Dialog Ibrahim bersama Ismail bukanlah dialog basa-basi tanpa makna. Dialog tersebut adalah jembatan yang menghubungkan hati seorang ayah dengan anaknya hingga bertemu dalam sebuah titik yang bernama cinta.
Bukan cinta yang semu, melainkan cinta yang hakiki. Cinta itulah yang pada akhirnya menumbuhkan rasa saling percaya antar keduanya.
Kepercayaan Ismail kepada ayahnya tersebutlah yang akhirnya melahirkan sebuah jawaban yang mengagumkan.
“Wahai ayahku,” ucap Ismail seketika setelah mendengar cerita ayahnya.
“Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. In shaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar,” jawab Ismail dengan penuh keteguhan hati.
BACA JUGA:Ini Dia Cara Membuat Nasi Liwet Ayam
Dialog yang sangat mengharukan tersebut pada akhirnya Allah abadikan dalam Al Quran surat As-Shaffat ayat 102.
Melalui proses dialog Ibrahim dan Ismail menemukan hakikat sejati dari sebuah ikatan keluarga, ikatan batin antara ayah dan anak. Setiap kata yang terucap dari bibir mereka menjadi kesempatan untuk menguatkan cinta di antara mereka.
Setelah melalui proses dialog tersebut mereka merasa tenang dan merasa tidak sendirian dalam menghadapi ujian, melainkan menyatu dalam keyakinan pada kehendak Allah.
Dalam konteks ketahanan keluarga, apa yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail adalah implementasi dari salah satu komponen ketahanan keluarga: ketahanan sosial.
Ketahanan keluarga sendiri merupakan kemampuan untuk bertahan atau beradaptasi terhadap berbagai kondisi yang senantiasa berubah secara dinamis serta memiliki sikap positif terhadap berbagai tantangan kehidupan keluarga (Wals, 1996).
BACA JUGA:Heboh, Masyarakat Temukan Harta Karun Tertimbun Pasir, Ini Lokasinya, Banyaknya Segini