Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis
Kasus Dhandy Alarm Besar Soal Tweet di Medsos
RBO, BENGKULU - Para jurnalis Bengkulu yang tergabung dalam berbagai organisasi "kuli tinta" di Bengkulu, menggelar aksi diam di seputaran Tugu Thomas Parr, Bengkulu, pada Sabtu (28/9) siang.
Aksi diam dengan mulut tertutup dengan menggunakan lakban warna hitam dan masker, sambil memajangkan berbagai poster bertuliskan tolak kekerasan terhadap profesi jurnalis.
“Ini respon dari AJI bersama puluhan jurnalis lainnya terhadap dugaan kekerasan jurnalis. Dalam sepekan ini kami mencatat ada 14 jurnalis di berbagai daerah di Indonesia terkena dugaan kekerasan oleh aparat saat meliput aksi mahasiswa dan sebagainya. Bahkan beberapa waktu lalu Majelis Pertimbangan AJI juga ikut ditangkap aparat kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka, serta ada satu lagi anggota AJI yang juga ditangkap, karena diduga dituduh membantu aksi mahasiswa,” ungkap Ketua AJI Bengkulu Harry Siswoyo, disela-sela aksi, kemarin (28/9).
Dikatakan, adanya berbagai kejadian yang menimpa jurnalis tersebut merupakan alarm besar bahwa dengan kasus Dhandy, juga bisa dijadikan mencontoh yang hanya mentweet di media sosial dan langsung berhubungan dengan aparat kepolisian.
“Adanya kejadian itu bukan tidak mungkin jurnalis ataupun siapa saja ketika aktif di media sosial akan terkena kasus serupa. Belum lagi RUU KUHP juga disinyalir menjadi ancaman potensial demokrasi di negeri ini, dan AJI mengutuk keras bentuk kekerasan terhadap jurnalis yang diduga dilakukan oknum aparat ataupun siapapun. Apalagi dalam tugas seorang jurnalis dilindungi Undang Undang Pers, sehingga berhak meliput, mencari informasi dan sebagainya. Jika ada yang melarang agar dikenakan pidana,” kata Harry.
Selain itu ia mengharapkan, RUU KUHP agar tidak dulu disahkan. Karena dinilai masih jadul, sehingga masih perlu dilakukan revisi. Tapi sejumlah hal yang tertuang dalam pasal diduga mengancam demokrasi, pihaknya dengan terang menolaknya.
“Sejumlah pasal-pasal itu bisa membahayakan bagi kita (jurnalis,red) dan siapa saja bersentuhan dengan update status di media sosial, bisa terjerat hukum. Padahal tidak semua status yang dibuat di media sosial itu opini, tapi bisa jadi kebenaran dan fakta,” ucapnya.
Lebih jauh ditambahkan, pihaknya juga bersepakat ujaran kebencian yang mengandung SARA, fitnah dan hoaks adalah musuh bersama dan layak mendapatkan penanganan hukum. Tetapi sesuatu yang berisi kebenaran dapat dibuktikan kebenarannya, fakta, tidak menjadi masuk dalam kategori ujaran kebencian.
Oleh karena itu AJI Bengkulu juga meminta, mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi di berbagai daerah.
Lalu mendesak kepolisian menghentikan segala bentuk represi yang mengancam kerja jurnalis, serta mendukung kebebasan berpendapat dan berkekspresi yang dilakukan masyarakat.
Kemudian menuntut kepolisian melucuti senjata para anggotanya yang bertugas menghalau massa, dan menghentikan semua upaya sweeping kepada peserta aksi maupun jurnalis yang sedang bertugas.
“Selanjutnya kita menuntut kepolisian menghentikan penangkapan-penangkapan aktivis yang melakukan kritik dan menyuarakan kepentingan public, serta tuntaskan reformasi di tubuh Polri. Di samping itu mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat sedang meliput, sekaligus mengimbau perusahaan media untuk memberikan alat pelindung diri kepada jurnalis mereka yang meliput aksi massa yang berpotensi terjadi kericuhan. Terakhir, mendesak Dewan Pers membentuk Satgas Anti Kekerasan guna menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi sepanjang aksi penolakan RKUHP dan Revisi UU KPK di berbagai daerah,” tutup Harry.(idn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: