Dia mulai berjuang di kampungnya sendiri dan kemudian melanjutkan perjuangannya di Aceh Barat. Pada saat yang masih muda, ia sudah diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di Daya Meulaboh.
Tahun 1880, Teuku Umar menikah pertama kalinya dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.
BACA JUGA:Strategi Perang Teuku Umar Saat Mengecoh Belanda dan Rebut Senjatanya
Selanjutnya, ia menikahi Nyak Malighai, putri Panglima Sagi XXV Mukim, yang melahirkan Cut Gambang. Pada tahun 1883, ia menikahi Cut Nyak Dhien, putri Teuku Nanta Setia, saudara ayahnya sendiri.
Cut Nyak Dhien adalah janda karena suaminya yang pertama, Teuku Ibrahim Lamnga, gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Gle Tarun pada Juni 1878.
Teuku Umar dikenal sebagai pejuang sejak usia 19 tahun, saat dimulainya agresi Belanda pertama pada tahun 1873. Ia memiliki pemahaman mendalam tentang kejiwaan rakyat Aceh dan mampu memimpin dengan sifat dermawan dan penuh semangat, mengobarkan semangat perang sabil.
Selama perjalanannya, Teuku Umar pernah menjabat sebagai Keuchik Gampong Darat dan Panglima Pertahanan Rakyat saat Belanda menyerang Meulaboh pada 1878. Pada tahun 1889, ia diangkat oleh Sultan Aceh sebagai Laksamana/Amirul Bahar atau Panglima Laot untuk Aceh bagian Barat dan aktif membantu keuangan Sultan Aceh serta pemimpin lainnya.
BACA JUGA:Kisah Masa Kecil Fatmawati Anak Tokoh Muhammadiyah di Bengkulu
Meskipun pernah berdamai dengan Belanda pada tahun 1883, perang kembali meletus satu tahun kemudian. Tahun 1893, Teuku Umar menemukan cara untuk mengalahkan Belanda dengan menggunakan taktik penyusupan. Ia berpura-pura menjadi antek Belanda dan akhirnya mendapatkan kepercayaan mereka. Namun, di balik semua itu, Teuku Umar terus berkolaborasi dengan pejuang Aceh.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dan mulai melancarkan serangan dengan pasukannya. Ia berhasil menundukkan beberapa pos pertahanan Belanda di Aceh.