Khotbah Idul Fitri: Memaknai Kemenangan Idul Fitri dengan Menguatkan Fungsi Mesjid
M. Sururi, S.Th.I., M.H.I-Adam-
Oleh : M. Sururi, S.Th.I., M.H.I
Dari : Masjid Taqwa Kebun Kenanga Kota Bengkulu
Jamaah salat Idul Fitri rahimakumullah
RADARBENGKULU.DISWAY.ID - Sejak tadi malam telah berkumandang alunan suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang kita peroleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh.
Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Rasulullah SAW bersabda:“Hiasilah hari rayamu dengan takbir.”
BACA JUGA:Lebaran Idul Fitri Jatuh Pada Hari Sabtu 22 April 2023, Muhammadiyah Jumat 21 April 2023
Takbir kita tanamkan ke dalam lubuk hati sebagai pengakuan atas kebesaran dan keagungan Allah SWT. Sedangkan selain Allah, semuanya kecil semata. Kalimat tasbih dan tahmid, kita tujukan untuk mensucikan Tuhan dan segenap yang berhubungan dengan-Nya.
Tidak lupa puji syukur juga kita tujukan untuk Rahman dan Rahim-Nya yang tidak pernah pilih kasih kepada seluruh hambanya. Sementara tahlil kita lantunkan untuk memperkokoh keimanan kita bahwa Dia lah Dzat Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Seluruh alam semesta ini tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd…
Alhamdulillah, pagi ini kita merasakan udara bulan syawal setelah sebulan penuh kita beribadah pada bulan Ramadan. Meskipun terasa berat, akhirnya Allah memperkenankan kita merayakan Idul Fitri, hari kemenangan, hari kegembiraan dan kebahagiaan.
Selama sebulan kita telah bermujahadah, bersungguh-sungguh, dan rela berpayah-payah menjalankan rangkaian ibadah Ramadan, mulai dari shiyam di siang hari, salat, berdoa dan berdzikir di malam hari, tadarrus al-quran, dan i’tikaf. Semua kita lakukan dengan ikhlas, semata-mata mengharapkan ridha Allah. Semoga rangkaian ibadah kita diterima Allah Swt.
Tugas kita mulai hari ini, di bulan syawal ini adalah menjaga agar spirit dan semangat ibadah terus kita pelihara, bahkan ditingkatkan. Sesuai dengan namanya, syawal adalah bulan peningkatan. Syawal bukanlah titik kulminasi, setelah ini akan terus terjadi penurunan, naudzu billah.
Karena itu Allah SWT berfirman dalam Surat An Nahl (16) ayat 92. “Dan janganlah kamu laksana seorang perempuan jahiliyah yang mengurai kembali tenunannya setelah menjadi kain yang sempurna.”
Dalam ayat ini Allah membuat tamsil yang sangat bagus, bahwa ada orang yang setelah berbuat baik, kemudian ia rusak sendiri. Amal ibadah dan amal shalih yang dirajut dari waktu ke waktu, sedikit demi sedikit, akhirnya dirusak kembali.
Bisa saja terjadi, kita semangat beribadah mulai dari menahan lapar dan haus serta rafast pada siang hari, salat tarawih di malam hari, tadarrus al-Qur’an hingga khatam beberapa kali, memperbanyak shadaqah dan infaq, serta beri’ktikaf untuk memburu lailatul qadar, akan tetapi setelah masuk bulan syawal, kita kehilangan stamina ruhiyah.
Bahkan lebih tragis lagi, kita hapuskan seluruh pahala amal ibadah dan amal shalih kita dengan perbuatan maksiyat dan melanggar ketentuan Allah. Amal seorang muslim bagaikan rintik-rintik hujan, susul-menyusul. Dilakukan dengan mudawamah (terus-menerus), istimror (sambung-menyambung) dan istiqomah. Jika selesai satu urusan, mereka mengangkat urusan berikutnya. Tidak ada kamus pensiun beramal bagi seorang muslim.
Di dalam bulan Ramadan terdapat tempat favorit bagi umat muslim dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah, yaitu masjid.
Dalam bulan tersebut masjid mendapat perlakuan yang sangat istimewa mulai dari fisik sampai berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan di dalamnya.
Kondisi masjid dalam bulan Ramadan memberikan semangat tersendiri bagi umat muslim, karena seandainya kondisi itu dapat bertahan dalam 11 bulan ke depan, jaminan akan terjadi perubahan yang sangat besar dalam tubuh umat muslim. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mampukah kita mempertahankan tradisi tersebut.?
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd…
Masjid Nabawi yang dibangun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu sangat sederhana. Tiang-tiangnya dari pohon kurma. Lantainya dibiarkan berupa tanah, tanpa keramik, tanpa semen, bahkan tanpa tikar. Kalau hujan turun, bocor.
Airnya masuk ke dalam masjid. Keadaan itu berlangsung bertahun-tahun, hingga disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa beberapa saat sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal, sahabat ini datang, “ Ya Rasulullah, sampai kapan kita memiliki masjid yang bocor?”
Melalui pertanyaan ini, Sahabat tersebut hendak mengatakan mengatakan kepada beliau, Ya Rasulullah, izinkan aku ikut memberikan kontribusi untuk pembangunan masjid ini. Izinkan aku ya Rasulullah merenovasi masjid kita ini !.
Apakah jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kata beliau, Biarkan dulu masjid kita seperti ini, kita bangun nanti dulu. Disebutkan dalam sejarah bahwa hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal, atap masjid belum diganti, karena beliau belum mengizinkan. Masjid Nabawi masih dalam keadaan bocor saat beliau wafat.
Rasulullah tidak pernah melarang umatnya membangun masjid, bahkan beliau mendorong dan memotivasi kita untuk membangun masjid sebagus dan seindah mungkin untuk memberikan ketenangan dan kenyamanan beribadah. Beliau sendiri bersabda:
“Barangsiapa membangun masjid karena mengharap ridha Allah (bukan karena riya dan popularitas), maka Allah membangun baginya (tempat, rumah, istana) seperti itu pula di surga.”(HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Fenomena di atas mengandung pelajaran yang sangat fundamental, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin memberikan stressing bahwa sesungguhnya eksistensi sebuah masjid yang terpenting bukan bangunan fisiknya, bukan asesoris lahiriyahnya. Akan tetapi wujud masjid itu dinilai dari jamaahnya, manusianya.
Apa gunanya masjid megah dan mewah jika jamaahnya sepi dan sunyi, bagaikan kuburan. Hanya terdengar suara burung pipit, dan suara jangkrik, di balik rumput ilalang di sekitar masjid.
Tidak ada gunanaya masjid yang dikeramik, dihiasi kanan-kirinya, tetapi sepi dari jamaah. Sepi dari kaum muslimin yang menegakkan shalat lima waktu di dalamnya.
Tidak datang, kecuali hari hari Jumat. Masjid dipersepsikan seperti Gereja, yang diramaikan jamaahnya hanya sekali dalam sepekan.
Masjid di masa Rasulullah menjadi pusat pembinaan umat. Ketika itu, antara jumlah masyarakat yang ada di pasar, sama dengan jumlah jamaah masjid. Jika adzan dikumandangkan untuk memanggil umat untuk menjalankan salat, maka orang-orang yang berada di luar masjid kembali ke masjid.
Selesai salat, maka yang tadi berada di masjid pindah ke pasar. Komunitas di masjid dan masyarakat di pasar, orangnya sama.
Ketika mendengar suara adzan, petani, pedagang, guru, dokter, insinyur, pengacara, bupati, gubernur, menteri dan presiden segera ke masjid. Setelah itu mereka balik ke tempat tugasnya masing-masing. Tidak perlu lama-lama di masjid.
Mereka ini orang-orang yang sukses menggabungkan karakter shalih ritual dan shalih sosial, sekaligus. Spirit dan pesan spiritual masjid ditransformasikan ke dalam berbagai aspek kehidupan.
Masjid bukan untuk rehat, merebahkan diri. Masjid untuk menyedot haul dan kekuatan dari-Nya, sebagai bekal untuk meraih sukses dalam melakukan tugas sebagai khalifah Allah subhanahu wa ta’alaa sesuai dengan profesi masing-masing.
Karena, Al-Quran mengintruksikan demikian.
“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumuah [62] : 10)
Jangan sampai kesibukan kita, kekayaan kita, anak dan istri kita, justru menjadi wasilatut taba’ud ‘anillah (media menjauhkan kita dari Allah subhanahu wa ta’ala). Jangan sampai dunia dan seisinya melalaikan dan menggelincirkan dari mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.
Jika jumlah jamaah salat lima waktu sama dengan salat Jumat dan jika jumlah salat Jumat sama dengan salat subuh, pasti akan terjadi perubahan yang sangat dahsyat. Masyarakat kita tenteram, bahagia, saling menguatkan, saling ta’aruf, tafahum, ta’awun, tarahum, tawashou bil haqqi wa tawashou bish shabri. Ujung-ujungnya soal rizki, in shaa Allah, akan melimpah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahilhamd
Alhamdulillah, selama bulan Ramadan kita mampu meramaikan masjid dengan berbagai macam kegiatan. Kondisi seperti ini mari kita pertahankan, bahkan terus ditingkatkan.
Jika saat ini masjid kita dipenuhi dua shaf, mari kita tingkatkan menjadi tiga, empat, sampai lima shaf. Jadikan diri kita sebagai orang setiap harinya mundar mandir dari masjid ke mesjid. Rasulullah SAW bersabda :
“Jika kamu melihat orang yang terbiasa ke masjid, maka saksikan bahwa dia benar-benar beriman.” (HR. Tirmidzi)
Masjid tidak dapat dipisahkan dari kehidupan muslim. Jika sekali atau dua kali seseorang tidak mendatangi shalat berjamaah, maka saudara-saudaranya mempertanyakan dan mencarinya. Jika terbukti sakit, mereka menjenguknya. Jika sibuk, mereka membantunya.
Jika bepergian, mereka mendoakan dan ikut menjaga keluarga yang ditinggalkan. Dan jika lupa, mereka mengingatkannya. Masjid bagi orang yang beriman adalah taman surga. Maka, siapa yang mendatangi masjid, berarti ia hadir ke taman surga.?
“Rasulullah SAW bersabda : Jika kamu sekalian melewati tamantaman surga, maka kata beliau, Hendaklah kalian masuk untuk bersenangsenang (rihlah) di taman-taman surga itu. Ya Rasulallah, Para sahabat bertanya, Apakah yang dimaksud dengan taman-taman surga itu : Rasulullah SAW menjawab, Yaitu, masjid-masjid.” (HR. Imam AtTirmidzi dari Abu Hurairah)
mengakhiri khutbah idul fitri ini, kami mengajak kita semua untuk menjadi bagian dari orang-orang yang memakmurkan masjid, menjadi orang yang selalu mundar mandir dari masjid ke masjid setiap hari, menjadi orang yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid. Marilah kita menjadi ahli masjid.(cae-1)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: