Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, menjelaskan tiga hakikat makna dan tujuan dari kewajiban berzakat.
Pertama, mengeluarkan zakat mampu menjadi wujud totalitas kecintaan kita kepada Allah SWT. Totalitas dalam mencintai akan memunculkan komitmen kuat untuk tidak akan menduakan yang kita cintai dengan ke-Esa-an Allah, maka zakat akan semakin menyempurnakan keimanan kita untuk tidak akan menduakan Allah dan menguatkan bahwa Dia lah satu-satunya yang berhak untuk disembah.
Sehingga esensi dari zakat adalah melepaskan hal yang dicintai untuk mengukuhkan ketauhidan kepada Allah SWT.
Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Hakikat zakat kedua menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai ikhtiar untuk membersihkan diri dari berbagai sifat negatif khususnya sifat kikir atau pelit.
Sifat buruk ini bisa diobati dengan membiasakan diri mengeluarkan zakat. Karena zakat pun bermakna membersihkan hati dari hawa nafsu. Kita juga sebenarnya tak perlu khawatir jika ketika memberikan harta kepada orang lain kemudian harta kita akan berkurang.
Pada hakikatnya, orang yang memberikan hartanya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah SWT akan dilipat gandakan lebih dari yang ia berikan. Allah berfirman yang artinya:
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 261).
Hakekat ketiga, zakat yang kita keluarkan pada hakikatnya adalah sebagai wujud syukur atas nikmat dari Allah SWT.
Perlu kita sadari bahwa Allah SWT telah memberikan kita nikmat anggota badan yang harus kita syukuri dengan wujud ibadah badaniyyah. Seperti salat dan ibadah sejenisnya.