''Enahlah,Baginda,'' sahut Abunawas ogah-ogahan.''Yang jelas , sejak zaman dulu kala orang-orang tua kita kalau masuk angin ya.. dikerokin punggungya!''
''Mungkin angin masuk melalui pori-pori, ya?'' cetus Baginda lagi.
''Ya, mungkin saja. Baginda sudah tahu, gitu,lho! Masa masih tanya lagi!''
''Tapi kalau semua pori-pori ditutup, apa angin masih bisa masuk? Misalnya , badan ditutup baju atau mantel, kaki ditutup celana, telapak kaki ditutup kaus kaki, telapak tangan ditutup kaus tangan, kepala ditutup topi, muka ditutup cadar... apa angin masih bisa masuk?''
''Hamba kurang paham. Tanya tabib atau dokter saja. Mereka lebih tahu.''
Sengaja Abunawas menjawab pendek-pendek. Karena, kalau menjawab panjang lebar, Baginda pasti makin menjadi. Dan kerokan maupun pijatan bakal semakin lama.
''Abu, kau belum jawab pertanyaanku,'' lagi-lagi terdengar celotehan Baginda.
''Mengapa kalau orang masuk angin, yang dikeroki punggungnya? Bukan mulutnya atau hidungnya?''
''Kan sudah hamba bilang, kalau hamba kurang paham. Tanya tabib atau dokter saja. Mereka lebih tahu.''
''Tumben kau jadi bloon. Biasanya kau pintar dan cerdas...''
Panas hati Abunawas dikatakan seperti itu. Dia tidak menjawab bukan karena tidak tahu. Tapi dia sengaja berbuat begitu agar Baginda segera menyuruhnya berhenti mengeroki dan memijat. Kalau ditanggapi lama-lama, Baginda semakin keenakan dikeroki dan dipijat.
''Kalau hamba tahu, apa hadiahnya?''tantang Abunawas menangggapi Baginda.