Oleh karena itu, Nabi Ibrahim AS, dalam dialognya seperti yang dilukiskan dalam bahasa yang sangat indah dan menyejukkan di dalam Al-Qur’an surat Ash-Shafaat : 102 :
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!"
Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; in shaa Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar."
Dalam suasana yang sangat mengharukan itu, dan detik-detik yang amat menegangkan, saat Ismail AS sudah dibaringkan untuk dilakukan penyembelihan seperti yang dikisahkan, bahwa bukanlah Ismail yang tersembelih, melainkan atas kekuasaan dan kebesaranNya, tiba-tiba Allah SWT mengganti dengan seekor kibas besar yang dibawa oleh malaikat jibril.
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر وƅ الحمد
Hadirin dan hadirat jamaah Iddul Adha rahimakumullah
Inilah dasar sejarah disyariatkannya berkurban bagi ummat Islam yang punya kemampuan untuk melaksanakan kurban satu tahun sekali pada hari raya Idul Adha.
Berkurban memiliki makna mulia jika hakikat berkurban itu dapat kita pahami dengan baik. Berqurban bukanlah sekadar ritual tanpa makna, atau tradisi tanpa arti. Berkurban, harus mampu menggugah perasaan pelakunya untuk menghayati apa yang tersirat dan tersurat dari pelaksanaan ritual tersebut.
Jamaah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah SWT
Rasa suka cita yang dialami oleh keluarga Nabi Ibrahim AS untuk berkurban didasarkan kepada pemahaman yang benar tentang nilai-nilai kehidupan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini: anak, istri, harta, pangkat dan jabatan semuanya datang dari Allah SWT dan pasti akan kembali kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, bagaimanapun modelnya perintah Allah SWT harus dilaksanakan sebaik-baiknya tanpa melihat untung dan rugi, enak tidak enak, mudah dan sulit, maupun berat dan ringannya.