Perkawinan Anak Bawah Umur Capai 285 Kasus

Perkawinan Anak Bawah  Umur Capai 285 Kasus

RBO, BENGKULU - Ditahun 2019 yang lalu adanya peningkatan kasus perkawinan anak atau anak yang masih dibawah umur 18 tahun. Data terhimpun dari Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan Provinsi Bengkulu tercatat ada 9 bentuk Kekerasan Seksual terhadap perempuan dan anak perempuan terdiri dari, Pemaksaan Hubungan Seksual Dalam Perkawinan (Marital Rape), Incest, Kekerasan Seksual Dalam Pacaran, Pelecehan Seksual, Percobaan Perkosaan, Perkosaan, Pencabulan, Percobaan Pencabulan, dan Perkawinan Anak (ada unsur pemaksaan perkawinan terhadap anak) karena mengalami Kehamilan Tak Diinginkan/KTD). Pihaknya mencatat telah terjadi 285 kasus Perkawinan Anak sepanjang tahun 2019. Jika dibandingkan data tahun 2018, kasus Perkawinan Anak tercatat sebanyak 206 kasus. Dalam satu tahun saja telah terjadi peningkatan Angka Perkawinan Anak sekitar 38 persen di Bengkulu. Faktor penyebabnya adalah akibat KTD baik karena kekerasan seksual (perkosaan), melakukan hubungan seks tanpa unsur pemaksaan serta karena faktor kemiskinan.

"Kemudian masih ditemui budaya kawin usia anak. Jika  tidak menikah maka dianggap perawan tua dan menjadi budaya dalam keluarga tertentu seperti di desa dampingan Cahaya Perempuan WCC di kabupaten Rejang Lebong," ujar Tini Rahayu Selaku Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC Provinsi Bengkulu.

      Lebih lanjut, menurut Tini akibat adanya peningkatan pernikahan dibawah umur ini maka akan berdampak negatif bagi kesehatan kondisi masyarakat. Kemudian mendorong perekonomian rumah tangga yang semakin buruk. Selain itu berharap agar pihak orang tua terus memperhatikan pergaulan anak perempuan terlebih lagi usia yang masih produktif.

      Sementara itu tahun 2019 tersebut, pihaknya menggambarkan beragam spektrum Kekerasan Terhadap Perempuan yang terjadi di provinsi Bengkulu. Beberapa kasus yang perlu mendapatkan perhatian diantaranya adalah KDRT  termasuk pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan (Marital Rape) dan Perkawinan Anak  (atas unsur pemaksaan demi martabat dan moral keluarga), menunjukkan bahwa perempuan (istri dan anak perempuan) mengalami kerentanan tertinggi mengalami kekerasan di ranah personal sebesar 54,92 persen dan sebesar 45,07 persen di ranah komunitas. Di ranah personal perempuan mengalami kekerasan dari pasangan suami, ayah kandung atau tiri, saudara kandung atau tiri, paman, pacar, dan kakak ipar, sedangkan di ranah komunitas perempuan mengalami kekerasan dari tetangga, teman, atasan, rekan kerja dan orang tak dikenal. Dalam hari perempuan internasional yang bertepatan pada Minggu (8/3) kemarin. Pihaknya meminta agar pemerintah lebih perhatin bagi hak kaum perempuan.

"Perempuan merupakan mahluk utuh, yang berhak memutuskan apa yang baik bagi diri dan masa depannya. Perempuan berhak untuk menikmati privasi, menikmati hidup, dan kami bertanggung jawab penuh atas dirinya. Kami perlu mengingatkan Negara bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual terus meningkat sebagaimana telah berulang kali kami tunjukkan dalam data-data setiap tahunnya. Bahwa hak-hak perempuan petani, perempuan pekerja khususnya pekerja rumahan masih sering dilanggar bahkan diabaikan secara sistematis," pungkasnya. (Bro)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: