“Amau kaba gheghadu nabuh titu Sang Piatu, cincin kaba ku balikkah. Anjing kaba ku balikkah. Kaba nukar aku jadi Rajau,” Raja memberi tawaran sambil terus menginjit injitkan kakinya menari andun. Namun sang piatu masih tidak mempedulikannya.
“Ay nidau ay, tuapau diyau titu,” ejek Sang Piatu sambil tertawa. Ia terus memukul-mukul kelintang. Kaki orang- orang yang menari di sana sudah melemas. Tangan mereka pun mulai terasa pegal.
“Pukuk au amau kaba gheghadu nabuh titu, cincin kaba ku balikkah, anjing kaba ku balikkah, kaba nukar aku jadi Rajau, beteri ke kutikahkah dengan kaba,” Raja masih bersikeras merayu Sang Piatu dengan penawaran penawarannya.
“Luk apau Rajau pembuung apau ndik?” Sang Piatu memastikan.
“Uy nidau, ngenian aku tu gheghadu kelah nabuh titu,” Sang Piatu pun berhenti memukul kelintang miliknya. Raja bernafas lega. Tubuhnya sudah terasa lemas karena menari terlalu lama.
Orang orang yang berada di sekitar istana di kumpulkan oleh Raja.
“Mulai saghini Sang Piatu ni lah betunang dengan beteri bungsu. Diau kenggatikah aku jadi Rajau,” ujar Raja
membuat pengumuman.
Raja memberikan cincin dan anjing Sang Piatu dan Sang Piatu pun pamit pulang ke gubuknya untuk mengajak Nenek tinggal bersamanya di istana.
Setelah sampai di istana, Raja mengundang semua rakyatnya untuk mengukuhkan Sang Piatu menjadi Raja di ke Rajaan kecil itu dan menggelar pesta pernikahan Sang Piatu dengan Putri Bungsu.(*)
BIONARASI PENULIS