Konferensi Internasional Masyarakat Adat, Mencari Format Baru Pengakuan Hak Adat yang Substansial

Konferensi Internasional Masyarakat Adat, Mencari Format Baru Pengakuan Hak Adat yang Substansial

Konferensi Internasional Masyarakat Adat, Mencari Format Baru Pengakuan Hak Adat yang Substansial-Ist-

 

Radar Bengkulu – Dalam upaya merevitalisasi gerakan masyarakat adat yang selama ini dinilai stagnan, Akar Global Inisiatif menggelar Konferensi Internasional Masyarakat Hukum Adat (MHA) di salah satu hotel di Kota Bengkulu. Acara yang dihadiri pegiat gerakan, perwakilan masyarakat adat, dan pemangku kebijakan ini bertujuan mencari solusi hukum alternatif untuk pengakuan dan pengukuhan masyarakat adat di Indonesia.

Direktur Eksekutif Akar Global Inisiatif, Erwin Basrin, menegaskan bahwa konferensi ini difokuskan untuk mencari format hukum yang sesuai dengan kondisi faktual masyarakat adat saat ini. Ia mengkritik persyaratan hukum yang selama ini dianggap tidak relevan dan memberatkan masyarakat adat.

BACA JUGA:Paralegal Masyarakat Adat, Sebuah Jalan Perjuangan atas Hak

BACA JUGA:Sudah Selayaknya Pemerintah Memperkuat Masyarakat Adat

"Konferensi ini ingin mencari arah gerakan berbasis kondisi aktual masyarakat adat hari ini, bukan berdasarkan kondisi masa lalu," ujar Erwin.

 

Menurut Erwin, meskipun konstitusi mengakui keberadaan masyarakat adat, pengakuan tersebut disertai persyaratan yang sulit dipenuhi. Ia mencontohkan bahwa masyarakat adat sering kali diminta untuk menyusun Peraturan Daerah (Perda), membuat peta wilayah berbasis digital, dan melengkapi dokumen akademis lainnya sebagai syarat pengukuhan.

 

"Bayangkan, masyarakat adat disuruh bikin Perda atau peta wilayah digital. Ini jelas tidak realistis dan jauh dari kemampuan mereka," tegasnya.

 

Erwin menilai kebijakan ini mencerminkan pendekatan yang rumit dan tidak efektif. Akibatnya, hak-hak masyarakat adat sering kali hanya diakui sebatas simbol budaya, seperti pakaian adat, tari-tarian, atau acara seremonial tertentu. Namun, pengakuan atas hak substansial seperti tanah ulayat, hutan adat, dan kawasan perairan adat masih jauh dari harapan.

 

"Kami ingin negara mengakui hak-hak masyarakat adat sebagai hak substansial, bukan sekadar simbol. Misalnya, wilayah hutan adat atau kawasan perairan yang dihormati masyarakat adat harus diakui secara hukum," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: