Demokrasi Indonesia Diduga Sudah Dibajak Oligarki
RBO, BENGKULU - Berbagai aturan yang dibuat saat ini, diduga memang tidak ditujukan bagi rakyat. Melainkan, untuk para oligarki. Mereka diduga ingin menguasai kekayaan sumber daya alam. Misalnya, undang-undang tentang Mineral dan Batu bara yang baru disahkan DPR walaupun banyak penolakan dari masyarakat, ditambah lagi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, atau aturan sapu jagat yang tidak melibatkan masyarakat yang akan menerima dampak serta dibahas saat rakyat berjuang melawan Covid-19.
Ini merupakan kesimpulan dari diskusi bertema “Indonesia Darurat” yang digelar secara virtual ole Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, kemarin dengan menghadirkan tiga orang pembicara. Yaitu Hindun Mulaika dari Greenpeace, Arip Yogiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Muhammad Azzam Prihatno dari Azam Comunity, dipandu Ketua Yayasan Kanopi Hijau INdonesia, Ali Akbar.
Manager Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan mengatakan, fungsi demokrasi untuk pengontrol kebijakan namun kini demokrasi diduga telah dibajak oleh oligarki. Karena kebijakan dibuat atas kehendak segelintir orang.
"Ada media sosial yang menjadi salah satu ruang ekspresi demokrasi, tapi juga diserang oleh pendengung atau buzzer yang dibiayai negara," kata Arip dalam diskusi tersebut kemarin. Menurutnya, termasuk demokrasi jalanan pun semakin sulit digunakan rakyat. Sebab dalam catatan YLBHI sepanjang 2019 sejumlah orang meninggal dunia, saat menyampaikan pendapat dan aspirasinya dengan turun ke jalan.
Sementara itu, Hindun Mulaikan dari Greenpeace mengatakan, Indonesia dapat dikatakan darurat dalam arti demokrasi. Sebab saat ini semua aturan dan proses terbitnya dikendalikan oleh oligarki.
"Negara memberikan karpet merah kepada para oligarki, yang menjadikan proses pemiskinan terjadi secara siskemik atau menyeluruh. Masyarakat terdampak langsung tidak dilibatkan dalam membuat aturan," ujar Hindun.
Berbicara keselamatan lingkungan menurutnya, aturan yang ada justru sangat lemah berbanding terbalik dengan aturan yang baru-baru ini dibuat dan disahkan.
"Contoh saja, aturan standar emisi PLTU batu bara yang sampai hari ini masih lemah, yang membuat kualitas udara semakin buruk dan polusi semakin tinggi," terangnya. Melihat kondisi saat ini, Prihatno dari Azam Community menilai perjuangan gerakan masyarakat sipil untuk mengingatkan negara harus lebih kuat. Para oligarki saat ini, memang sudah terang-trangan muncul dan semakin kuat. Sehingga masyarakat sipil juga harus lebih kuat dalam mengembalikan arah perjuangan bangsa.
"Ada tiga hal yang harus dibangun bersama untuk menguatkan gerakan rakyat. Yaitu wacana yang mesti dibingkai dalam satu kacamata bersama seperti rasa nasionalisme, ruang dan pengorganisasian bersama, sehingga konsolidasi sangat penting, dan mendesak untuk dilakukan mengingat Indonesia sudah lebih dari kata darurat," ungkapnya.
Saat ini menurut Prihatno, sekuat-kuatnya masyarakat sipil merebut ruang demokrasi, semakin kuat pula oligarki berjuang melemahkan perjuangan tersebut.
Misalnya, saat ini banyak sekali buzzer juga muncul aturan yang dikeluarkan oleh negara. Seperti UU ITE yang mempermudah menjerat para aktivis. Ruang-ruang jalanan, media sosial sudah dikuasai semua. Ini yang harus masyarakat rebut dan terus berjuang. Karena saat ini aturan yang dibuat untuk jangka panjang.
Sementara itu, Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar menilai saat ini negara sepertinya berpikir seperti gerakan masyarakat sipil, kekuatannya ada di promosi. Seperti membuat buku, video, flyer untuk meyakinkan rakyat bahwa semua dalam kondisi baik-baik saja.
"Bahkan negara membayar para influencer dan buzzer untuk mempromosikan kebijakan mereka," kata Ali.
Muaranya, lanjutnya, yang akan menjadi korban adalah daya dukung lingkungan. Lingkungan adalah pondasi utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Negara sudah abai. Di beberapa media, kaum-kaum yang berkonstribusi menghasilkan polusi meminta untuk merendahkan tanggung jawab mereka untuk keselamatan lingkungan. "
Ketika ini tidak menjadi barometer keselamatan lingkungan, ketika lingkungan tidak mampu memberikan pelayan terhadap ekosistem ini menjadikan kehancuran pondasi ekonomi rakyat. Dalam kondisi Indonesia darurat demokrasi dan kerusakan lingkungan, gerakan harus dibangun lebih masif lagi," tutupnya. (ach)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: