“Kaba pegilah keghuma Rajau, dapat galau kekendaan kaba kelau. Keruan dengan aku kaba tu dang tekedan,” lanjut Burung Putih.
Dalam perjalanan pulang, Sang Piatu memukul kelintang yang diberikan Burung Putih kepadaanya. Dilihatnya dari kejauhan Nenek menari -nari di depan gubuk mereka.
“Uy nik, alang keriang dighi ni,” ujar Sang Piatu saat sudah sampai di depan gubuk sambil terus membunyikan kelintang.
“Uy cung, gheghadulah kaba nabuh titu. Aku ni ndik tau gheghadu,” teriak Nenek sambil terus menari tarian andun mengikuti irama ketukan kelintang Sang Piatu.
“Yak, gheghadu nik amau ndak gheghadu,” ujar Sang Piatu sambil tertawa.
“Uy, nidau pacak gheghadu tini. Aku ni lah tekemih- kemih,” ujar sang Nenek frustasi sampai tubuhnya tak mampu lagi menari dan terduduk, namun tangannya terus melenggang dengan ayu.
Akhirnya Sang Piatu berhenti memukul kelintang itu.
“Nduk alang ke padu titu cung. Satu tedengagh titu, nidau tau agi gheghadu. Jangan agi cung kaba tabuh titu,” ujar sang Nenek.
“Yak, ngenian nik?” ujar Sang Piatu sambil terus tertawa. Lalu memukul kelintang itu lagi.
“Uy, jangan nian agi cung. Mintak maap nian.”
Sang Piatu tertawa terpingkal -pingkal melihat Neneknya menari andun dengan muka yang terlihat tersiksa.