Seorang hamba yang bijak adalah yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Ia tidak besar kepala dengan kenikmatan duniawi tersebut.
Sebaliknya bila ia didera dengan penderitaan atau kekurangan, maka ia merasa bahwa Allah sedang mengujinya agar dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menyengsarakannya.
Kita harus belajar dari Hajar. Seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian ditinggalkan suaminya di padang pasir yang gersang. Tetapi dia yakin jika ini adalah perintah Allah, maka Allah tidak akan menelantarkannya. Allah pasti akan membantunya.
Kisah ini bukan hanya untuk Hajar saja, dan kisah ini juga bukan untuk zaman itu saja. Namun kisah ini akan terus berulang pada setiap zaman dan masa. Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya dalam segala kondisi.
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Apa yang sudah diuraikan di atas, selaras pula dengan hikayat seorang penasehat Raja yang selalu berprasangka baik dalam menyikapi setiap keadaan. Suatu Ketika sang Raja mengalami musibah, sehingga salah satu jari tangannya putus.
Sang Raja seakan tidak menerima dengan kejadian ini, ia tidak rela tubuhnya menjadi cacat seumur hidup. Lalu sang Raja memanggil penasihatnya agar bisa menghibur hatinya. Setelah ia datang, dengan entengnya si penasihat bertutur dihadapan sang Raja: Kejadian ini adalah kebaikan untuk yang Mulia.
Karena emosional sang Raja dalam keadaan tidak stabil, ia sangat tersinggung dengan ucapan penasihatnya. Penjarakan Dia! Begitu perintah sang Raja. Ketika penasehat raja dipenjara tanpa adanya kesalahan yang berarti, dengan entengnya ia berkata: ini adalah kebaikan untukku.