Wal hasil lisan membenarkan hatinya dengan mengatakan bahwa [سمعنا وأطعنا ], kami mendengan dengan patuh dan ta’at hanya kepada Allah dan Rasulullah, saksikan pula bahwa iman kami bukan iman munafiq dan iman yang ria sum’ah yang tak pernah merasa manisnya iman.
Sebab yang kedua: iman tadi dibuktikan dengan keta’atan zahir dan bathin [طاعة الله والرسول] iman itu jualah yang membawa kepada aktifitas yang benar yaitu keta’atan, ibadah yang baik, kepatuh yang sempurna hanya kepada Allah dan sekligus dampaknya berkhidmat untuk manusia raya. jalan hidup ini lah yang berkesinambungan sehingga istiqamahpun diraihnya.
Sebab yang ketiga: mertahankan iman dan kata’atan dengan kinerja rasa takut [الخشية], perasaan malu dirinya akan kagungan Allah, takut jiwanya atas dosa-dosa yang lampau, terbayang olehnya apa bekal menghadap Allah swt yang sudah menjadi jaminannya?!
Malu dengan kekurangan diri, malu dengan amal ibadah yang masi kerdil, sampai tersimpuhlah ia jika mengenang dosa dan kesalahan masa lampau, apatah lagi ia tilik begitu dalam rahmat Allah yang maha kaya kepada sipemilik hati yang lembut ini, sehingga terenyuh-terharu sampai lisan halnya mengatakan bahwa ya robb..
Hamba ini lemah, namun akan kuat dengan keyakinan kepada engkau, maka mapunilah dosa dan kesalahan ku di masa lampau, selamatkan daku dari murkamu.
Sebab Yang ke empat: iman-keta’atan-ketakutan itu ia jaga dan rawat dengan prestasi taqwa [ التقوى] yang posisinya sebagai puncak keta’atan bermakna kewaspadaan-kehati-hatian jangan sampai yang bersangkutan terjatuh dalam perangkap dosa kecil apalagi yang besar, ia jaga hak-hak Allah swt dan tunaikan hak-hak manusia, seakan-akan terluka dan keberatan jiwanya jika melakukan dosa maka itulah akhir nafas manusia.
Hamba Allah yang budiman empat langkah tadilah jalan menuju kemenangan yang abadi, kejayaan dunia tanpa henti yang berlanjut keakhirat sejati, lalu mari kita ukur diri, sudah pantaskah kita ini disebut orang yang menang [الفائزون] ?!. ataukah belum sama sekali bisa disebut sebagai muslim?.
Mari kita renungi ayat ini dengan dengan menghadirkan istimbat para mufassirin yang menyatakan bahwa ukuran kemenangan sejati itu saat seseorang mukmin sudah merasakan:
1. Bangga berpegang dengan al-quran dan assunnah dalam hidup dan matinya, ia merasakan bahwa tidak ada yang lain memerintahkannya kecuali hanya Allah swt. 2. Saat ia mampu menundukkan hawa nafsu [ego dirinya] hanya untuk kepentingan Allah swt semata. 3. Saat ia sukses menyingkirkan segala halangan yang merintanginya menuju Allah swt.
4. Saat sukses menjadikan dirinya tidak terikat-terpaut kepada harta benda sehingga jiwanya hanya bulat menuju Allah swt. 5. Saat seseorang yang telah menyerahkan segala kesimpulan hidupnya hanya kepada Allah swt [dalam makna tawakkal yang benar]. 6. Ketika seseorang mampu menerima dengan redo semua takdir Allah swt dalam hidup ini. Mereka itulah yang pantas meraih kemenangan sejati, surga yang menanti.
Semoga khutbah singkat ini bisa memberi jalan menuju kemenangan abadi dan bermanfa’at kini dan esok hari yang lebih baik lagi. Fa’tabiru ya ulil abshar la’alakum tuflihun.()