Belajar dari Kehidupan Semut, Laba-Laba dan Lebah

H. Henderi Kusmidi-Adam-radarbengkulu
Kaum muslimin jamaah yang berbahagia
Sikap hidup manusia seringkali diibaratkan dengan berbagai jenis binatang. Jelas ada manusia yang "berbudaya semut." Yaitu menghimpun dan menumpuk materi atau harta benda tanpa disesuaikan dengan kebutuhannya.
Budaya semut adalah "budaya menumpuk" yang disuburkan oleh "budaya mumpung". Tidak sedikit problem masyarakat bersumber dari budaya tersebut. Pemborosan adalah anak kandung budaya yang mendorong hadirnya benda-benda baru yang tidak dibutuhkan dan tersingkirnya benda-benda lama yang masih cukup indah untuk dipandang dan bermanfaat untuk digunakan.
Dapat dipastikan bahwa dalam masyarakat kita, banyak sekali semut yang berkeliaran. Entah berapa banyak jumlah laba-laba yang ada di sekitar kita, yaitu mereka yang tidak lagi butuh berpikir apa, di mana, dan kapan ia makan, tetapi yang mereka pikirkan adalah "siapa yang akan mereka jadikan mangsa.
Ia menjadi kiasan dari sifat hidup manusia yang mencelakakan dan menjerumuskan siapa saja yang terpikat olehnya.
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah
Nabi SAW mengibaratkan seorang mukmin seperti lebah, sesuatu yang tidak merusak dan tidak pula menyakitkan: Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang bermanfaat dan membawa maslahat dan tidak merusak.
Lebih rinci lagi, lebah setidaknya memiliki tiga keistimewaan yang dapat menjadi analogi tentang karakter ideal manusia.
Pertama, lebah tak merusak ranting yang ia hinggapi, sekecil apa pun pohon tersebut.
Hal ini memberi i’tibar manusia agar menghindari perilaku yang menimbulkan mudharat, kerusakan atau kerugian terhadap orang lain. Lebah memang datang untuk makan, tapi ia tak ingin merusak untuk kepentingan pribadinya. Bahkan kerap kali lebah justru berjasa dalam proses penyerbukan sebuah bunga yang ia hinggapi. Kedua, lebah makan sesuatu dari yang baik-baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: radarbengkulu