberikan ke Kiai Kasan Besari. Dua-duanya diterima. Pertama, Pakubuwono II memberikan tanah perdikan di Tegalsari. Melebihi hak milik. Tidak perlu membayar pajak. Kedua, putri Pakubuwono II, diserahkan ke kiai untuk dijadikan istri. Joglo itu adalah hadiah perkawinan putrinya tersebut. Setelah itu banyak perubahan terjadi. Setelah Pakubuwono pulang dari Tegalsari, Keraton Solo tidak lagi mengundang guru. Kebiasaan lama dihapus. Selama itu para pangeran dan putri dididik di dalam keraton. Yakni di keputran (bagi laki-laki) dan di keputren (bagi yang wanita). Guru, ustad, dan pendekar didatangkan ke keraton untuk mengajar. Sejak berkuasa kembali itu, Pakubuwono II memilih mengirim para pangeran ke Tegalsari. Belajar di sana. Tinggal di sana. Termasuk pelajaran bela diri –seperti pencak silat. Mereka mondok –tidak pulang pergi. Maka praktik belajar di Tegalsari pun ikut berubah. Selama itu yang belajar di sana hanyalah anak-anak dari kampung setempat. Selesai pelajaran mereka pulang ke rumah masing-masing. Tidak perlu mondok. Sejak para pangeran Solo mondok di Tegalsari, mulailah ada pondok. Tempat mondok. Kian terkenal. Tidak lagi hanya pangeran dari Solo, tapi juga dari Yogya. Bahkan juga anak-anak bangsawan lain dari luar keraton. Gus Miftah –kiai muda yang bulan lalu mengajak Nikita Mirzani ke pondok Bina Insan Mulia Cirebon– adalah keturunan langsung Kasan Besari Tegalsari. Mengapa di akhir perang Diponegoro banyak pengikut utamanya melarikan diri ke sekitar Ponorogo? Tentu terkait dengan Tegalsari. Mereka sudah mengenal ada pondok hebat yang akan melindungi mereka. Apalagi Pangeran Diponegoro alumni Tegalsari. Sang pangeran dan pengikutnya, umumnya satu aliran: tarekat yang diajarkan Kasan Besari. Pertanyaan yang belum terjawab adalah: apakah joglo Tegalsari itu rumah yang baru dibangun. Atau rumah lama di Solo yang dibongkar, dipindah ke Tegalsari. Yang jelas, tidak ada joglo di mana pun yang konstruksinya menggunakan blandar gantung. Kecuali dari dan atas seizin Keraton Surakarta. “Pak Dahlan harus ke rumah Pak Anies. Harus lihat sendiri. Itu jenis joglo seperti apa,” ujar Reno de Topeng yang tinggal di Surabaya. Saya mengenal Reno bukan saja sebagai aktivis gereja, juga sebagai salah satu pemuka masyarakat Tionghoa di Surabaya. Saya tidak pernah tahu nama aslinya. Tapi untuk kepentingan tulisan ini saya harus bertanya. “Pak Reno bermarga apa?” “Marga saya Halsamer,” jawabnya. “Mana ada marga Tionghoa Halsamer…” tukas saya. “Saya ini Jawa Belanda,” jawabnya. “Kakek saya Belanda, nenek saya Jawa,” tambahnya. “Kok selama ini saya mengenal Anda sebagai Tionghoa?” “Saya ada juga keturunan Tionghoa. Ayah saya Tionghoa asli Tiongkok. Tidak mau jadi WNI. Tetap memilih sebagai WNA. Sehingga saya ikut marga ibu,” kata Reno Halsamer. Untuk menelusuri joglo Tegalsari itulah Reno harus bertemu Anies Baswedan. Harus ke rumah Anies di Jakarta. Joglo itu telah menjadi rumah Anies. Sejak tahun 2012. Pekan lalu Reno ke Jakarta. Bersama keluarga dari Tegalsari. Ia mengambil foto, video, dan membaca dokumen-dokumen joglo itu. “Waktu kecil saya tidur di joglo ini,” ujar anggota rombongan Reno dari Tegalsari. Reno juga ngobrol panjang dengan Anies Baswedan. Berfoto bersama –sebagian dikirim ke saya. “Pak Dahlan harus ke sana,” tulisnya di WA. “Punya alamatnya?” tanya saya. “Nanti saya carikan. Rumahnya masuk gang sempit. Hanya cukup untuk satu mobil,” katanya. “Kalau ada mobil dari arah lawan, salah satu harus kembali mundur,” tambahnya. “Ini kok gubernur rumahnya di dalam gang sempit,” ujar pendeta itu. Saya pun diam-diam ingin ke joglo itu. Tapi tidak bisa siang hari. Hari itu saya banyak rapat. Sejak jam 6 pagi. Siangnya ada rapat CIMA. Saya baru saja diminta jadi chairman asosiasi management China Indonesia. Yakni untuk menggantikan Arief Harsono, yang Anda sudah tahu: pemilik PT Samator –produsen oksigen terbesar di Indonesia. Arief meninggal karena kekurangan oksigen enam bulan lalu. Akibat Covid-19. Sorenya saya masih ada janji bertemu KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Jam 17.00-an baru bisa merdeka. Untuk bertemu Jenderal Dudung, saya harus datang agak awal. Baru sekali ini saya ke Mabes Angkatan Darat. Kalau ke Mabes TNI-AU dan TNI-AL pernah –secara tidak langsung. Yakni ketika saya beberapa kali ke Mabes TNI di Cilangkap. Hanya Mabes TNI-AD yang tidak di Cilangkap. Saya suka dengan penataan ruang KSAD ini. Termasuk penempatan empat bintang besar menggantung di antara meja tamu dengan meja kerja. Saya juga terkesan dengan penataan bendera-bendera pataka di sepanjang koridor menuju ruang kerja KSAD. Di situ saya berpapasan dengan seorang habib yang saya kenal. Kami sama-sama kaget. Tidak menyangka bertemu di situ –ia yang tidak menyangka. Saya sudah tahu beliau: habib itu dekat sekali dengan Jenderal Dudung. Sangat dekat. Namanya: Habib Husin Baagil –keponakan Habib Jamal Baagil dari pesantren di Batu, Malang. Kami pun saling pandang. Lama. Kok ketemu di situ –setelah lama tidak berjumpa. “Bib, di mana ya kita ketemu terakhir?” tanya saya. Ia berpikir agak lama. “Di Surabaya. Di acara besar Maulid Nabi. Di Surabaya Bersholawat. Yang dihadiri Habib Riziq,” jawabnya. Itu tahun 2014. Keluar dari Mabes TNI-AD, saya baru berani menghubungi Anies Baswedan. Sudah pasti bisa ke sana. Acara-acara terpenting hari itu sudah selesai. Saya pun kirim WA. “Pak Gubernur, saya ingin melihat Joglo Tegalsari. Malam ini. Baru bisa berangkat dari Grand Hyatt setelah magrib,” tulis saya di WA. “Tidak harus ada Pak Gub. Yang penting ada tour guide yang bisa menjelaskan,” kata saya lagi. Tentu saya harus memaklumi kesibukan seorang gubernur Jakarta. Yang harus bekerja sampai malam –pun begitu ketika saya menjadi sesuatu dulu. Bagi saya, ke rumah Anies tanpa tuan rumah pun tidak masalah. Ini kan mendadak. Tanpa bikin janji pula. Dan lagi ini bukan urusan yang penting dan mendesak. Pokoknya saya akan ke joglo itu –ada atau tidak ada tuan rumahnya. Saya pun harus tahu. Anda juga sudah tahu: pada jam habis magrib seperti itu lalu-lintas dari Jalan Thamrin ke Lebak Bulus sangat berat. Jakarta sudah kembali padat –pertanda pada umumnya orang tidak lagi takut Covid-19. Rendahnya angka Covid di Indonesia memang sangat mengagumkan. Nama pemerintah harum sekali di penanganan pandemi ini. Lalu-lintas memang benar-benar padat. Maka benar: jangan bikin janji dengan orang penting pada jam seperti itu. Saya tidak bikin janji. Saya hanya memberi tahu. Pun sebelum ada jawaban dari Anies: saya berangkat menuju joglo itu. Lewat Wolter Mongisidi. Lalu depan RS Fatmawati. Lalu-lintas benar-benar berat. Di tengah perjalanan, tiba-tiba layar HP menyala. “Jangan-jangan kita tiba di joglo pada waktu yang sama”. Anies Baswedan yang mengirim WA itu. “Saya juga dari arah Ancol,” tambahnya. Oh, rupanya hari itu ia tidak pulang larut malam. Sampai di Jalan Fatmawati hari sudah benar-benar gelap. Saya baru sekali ini lewat depan RSUP Fatmawati di malam hari. Ampuuuuun. Dari luar, rumah sakit milik Kemenkes itu seperti berduka: sangat tidak cukup cahaya. Entah karena lampunya yang sangat minim atau memang lagi diadakan penghematan. Sampai di ujung Jalan Fatmawati, Google masih minta saya terus ke arah sana. Lalu ada gang sempit. Kami harus belok kanan memasuki gang itu. “Oh… Inilah gang sempit yang dimaksud Pendeta Reno de Topeng,” kata saya dalam hati. Ternyata tidak terlalu sempit. Mobil masih bisa berpapasan –asal yang satu mengalah, melambat. Tapi gang ini kok panjang sekali. Berkelok-kelok pula. Bukankah Reno mengatakan gang sempit itu hanya sekitar 200 meter? Ternyata ini memang bukan gang yang dimaksud. Masih akan ada gang yang lebih sempit lagi: Lebak Bulus II Dalam. Saya pun sampai di mulut gang itu: hahaha…benar. Sempit sekali. Benar-benar pas untuk satu mobil. Pun dengan sepeda motor, tidak bisa berpapasan. Anies membeli lokasi ini tahun 2009. Berarti hampir bersamaan dengan teman satu bangkunya membeli tumpukan kayu di Tegalsari. Rumah Anies itu mulai dibangun tahun 2012. Selesai 2014. Sebelum pindah ke gang ini Anies tinggal di rumah kontrakan. Bertahun-tahun. Sejak pulang dari sekolah di Amerika –delapan tahun di Maryland dan Chicago. Ia masih ingat betul: hari itu adalah Jumat Agung. Hari besar Kristen. Libur. Karena itu ia bisa salat Jumat di dekat rumah kontrakan –biasanya salat Jumat selalu di dekat kantornya di Jakarta Pusat. Selesai salat Jumat, Anies ngobrol dulu di teras masjid. Secara iseng ia bertanya: apakah di dekat sini ada tanah kosong dijual. Ia tahu diri: hanya mampu membeli tanah di daerah kampung seperti itu. Ia memang sudah bergelar doktor dan sudah menjadi rektor. Tapi itu di Universitas Paramadina –yang tidak punya misi bisnis yang didirikan cendekiawan muslim liberal Prof Dr Nurcholish Madjid.Catatan Dahlan Iskan: Sawo Tegalsari
Minggu 02-01-2022,08:05 WIB
Editor : radar
Kategori :