Perlu Ada Revisi UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Perlu Ada Revisi UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

RBO, BENGKULU - Kanopi Hijau Indonesia Bengkulu, menyampaikan laporan publik secara virtual dengan tema “Potret Pengelolaan Lingkungan di PLTU batu bara Teluk Sepang Bengkulu”. Juru Kampanye Energi Kanopi Olan Sahayu, yang juga memandu diskusi memaparkan laporan hasil pemantauan yang telah dilakukan Kanopi atas aktivitas PLTU batu bara Teluk Sepang, yaitu pembuangan limbah cair ke laut dan tumpahan oli.

“Sejak November 2019 hingga 26 Maret 2020, PT TLB diduga telah membuang limbah cair ke laut tanpa izin. Karena izin pembuangan limbah baru terbit pada 16 April 2020," ujar Olan menyampaikan laporannya.

Berdasarkan dokumen addendum Andal dan RKL-RPL, sebelum pengoperasian seluruh sistem, PT TLB akan melakukan uji coba (commissioning). Berdasarkan pengumuman yang disampaikan ke warga Teluk Sepang, bahwa uji coba dilakukan 19-26 September 2019 dan 8-15 Oktober 2019. Selama uji coba berlangsung, limbah cair yang keluar dari saluran pembuangan berbuih berwarna kecoklatan dan berbau menyengat.

Pasca uji coba tersebut, mulai ditemukan penyu mati di perairan sekitar proyek. Bangkai penyu pertama ditemukan pada 20 November 2019, dan penemuan terakhir pada Januari 2020. Total ada 28 Penyu yang mati yang diduga akibat limbah cair yang dibuang ke laut tersebut. Hal ini, diperkuat dengan pernyataan nelayan dan warga Teluk Sepang bahwa kejadian kematian penyu dalam jumlah banyak, dan beruntun belum pernah terjadi sebelumnya.

Dari pemantauan Kanopi juga, pembuangan limbah cair ke laut kembali dilakukan oleh PT TLB pada 23 Januari 2020 dan 26 Maret 2020. Sementara izin pembuangan air limbah cair ke laut, oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru diterbitkan 16 April 2020.

Lalu, kasus tumpahan oli yang menggenangi kebun petani penggarap sekitar 1 ha diketahui pada 12 April 2020. Oli diduga berasal dari tangki penyimpanan milik PT TLB. Setelah kembali dicek dilapangan pada 14 April 2020, tangki tersebut sudah tidak di lokasi atau hilang.

Oleh Kanopi, kasus tumpahan oli ini sudah dilaporkan ke Polda Bengkulu, namun hingga saat ini tidak ada perkembangan penyelidikan. Diskusi yang menghadirkan Anggota Komisi III DPRD Provinsi Bengkulu, Edwar Samsi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Deli Weryanti dan Advokat yang konsen terhadap isu lingkungan, Saman Lating disiarkan langsung di laman media sosial Kanopi Bengkulu.

Edward Samsi dalam pemaparannya mengatakan, baru mengetahui informasi perihal pembuangan limbah tanpa izin yang dilakukan PT Tenaga Listrik Bengkulu. "Ini akan jadi perhatian khusus kami, dan segera memanggil kembali Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang ditugaskan negara mengawasi seluruh aktivitas perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan," katanya.

Politisi PDIP ini mengatakan, sudah mendatangai lokasi proyek saat kejadian kematian sejumlah penyu di perairan Teluk Sepang. Hal ini menjadi konsen Komisi III. Sebab sepanjang berdirinya Provinsi Bengkulu, belum pernah terjadi penyu mati dalam jumlah banyak.

“Saya tegas saja. Kalau memang tidak ada izin pembuangan limbah tersebut , saya sudah mewanti-wanti dan berulang kali menyampaikan di media, lebih baik ditutup. Gitu aja. Kenapa susah. Kami akan memanggil DLHK Provinsi Bengkulu untuk meminta keterangan. Kenapa limbah sudah bisa dibuang, tetapi izinnya belum ada,” tegasnya.

Pemaparan selanjutnya, dari dosen hukum lingkungan Universitas Bengkulu, Deli Waryenti. Ia mengatakan, pembuangan limbah ke laut sangat salah. Karena, ini akan mengancam biota laut. Mulai dari ikan, penyu, dan lainnya. Begitu juga terumbu karang, mangrove. Apa saja yang ada di laut, itu semua terancam karena adanya pembuangan limbah dari PLTU.

"Walapun ada izin, laut bukan tempat pembuangan limbah. Laut bukan tempat pembuangan sampah," katanya.

Menurutnya, PLTU belum beroperasi saja sudah membuang ratusan ton limbah ke laut. Bukan hanya limbah, tetapi juga abunya mencemari udara. Berarti disini ada dua pencemaran. yaitu, laut dan udara, lalu tanah juga. Karena, ada tumpahan oli yang ditemukan.

Deli menyebutkan, perlu ada revisi UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Terutama mengenai pasal-pasal yang berkaitan dengan bolehnya limbah di buang ke media lingkungan asal dengan izin. Terutama ke laut. Karena, laut adalah sumber kehidupan.

“Apakah betul-betul murni nanti izin itu diberikan atau karena kepentingan. Bisa saja nanti itu ada kerja sama antara yang berkepentingan untuk membolehkan membuang limbah” terangnya.

Menurutnya, ada dua UU yang dilanggar oleh PT TLB. Yaitu UU 3 tahun 2009. Dimana salah satu asas penting adalah negara menjamin kehidupan rakyatnya agar sehat dan menjamin lingkungan. Tanggung jawab negara, bukan hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk kelestarian lingkungan.

Undang-undang kedua yang dilanggar adalah UU No 32 tahun 2014 tentang Kelautan yang mengamanatkan pentingnya mewujudkan ekonomi biru untuk keberlanjutan pembangunan.

"Tidak ada ekonomi biru dari proyek ini. Karena, akan mengancam ribuan nelayan akibat limbah PLTU yang berbusa, berbau, berwarna coklat dan itu sudah bisa digolongkan sebagai B3," ungkapnya.

Menurut Deli, aturan itu dibuat bukan hanya untuk dipajang. Tetapi harus dilaksanakan. Sebab, tidak ada kesesuaian praktik dengan aturan. Dalam hukum lingkungan, pelestarian lingkungan tidak bisa berjalan sendiri. Harus dilaksanakan oleh tiga pihak. Yaitu pemerintah, pengusaha dan masyarakat.

Sesuai dengan aturan UU nomor 32 tahun 2009, pemerintah harus bertindak. Dari aspek hukum administrasi, pemerintah bisa menjatuhkan sanki administrasi kalau memang sudah ditemukan bukti-bukti nyata bahwa terjadi pencemaran. Selain teguran yang paling penting atau mungkin yang dilakukan pemerintah adalah sanki paksaan. Sanki paksaan berupa pemberhentian sementara atau perbaiki terlebih dahulu lingkungan yang sudah tercemar, atau membongkar instalasi yang sudah terpasang demi perbaikan sesuai standar.

"Bahkan pemerintah, harus mau berbesar hati untuk meninjau kembali izin lingkungan PLTU. Sudah sesuai dengan kooridornya atau tidak. Sudah sesuai aturan atau tidak. Jangan sampai ada penyimpangan-penyimpangan yang kemudian menyebabkan apa yang kita saksikan sekarang," tuturnya.

Sementara itu, Saman Lating, S.H selaku advokat dan pemerhati lingkungan mengatakan, bahwa pemerintah secepatnya menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Jangan sampai ada kudeta kewenangan pemerintah dari masyarakat.

“Takutnya nanti, akan ada kudeta kewenangan pemerintah. Kudeta kewenangan penindakan oleh rakyat. Rakyat sendiri akan menindak, rakyat sendiri akan bertindak terhadap perusak lingkungan, jangan sampai itu terjadi,” kata Saman Lating.

Saman Lating menambahkan, dari sisi hukum ia melihat perusahaan ini sudah menjadi perusahaan diktator. Karena, tidak dapat disentuh. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PLTU itu dapat dipidana, tapi kenyataannya para penegak hukum dalam hal ini DLH Kota dan DLHK Provinsi Bengkulu yang menjadi ring satu sebagai pengawas itu tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Contohnya seperti limbah sudah dibuang, tetapi izin belum keluar.

Namun disayangkan, dalam dialog ini dua pemateri lainnya dari DLH Kota Bengkulu dan DLHK Provinsi Bengkulu yang sebelumnya sempat mengkonfirmasi akan mengikuti diskusi, ternyata berhalangan hadir dengan berbagai alasan. (ach)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: